- Kamis, 12 Januari 2012

Just Memories of Mata Pena



kau telah menyulutnya...
Bukan maksudku untuk membencimu, bukan maksudku untuk seolah-olah tak menyukaimu. Tapi aku begitu untuk menutupi perasaanku. Perasaan yang aku takutkan jika terus berkembang tanpa kendali. Walaupun aku tahu ini fitrah, yang tak seorangpun mampu melawannya. Tapi pintaku Allah selalu menjaga hatiku untuk tidak terlalu larut dalam rasa ini. Bukan karena apa-apa. Percayalah, aku tidak ingin merusak persahabatan kita yang susah payah kita bangun. Seperti aku merusak persahabatanku dengan masa laluku. Meski tak jelas pangkal ujungnya, namun tersirat seperti ada setitik benci di antara kami. Entah dia merasa atau tidak, tapi hati kecilku selalu mengatakan demikian. Namun aku sudah tak mau memikirkannya. Harapku, semoga lambat laun kebencian itu sirna dan berubah dengan senyuman satu sama lain. Dan kami dengan sangat bangga berteriak,” we are friend forever and ever “. Tapi denganmu,
begitu sulit aku memulai, begitu rumit aku mempertahankan, begitu sakit jika harus menjelaskan padamu berulang-ulang. Inginku kita tetap berteman, yang katamu untuk selama-lamanya. Seperti apa yang sekarang sedang ku rajut dengan dirinya yang dulu. Tapi yang ada di hadapku sekarang adalah kamu, bukan dia, itu kamu, bukan orang lain. Kamu hanya tidak tahu apa yang ada di hatiku, yang membelengguku, menjeratku, bahkan menyiksaku dalam setiap detik waktuku. Kamu bisa beranggapan seperti itu, kamu bisa mengatakan di setiap pertemuan kita, aku tersirat membencimu. Karena kamu tidak mengerti sedikitpun tentang diriku. Meski telah ku jelaskan panjang lebar. Percuma. Jawabmu selalu, tidak apa-apa, aku tidak marah. Tapi ketahuilah, aku punya hati. Aku bisa merasakan bahwa kamu jengkel. Dari bahasamu, aku mampu membaca pikirmu, dari tingkahmu, aku mampu memahami batinmu. Tapi pernahkah sekali saja kamu melakukan hal yang sama? Tidak, kan? Meskipun kamu berkata, ” aku mengerti keadaanmu ”. Keadaan seperti apa yang kamu ketahui? Keadaan bahwa aku ada sedikit masalah katamu, keadaan bahwa aku menangis tadi, keadaan bahwa aku sedang tidak bisa diganggu. Kamu hanya tahu itu. Tidak lebih mengerti dari itu. Kamu tidak mampu membuka tabir ini, ataukah kamu memang tidak mau. Ketika aku berusaha memohon maaf atas itu, dengan penjelasan yang begitu gamblang, dengan bahasa yang halus, agar kamu mampu memahaminya. Tapi kamu hanya membalas, ” tidak apa-apa, jangan merasa bersalah seperti itu ”. Sekilas itu sudah merupakan jawaban. Tapi tidak, untukku. Itu bukan jawaban, tapi pukulan. Begitu tidak mengindahkan apa yang aku sampaikan, begitu tidak memperdulikan apa yang aku jelaskan. Hanya segitukah, pemahamanmu? Oh, tidak. Jika benar begitu, berarti aku telah salah. Salah menjatuhkan pilihanku, karena kamu benar-benar belum, bahkan mungkin tidak bisa mengerti diriku. Tapi kenapa? Yang ada dalam hatiku adalah kamu. Yang menghantui bayangku adalah dirimu. Kenapa bukan orang lain? Orang yang bisa mengerti aku seutuhnya, orang yang selalu menghiburku jikalau ku sedih, orang yang selalu menghapuskan air mataku, orang yang selalu ada dalam setiap kesendirianku. Entah? Aku tiada pernah mengerti akan hal ini. Yang jelas, semua ini begitu menyakitkan, membuka luka-luka lama yang baru saja tertutup. Dan menggores luka baru di atasnya. Perih, rasanya. Menangispun seakan tak mampu melegakan. Justru semakin menusuk jauh ke relung. Sakit!!! Hingga mungkin, saat ini air mataku mengering, aku mati rasa. Aku tidak bisa merasa. Aku juga tiada pernah mengerti apa yang akan terjadi nanti. Akankah kamu luluh, ataupun semakin angkuh. Tiada bayang akan hal itu. Akankah aku masih berharap, ataukah sudah semakin melupa akan dirimu. Tiada terlintas dalam benakku. Yang pasti aku percaya pada Allah, aku serahkan semuanya padaNya. Jika nanti kamu yang ditakdirkan untuk bersanding denganku, mengikat janji suci denganku, yakinkan aku bahwa kamulah yang terbaik untukku. Jika bukan dirimu, berjanjilah padaku bahwa kamu akan tetap memegang kata-katamu untuk tidak akan pernah marah padaku akan masa-masa ini, yang mungkin nanti akan menjadi masa lalu. Dan berjanjilah, kamu tetap selalu memegang ucapannu bahwa WE ARE FRIEND FOREVER AND EVER. Buat diriku percaya akan hal itu. Dan jadikan masa-masa ini sebagai kenangan, meski pahit, janganlah kamu melupakan. Karena sesungguhnya yang merasakan pahit getirnya adalah aku, bukan kamu. Sekali lagi AKU bukan KAMU.

Goresan pena ini tertuang atas tangisku akan kesalahpahaman yang mungkin tiada pernah kamu mengerti. Ternyata denganmu lebih rumit daripada dengannya. T_T
Sabtu malam Minggu, 11 Desember 2010, 21.30-22.45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar