- Sabtu, 13 Juli 2013

Pelangi Senja


tetaplah menjadi pelangiku dikala senja^^

Maha Besar Allah yang atas kuasaNya ini tercipta. Hijau yang mengayomi dari dedaunan pohon yang menjulang di sepanjang jalan. Ranumnya padi dan segala macam tanaman yang membentang indah memenuhi kedamaian sawah. Jernih, hijau, hingga birunya air yang menari memercik kesegaran di sepanjang pantura. Gumpalan awan putih, dan sebersit saga yang memerah, laksana membelah birunya cakrawala di kala senja dalam perjalanan ke barat ini. Rinai hujan yang bergemericik mengalun simphoni. Tata ruang kota dan bangunan-bangunan serta pemandangan-pemandangan nan indah lainnya yang tak kudapati  di kota pahlawan. Seakan menyihirku untuk terus mengabadikannya, merasakannya, dan mensyukurinya.
“Sungguh luar biasa indah apa yang Kau cipta, Ya Rabb.“, bisikku dalam hati.

Jika tiket pesawat ke Bandung tidak ludes kemarin, mungkin aku tak kan mendapati hampir semua yang kusuka terpampang nyata sedemikian rupa. Aku tak kan mampu merekamnya sampai suatu saat yang tak pernah kutahu kapan Dia kan menunjukkannya padaku.

Setelah menemani Dosenku dalam lokakarya hasil penelitiannya di ITB, aku sudah merencanakan untuk berada disini seminggu. Selain menghadiri pameran seni budaya di UPI dan memenuhi undangan untuk mengisi seminar kreatif menulis di Fakultas Sastra UPI, aku menyempatkan diri untuk wisata hati di Daarut Tauhid, jalan-jalan keliling Bandung jua wisata kuliner khas kota kembang. Tapi aku tak sepenuhnya menghabiskan waktu sendiri. Alhamdulillah selalu ada Hanif, sahabat kecilku, mahasiswa Pertambangan ITB yang dengan ikhlas menemani kemana langkah ini berpijak menuruti suara hati.

            “Apa yang kau sukai di dunia ini?”, tanya Hanif menghentikan pandangan mataku yang sedari tadi tertuju ke langit. Aku hanya menyimpulkan senyum dan kembali menatap langit. Sejenak ia terdiam sembari memandangiku. Kemudian bola mata nan indah itu mengajaknya berpaling untuk menatap langit jua.

“Banyak yang aku sukai di dunia ini.”, bisikku ke telinganya.

“Banyak itu apa saja?”

“Aku suka senja dikala saga memerah marun membersit indah di permadani langit.”

“Aku suka awan yang bergumpal pekat memutih salju.”

 “Aku suka hujan dengan rintiknya yang mengalun simfoni. Aku suka tetesnya ketika tepat jatuh di wajahku. Serasa malaikat langit menyentuh hatiku dengan kesegarannya. Apalagi jika Dia memberi bonus pelangi dengan warna-warninya yang indah.”

“Semua tentang langit rupanya.”, tanyanya, kemudian menengok ke arahku.

“Aku juga suka hijaunya dedaunan yang meliuk gemulai tatkala sepoinya angin membelai.”

“Aku juga suka gunung, pantai, bunga, dan semua keindahan yang diciptakanNya dengan teramat sempurna.”, tambahku sembari turun dari pagar tempatku terduduk. Aku berputar-putar dengan wajah menengadah ke langit. Kubentangkan kedua tanganku bak sepasang sayap yang bersiap terbang. Kuhirup napas panjang sembari menutup mata. Kulepas perlahan-lahan dengan sedikit demi sedikit mata ini membuka. Sempat terkaget ketika mata ini telah terbuka sempurna Hanif tepat berdiri di depanku dan melempar tanya, “Yang paling kau suka diantaranya apa?”.

“Jika aku menyebutkannya. Apa kau akan menghadirkannya untukku?”, kataku dengan nada mencibir.

“Kok diam?”, tambahku.

“Karena aku berpikir bagaimana ekspresimu ketika aku mampu melakukannya.”

“Dasar!”, lemparku sembari berbalik meninggalkannya yang masih mematung di tengah taman.

“Kau tak kan pernah mampu, Hanif. Kecuali kita telah berada pada kehidupan surga. Karena yang paling kusukai adalah yang menciptakannya”, bisik hati pada angin yang menerbangkan dadaunan kering. Entah angin itu jua menyampaikannya apa tidak. Aku tak pernah peduli. Yang penting keberagaman dunia yang Dia cipta selalu kudapati dimanapun kaki ini berpijak, jua kapanpun mata ini memandang.
***
Senja telah kembali pergi. Meninggalkan ruas-ruas rona tak tertepi. Gurat saga di ufuk barat tinggal seutas. Menyimpul bak senyum. Manis di antara pahitnya pekat.

Tak terasa hampir habis malamku di kota Kembang. Besok sore aku harus bergegas ke Bali untuk mengisi seminar di Universitas Udayana. Sebelum pergi aku sudah berjanji untuk mampir ke istana cinta sebuah keluarga yang sejak kecil aku sering bersama mereka. Ya, keluarga sahabat kecilku, Hanif, di Daerah Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat.
***
Pagi masih buta. Sedari tadi Hanif sudah misscalled berkali-kali. Aku coba telpon dia. Ternyata dia sudah menunggu di luar hotel sejak sang fajar masih bersembunyi di ujung gelap..

“Aduh, anak itu selalu deh. Bikin terburu-buru.”, gerutuku dalam hati.

Aku segera memunggung ranselku dan mengunci kamar.

Teteh mau pergi?”, tanya cleaning service yang setiap paginya bertugas di sekitar kamarku.

“Kebetulan ada akang. Teteh nitip kunci buat resepsionis ya. Buru-buru ini.”, jawabku sembari memberikan kunci dan bergegas turun dari pintu samping.

“Aduh, teteh mah gimana atuh. Kok dititipkan ke akang.”, ujarnya dengan wajah kebingungan.

“Nggak apa, kang. Teteh udah biasa nginep disini kalau ke Bandung. Nuhun ya kang.”, teriakku sambil terus bergegas.

Dalam hati ini tersimpan seribu tanya. Ada apa gerangan ia menjemputku sepagi ini. Dua jam lebih awal dari perjanjian kemarin. Ah, entahlah. Memang susah menerka-nerka hatinya.

“Buruan, teh. Udah ditunggu mama.”, serunya ketika diriku telah nyata di hadapnya.

“Hah, nggak lihat orang ngos-ngosan apa? Kok bisa? Emang tante dimana?”, jawabku sembari membuka pintu Xenia B 2303 R itu.

“Kenapa di belakang? Pindah depan sini!”

“Ah, cerewet banget sih. Apa bedanya aku di depan atau di belakang. Kan sama aja atuh kang Hanif.”

“Mobil ini nggak akan melaju sebelum kamu pindah ke depan.”, tegasnya sambil melihatku dari kaca mobil.

“Dasar!”

Pertama aku mengenal Hanif ketika di bangku SD. Murid baru pindahan dari Padang inilah yang tak pernah bosan menemaniku bermain. Bahkan karena sering ditinggal orang tuaku bertugas di luar kota. Aku sering tinggal bersama keluarganya. Jadi tak heran jika hubungan kami sudah seperti keluarga sendiri. Meskipun sekarang keluarga Hanif sudah pindah ke Pangandaran. Dan keluargaku masih setia di Surabaya.

Setelah menjemput tante Ira yang ternyata juga di Bandung sejak kemarin. Xenia dengan warna hitam elegan ini melaju dengan kencangnya menuju Pangandaran.

Nak Zahra terbang ke Bali jam berapa?”, tanya tante Ira yang duduk di belakang Hanif.

InsyaAllah jam 4 sore, tante.”, jawabku sambil melihat ke arahnya.

“Masih cukup waktumu untuk jalan-jalan bersama kami.”

Aku hanya tersenyum. Kemudian tante Ira melempar kata untuk Hanif, “Langsung ke pantai pangandaran aja, Nif. Ke rumah sedari sana saja.”

“Iya, Ma.”, singkat jawab Hanif dengan terus memacu mobilnya.
***
Sepanjang perjalanan menuju Pangandaran adalah indah. Bibir ini serasa basah oleh tasbih melihat segala keelokan yang Dia cipta. Sejurus kemudian kutengok tante Ira. Ia tertidur pulas. Kulihat Hanif, Ia fokus mengendara. Karena hening, aku memutar DVD mobilnya dengan lagu A Thousand Years. Aku hanyut dalam setiap lirik yang Christina Perri senandungkan. Hingga tak sadar suara hati ini ikut bersenandung melagukannya.

“Sudah sampai.”, ujar Hanif bersiap turun dari mobil, diikuti kami berdua. Kemudian kami bertiga jalan menuju pantai. Subhanallah, sulit membahasakannya dalam kata. Semua yang terlihat mata adalah indah. Hanif menarik tanganku mendekat ke arah kapal. Namun mata ini justru meraba keberadaan tante Ira.

“Nggak apa, Nak Zahra sayang. Tante disini saja. Mau beli ikan bakar buat Nazwa.”, teriak tante Ira dengan melambai-lambaikan tangannya.

“Dasar Hanif Gila!”, bisikku ke telinganya.

“Mama yang memintaku.”, bisiknya pula.

“Mama apa kamu?”

“Dua-duanya aja deh kalau gitu.”

“Dasar.”

Kapal yang hanya ada kami dan 1 nahkoda melaju sedang. Mata ini terus menari merekamnya. Dibantu Hanif dengan Canon-nya merekam setiap jengkal memori perjalanan menyusuri pantai Pangandaran ini.

Langkah ini telah sampai di ujung Pangandaran. Tapak bertelanjang kaki kembali menyusuri pesisir. Dengan sesekali terjangan ombak menyerbu menyentuhnya. Canda, tawa, dan teriak kami membahana di sepanjang pantai. Laksana angin, pasir, laut, jua langit merekam momentum kebersamaan kami di Pangandaran.

“Hanif, ayo kembali. Kasihan tante menunggu sendiri di sana.”, ajakku.

“Sebentar.”

“Ayolah, aku nggak enak sama tante.”, rengekku. Hanif tetap tak bergerak dari posisinya. Jemarinya dengan lihai melukis di atas pasir. Entah apa yang ia coba lukis. Semua abstrak di mataku jika rasa kuatir menggelayut dalam relung.

“Kalau dalam hitungan tiga kamu nggak berdiri. Aku ke sana sendiri.”, tambahku jengkel karena sudah hampir 15 menit ia tak berkutik. Terus-terusan asyik dengan apa yang ia kerjakan.

“Satu, dua, ti...”

“Tiga...”, balasnya sembari berdiri meraih tanganku. Ia mencoba menunjukkan apa yang ia lukis di atas pasir padaku. Aku mencoba meraba makna. Jua mencoba mengeja kata. Entah, angin apa yang membuat mata ini berair. Tak sadar pipi ini telah basah dibuatnya.

“Dasar.”, kataku dengan isak yang masih terlihat.

“Kenapa melukisnya di atas pasir? Tidak takut jika angin menerbangkannya, jua air laut membawanya larut?”, tambahku sembari melemparkan pukulan ke bahunya.

“Harapku biarlah Allah, aku dan kamu yang mengetahui isi hatiku. Dan biarlah angin menerbangkan rasa ini. Jua air laut melarutkan cinta ini bersamanya ketika asa ini tak kian berujung dalam hatimu.”

“Hari ini, kusempatkan menghadirkan apa yang kau sukai, meskipun sesungguhnya yang menghadirkan semua keindahan ini adalah Dia yang menghidupkan segala yang ada di langit jua di bumi. Hari ini, kuberanikan diri untuk meminangmu meski belum secara sah. Harapku kau menerimanya. Kalaupun kau menolak. Setidaknya aku tak kan menyesalinya. Karena aku mencintaimu tanpa syarat. Karena aku hanya ingin menjadi pelangimu sehabis rinai yang menyembunyikan senja dari keelokan langitmu.”, tambahnya mengharukanku.

Dia mengusap air mataku, kemudian melayangkan pelukan untukku. “Aku akan menunggumu sampai kau siap mejadi bidadari dunia dan akheratku.”, bisiknya.
***
Hawa Pangandaran masih terbawa hingga ke Bali. Lembar kisah yang terlukis oleh jemari Hanif sesekali muncul dalam bayang. Memberi arti tersendiri bagi jiwa yang bersemi. Seakan menjadi pupuk penyemangat bagi bunga-bunga hati. Menemani kesendirianku dalam beberapa hari ke depan di pulau ini, pulau dewata yang ujar banyak orang merupakan surganya Indonesia karena keragaman budaya dan wisata yang eksotik ini.

Kicau burung di pelataran rumah yang aku tumpangi di sekitar Udayana ini seakan membawa pesan rindu dari barat. Bayang wajah Hanif tatkala menyampaikan rasa yang telah ia pendam sedari dulu tiba-tiba berkeliaran memenuhi hati dan pikirku. Semua nampak jelas dari mata hatiku. Jika kemarin aku hanya terdiam seribu bahasa. Maka ijinkanlah hati ini bersua kepada angin yang kuharap mampu menyampaikannya padamu.

“Ya, aku akan datang padamu, Hanif. Ketika masaku benar-benar sampai padamu. Aku siap menjadi bidadari dunia dan akheratmu. Jika memang namamu yang tertuliskan untukku. Tidak usah takut sekalipun harus menjalani long distance love. Saling percayalah bahwasanya janjiNya tak pernah palsu. Kesetiaanmu telah nyata bagiku. Kerelaanmu benar-benar tak bersyarat untukku. Teruslah menjadi pelangiku dikala senja bersembunyi dibalik hujan. Teruslah menjadi pelangiku meski kau harus menari bersama rinainya untuk terlihat nyata oleh nuraniku.”.
***

Kolong langit, 22.59, Rabu, 8 Jumadil Awal 1434 H,
Di tengah tumpukan tugas yang terus melambai untuk dikerjakan.

Riskha Tri Oktaviani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar