- Rabu, 27 Maret 2013

Mantanku, Pendamping Hidupku


Sore ini istimewa. Tak pernah kudapati langit sore seelok ini sebelumnya. Meganya yang memerah saga, putih abu mendekati petang, dan birunya yang lembut memukau, menjadikan permadani itu sungguh mempesona. Ya, aku terpana. Benar-benar tergoda untuk terus memandangnya. Kucoba menghelakan napas. Berharap mata ini segera beranjak. Namun apatah daya, semilir angin justru hadir dengan kesejukkannya, membawaku semakin larut dalam keindahannya.
Entah, aku tak pernah tahu kenapa dulu aku menyukainya. Seseorang yang pertama kali kulihat masuk kelas dengan tegapnya. Tinggi semampai dengan lesung di pipinya. Ketika dia tersenyum, aku jua tersenyum kala itu. Dia menatapku dan menunjuk ke arahku. “Kita sama-sama berlesung pipi”. Ya, itu kalimat pertama yang masih jelas kuingat sebelum kami saling mengenal.
Ruang memori tanpa batas ini rupanya telah merekam dengan indah tentang masa lalu. Sungguh segala puji bagiNya yang menitipkannya padaku. Meski sejujurnya aku tak mau mengingatnya lagi. Masa yang telah kuanggap kelam karena hati ini tertaut padanya. Semua berjalan begitu saja. Seakan rasa ini mencoba memberontak keluar menembus dinding hatiku. Bak sebuah busur panah yang melesat jauh ke dasar hatinya. Ya, sepertinya itulah mauku. Namun Allah tak pernah menginginkan itu terjadi padaku. Sampai datang masa tersendiri untukku memeluk cintanya. Namun aku yakin, mencintainya termasuk dalam rencana yang dibuatnya untukku.

Aku tak pernah suka dengan kalimat “waktu melesat cepat bak busur panah”. Karena selalu saja masa-masa sulit bertahan lebih lama. Dan masa bahagiaku bersamanya teramat singkat. Namun aku tidak boleh serakah. Bisa bersamanya setiap hari seperti ini sudah lebih dari cukup. Meski aku tak pernah tahu apa yang dipikirkannya. Jua apa yang dirasakannya dalam hati. Aku tak pernah mengharap balas atas cinta ini. Karena aku tahu, jodohku telah disiapkanNya.
Senja telah pergi. Sang cakrawala telah mencekam pekat. Aku tak sadar. Ternyata aku telah menghabiskan berjam-jam waktuku hanya untuk membuka lembaran lalu. Lembar kisah yang terbaca sembari menikmati indahnya sore ini.
“Astaghfirullah, aku belum menyiapkan makan malam”, sontak hatiku terketuk dan berucap itu. Aku segera ke dapur mempersiapkan makan malam untuk suamiku.
“Assalamu’alaykum,...”, suara yang sudah tak asing bagiku membahana menggemakan ruang.
“Wa’alaykumussalam,...”, aku mencium tangannya. Dan seperti biasa, dia melemparkan kecupan hangat di keningku sembari berlalu ke kamar mandi. Berwudhu dan mengganti pakaiannya.
Setelah sholat isya’, seperti hari-hari yang lalu kami tak pernah melewatkan makan malam bersama. Sekalipun ketika aku merajuk, ataupun dia yang merajuk. Kami selalu melakukannya bersama.
“Aku selalu suka masakanmu. Sekalipun kata orang ini tak enak, aku akan tetap menikmatinya. Karena ini adalah buah karya istriku. Yang dibuatnya dengan penuh cinta suci untukku.”, katanya sembari menyantap sendok terakhir dalam piringnya. Aku terdiam sejenak dan memandangnya.
“Tak perlu memandangku seperti kau tak bisa memandangku lagi. Aku akan selalu ada untuk kau pandangi, meski aku bosan untuk kau pandang. Tapi tenanglah. Aku tidak akan pernah bosan untuk dipandang oleh kedua bola mata yang indah itu.”
Aku tersenyum mendengarnya, lalu menunduk melanjutkan makan malamku. Entah, sepertinya kuncup-kuncup bunga yang ada dalam hatiku bermekaran kembali. Seusai makan malam, kami habiskan malam dengan berbincang.
“Kenapa kamu memilihku?”, tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari bibirku.
Dia menatap tepat dimataku dengan tajamnya.
“Kenapa terdiam?”, desakku.
“Karena Allah telah mengirimmu untukku.”
“Hanya itu?”
“Karena agamamu. Karena pendidikanmu. Karena jiwa ke-ibu-an-mu. Dan yang pasti, karena aku mencintaimu karena Allah”
Aku terdiam dan terus menatap matanya. Aku melihat kejujuran terpancar darinya. Dan entah, kenapa buliran air mata ini tiba-tiba mengalir hangat di pipiku. Dia mengecup bibirku lalu memelukku erat. Hingga tak sadar aku tertidur dalam peluknya yang hangat.
***
Sampai detik ini aku masih belum percaya. Aku telah halal baginya. Demikian jua dia telah halal bagiku. Namun tetap, aku masih menyimpan tanya bagaimana Dia memasangkan kami, hingga kini aku telah menjadi pendamping hidupnya. Ya, sekali lagi ini adalah bagian dari rencanaNya. Hidup, mati, jodoh, rejeki, semua berada dalam genggaman tanganNya. Tak ada yang dapat mengubah takdirNya. Namun kita bisa memperindah nasib kita.
Ingatanku kembali menguak masa lalu. Bayang-bayang cinta yang dulu selalu hadir memenuhi ruang hatiku. Ya, masih dengan cerita yang sama. Seorang berlesung pipi, tinggi, dan juga ketua kelasku. Saat pemilihan ketua kelas itulah aku mulai tahu namanya. Faisal, ya cukup indah didengar , jua cukup indah diucap.
Aku tak pernah tahu jika ternyata ia menyimpan rasa padaku. Aku bisa membacanya dari sms-sms nya. Jua bagaimana ia memperlakukanku. Ketika itu aku tak mengingatnya dengan jelas. Ketika ia membawa lari jaketku dan membuatku marah. Itulah awal mula segalanya terjadi. Ia kembalikan jaketku diam-diam. Kemudian ia mengirim pesan padaku. “Aku tahu maaf tak kan dapat mengembalikan semua seperti sedia kala. Namun aku tahu maaf setidaknya bisa membuatmu kembali tersenyum. Tersenyumlah, karena dengan begitu hatiku menjadi tenang.” Awalnya aku menganggapnya itu hanya permohonan maaf biasa. Maka aku membiarkannya berlalu begitu saja.
Malam rupanya telah kembali menyapa. Kala itu aku dikejutkan oleh sebuah sms dari Faisal. “Jika memang akulah tulang rusukmu. Ijinkanlah aku kembali hadir diantaranya. Tak peduli orang lain mau berkata apa. Jika Allah berkata iya, maka kaulah milikku.” . “Ya Allah, Engkau Yang Maha Membolak-balikkan hati. Apakah benar kiranya Kau mengijinkan kami.”, bisik hatiku padaNya. Namun karena hati telah dikuasai nafsu. Beberapa saat kemudian aku membalasnya, “Tak tahu apakah Dia memang benar mengijinkan, jika memang benar kamu maka suatu saat kita kan menyatu”.
Sejujurnya aku takut jika hati ini dikuasai nafsu. Namun apa tah daya hati ini telah terperangkap. Hari-hari kami jalani seolah tak terjadi apa-apa. Biar hanya kami dan Allah yang mengetahuinya. Bahwasanya kami telah berpacaran. Seminggu kami jalan bersama, untaian kata cinta dari bibir manisnya selalu membuai memenuhi ruang hati dan pikirku. Sebulan berjalan jua masih begitu. hingga berlanjut ke bulan-bulan berikutnya. Rasanya masih sama untukku. Serasa aku dibutakan oleh romantisme yang ia ciptakan untukku. Sekali dua kali bertengkar itu hal yang wajar. Sekali dua kali dibakar api cemburu bisa kukendalikan. Namun karena tidak ada yang mengetahui hubungan kami. Aku lebih banyak menjaga hati oleh amarah ketika dia didekati banyak gadis. Atau dengan kabar kisah cintanya yang lalu tiba-tiba menyeruak muncul di permukaan. Aku tetap diam sampai ia sendiri yang menjelaskan padaku.
Hari itu, entah aku tak mau menyimpannya dalam ruang memori. Namun masih saja tertangkap oleh mata hati. Entah setan apa yang hinggap dalam diriku. Hingga tanpa ijin Rona, teman sekelasku, jua partnerku dalam mengemban jabatan sekretaris kelas, aku membuka kotak masuk HP-nya. Laksana petir menggelegar mematahkan hatiku. Air mata telah terbendung dalam kelopak. Mencoba memberontak keluar. Namun aku tahan hingga putih di sekitar bola mata yang indah ini memerah bata. Aku mendapati banyak pesan dari Faisal di HP-nya. Aku pikir, ah, mungkin masalah kelas. Kan Rona juga perangkat kelas. Namun semakin aku berpikir demikian, semakin banyak tanda tanya yang muncul dalam hati. Hingga tak kurasa jemari ini telah membuka pesan-pesan itu. Lisan ini telah membaca dalam hati apa yang tertuang di dalamnya.
“Astaghfirullah, sebenarnya apa ini? Kebenaran apa yang kan terkuak darinya?”, kataku dalam hati sambil menutup kembali HP Rona. Entah kenapa dada ini begitu sesak. Tiba-tiba langkah ini telah sampai di kamar mandi. Aku tatap cermin, aku dapati bendungan air mata tadi telah jatuh menghujani jantung hatiku. Bagai tersayat-sayat rasanya. Hingga tak terasa hampir 30 menit aku berada di sana.
Lonceng telah berbunyi. Pertanda pelajaran akan segera dimulai. Aku segera merapikan diriku. Dan kembali ke kelas. Masih kusapa ramah Rona yang duduk di sampingku. Masih kulemparkan senyum ke Faisal yang seperti biasanya memandangku dari belakang. Dan tak segera berpaling jika belum ada signal dariku untuk berpaling. Aku bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Ya, memang itulah kelebihanku. Aku masih bisa tersenyum meski hati ini menangis.
***
“Nanti malam datang kan?”, tanya Faisal ketika pulang sekolah.
“InsyaAllah,Fai.”
“Aku jemput ya?”
“Jangan, nanti kalau teman-teman berpikir macam-macam. Aku tidak mau menanggung.”
“Berpikir apa? Paling Cuma semacam. Tidak bermacam-macam kok”.
“Jangan bercanda, Fai sayang.”
“Apa apa? Tadi bilang apa? Ulangi donk!”
“Hmmm, apa ya? Aku sudah lupa.”, kataku sembari berjalan keluar kelas.
“Ah, nggak asik.”, teriaknya sambil mengejarku.
“Mau ku antar pulang?”, tambahnya.
Aku hanya terdiam. Sedikit merasa aneh juga dengan sikapnya. Akankah ia lupa dengan komitmen kami ketika jadian. Aku tak mengerti kenapa tiba-tiba ia seakan ingin mem-publish hubungan kami.
“Sekali-kali nggak apa lah. Tenang saja, mereka tidak akan curiga.”, katanya mendapati diriku masih saja terdiam dan terus berjalan menuju pos untuk menunggu jemputan.
“Ayolah, sayang!”, desaknya.
Aku menghela napas. Kemudia aku lepaskan perlahan. Kutengok ke arahnya. Ia masih menunggu jawaban. “Iya, aku sudah sms ayah nggak usah dijemput.”
“Really?”, dengan wajah penuh heran nan bahagia dia menatapku sembari melepas senyumnya.
“Dasar lesung pipi!”, entah kenapa kata itu yang keluar dari bibirku.
“Dasar lesung pipi juga. Tunggu di sini ya. Aku ambil motor.”, katanya sambil berlari ke parkiran.
Dalam hati ini masih menyimpan banyak tanya. Ingin rasanya meminta penjelasan pada Faisal. Namun hati ini tak tega. Ya, biarlah waktu yang menjawabnya. Biarlah ia sendiri yang kan membuka tabirnya.
***
Hujan kembali jatuh dari permadaninya. Gemericiknya mengalun simphoni. Melagukan rindu yang tak tertepi pada indah pelangi. Ruang memori ini ternyata masih terus membuka lembaran demi lembaran yang lalu. Kini tiba pada saat hati telah mendapat jawab atas sejuta tanya yang sempat muncul memenuhinya.
Masih bersama nada hujan. Menemaniku meraba hingga aku menutup lembar yang kelam. Perdebatan sore itu. Tak perlu ditanya karena apa. Yang jelas aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami secara sepihak. Ia bertanya kenapa. Namun jawabku tak jua memuaskannya.
“Seperti apa yang kuucap saat komitmen itu dimulai. Maaf mungkin tak kan mampu mengembalikan semua seperti sedia kala. Namun setidaknya maaf itu mampu membuatmu tersenyum. Kali ini, aku tak memintamu memaafkanku. Namun jika putus adalah jalan terbaik untuk kita memperbaiki jodoh kita. Biarlah aku jadi mantan terindah, mantan pertama dan terakhirmu. Karena aku yakin takdir kita adalah satu.”, serasa basah hati ini membaca sms darinya. Namun kuat niat ini untuk memperbaiki diri. Meskipun aku tak bilang. Ia tahu maksudku memutuskannya.
Hari-hari setelah itu memang serasa kaku. Aku terkesan menutup diri darinya. Pun jua dengannya. Setiap bertemu, aku bisa melihat masih ada cinta dalam hatinya. Namun aku percaya ini yang terbaik. Tidak ada pacaran sebelum nikah. Itu yang ku teguhkan dalam hati. Dan semoga ia pun jua berpikir sama. Entah apa maksud kalimat terakhir dalam sms-nya. Biar hanya Allah yang menjelaskannya nanti saat masa itu benar datang pada kami.
***
Tujuh tahun telah berlalu. Mengisahkan episode-episode hidup yang telah menjadi lembar kenangan. Melukiskan warna-warni pelangi yang mengindahkan hari-hariku. Hingga datang masa yang dinantikannya. Ya, seseorang yang telah menjadi mantan terindahku. Mantan pertama dan terakhirku. Karena selepasnya, aku telah berjanji untuk pacaran hanya dengan pendamping hidupku sebagaimana agama mengajarkanku.
Tak bisa dipungkiri waktu memang melesat cepat bak busur panah. Dan hari ini telah menjadi saksi sucinya sebuah ikatan cinta. Awalnya aku tak percaya orang tuaku menerima pinangannya. Aku jua berasa mimpi ketika meng-iya-kannya. Semua berjalan seperti apa yang dikatakannya ketika menerima kenyataan bahwasanya kami harus berpisah. Entah, sebenarnya aku sudah hampir melupa. Namun selalu terbayang tajam dalam angan,“Takdir kita adalah satu.”.
Setelah tidak bertemu selama lima tahun. Aku yakin ia telah menjumpai banyak wanita. Namun ia memilihku. Wallahu’alam. Aku yakin ini sudah dituliskanNya dalam skenario hidup kami. “ya, kini aku percaya, Faisal. Takdir kita adalah satu. Terimakasih telah memberiku waktu untuk belajar memperbaiki diriku, agamaku, pendidikanku, dan semua yang mungkin tak kan kudapat jika kita tak berpisah dulu. Terimakasih telah membimbing kami hingga Kau pertemukan kembali dalam bahtera rumah tangga. Kami janji akan emban amanah cinta dariMu ini dengan sebaik-baik yang kami mampu. Terus bimbing kami hingga kami tetap berjodoh sampai di SurgaMu, Ya Rabb.”, kataku dalam hati sembari menutup ruang memori tanpa batas ini.

“Aku mencintaimu mantanku, aku mencintaimu pendamping hidupku, aku mencintaimu jodoh dunia-akheratku, aku mencintaimu Faisal, aku mencintaimu karena Allah. Semoga cinta ini membimbing kita untuk selalu berada dalam jalan cintaNya. Hingga suatu saat nanti kita memperoleh cintaNya dalam surgaNya nan indah ”, tulisku seusai bangun dari sujudku yang panjang di sepertiga malam terakhir ini. Aku sengaja tidak tidur kembali untuk menuliskannya. Kuletakkan di atas meja kerjanya. Kemudian aku bergegas kembali ke kamar. Ku dengar ia sedang mengaji. Segera kuambil mushaf dan mendekat padanya. Dalam hati ku merona. Bunga-bunga serasa terus bermekaran dalam hati ini. Subhanallah, sungguh indah takdir yang Dia tuliskan untuk kami.
***
Kolong langit, 15 Maret 2013 ketika tepat 17.46
Riskha Tri Oktaviani

9 komentar:

  1. jeng, jeng,.... kisah nyata bagaimana ade? orang saya masih kuliah. hehheheheh, itu fiksi neng ade.. :)

    BalasHapus
  2. owalah tak kirain kamu udah nikah :D
    *yo gapapa toh kuliah sambil nikah - eh kebalik yak :D

    BalasHapus
  3. jeng, jeng, baru 19 tahun juga del.. kamu udah nikah ta? ckckckkc

    BalasHapus
  4. btw adel usia berapa? bekasinya mana?

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. imajinasi yang sangat luar biasa kak.
    heheee

    BalasHapus