Malam ini nampak berbeda.
Pijar cahaya bintang mengelilingi rembulan yang terlihat malu-malu. Sepoi angin
malam menggugah batinku, menggerakkan tanganku untuk menulis. Ya, menulis dan
hanya menulis. Satu-satunya
hal yang masih bisa aku lakukan dalam keadaan seperti ini. Bahkan aku tak tahu
sampai kapan akan berakhir. Namun aku bersyukur, benar-benar bersyukur. Allah telah mengembalikan penglihatanku yang
sempat hilang beberapa tahun lalu. Aku sangat berterimakasih, Allah telah
mengirimkan seseorang seperti Mr. David yang sangat peduli dan dermawan. Sudah
banyak jiwa yang Allah selamatkan dan Allah tolong melalui tangan Mr. David. Orang
dari benua Paman Sam ini bahkan telah menganggapku sebagai putrinya. Aku
diambilnya dari jalanan ketika Dia berlibur ke Jakarta lima tahun yang lalu.
Kala itu Dia hampir menabrakku ketika aku ngamen.
” Are you okey, dear ?” tanya bibi Emi, orang kepercayaan Mr. David
yang sudah aku anggap seperti ibuku sendiri.
Aku terjaga dari lamunan dan
sesegera mungkin untuk menjawab,
” Yes, i am okey. Why? Am i look so pail?”
” Ehm, nggak apa-apa sayang. Bibi
hanya kuatir, karena biasanya jam segini kamu sudah pulas. Kamu nulis diary ya? ”
“ Oh, aku nulis novel Bi, tapi
bibi jangan bilang-bilang ke mereka ya?”
“ Okey, don’t
worry, dear. And don’t sleep too night!”
“ Hmm, I will.
Good night, aunt.”
“ Good night too,
dear. Have a nice dream.”
“ Have a nice
dream too.”
Lima tahun aku di New York, sudah lebih dari cukup
untukku beradaptasi dengan lingkungan dan komunikasinya. Aku tidak harus
belajar bahasa inggris dulu, karena notabene
aku sudah mahir bahasa inggris sejak SD. Sayang sekali, akibat kecelakaan tujuh
tahun yang lalu, aku kehilangan keluargaku dan tidak lagi mengenyam pendidikan.
Aku lebih banyak mengajar anak-anak jalanan dan ngamen dengan mereka dua tahun
penuh sebelum aku dibawa ke New York.
“ Huft, gimana ya kabar mereka?” gerutuku sesaat setelah
meletakkan pena ke kotak.
“ Subhanallah, aku benar-benar beruntung.” kataku dalam
hati.
Jam dinding, kado ultahku dari Richard. Putra satu-satunya Mr. David. Sudah
menunjukkan pukul 23.59, satu menit lagi untuk ke dreamland.
***
Alarm Handphoneku
berbunyi nyaring. Jam dua lebih seperempat. Aku segera bangun dan mengambil air
wudhu. Walaupun satu kakiku belum begitu pulih. Aku tidak patah semangat, Allah
selalu bersamaku. Dialah yang selalu menuntunku untuk melangkah. Berjalan di
jalan cintaNya, yang suatu saat akan membawaku ke pelukanNya. Itulah yang menguatkan
aku dan membuatku selalu berusaha untuk tidak meninggalkan amalan wajib dan
sunahku walaupun hanya satu waktu. Karena semua perbuatan akan
dipertanggungjawabkan nantinya. Amalan pertama dan utama yang dihisab adalah
sholat. Maka dari itu, aku
selalu memohon pada Allah untuk menjaga sholatku, menguatkan iman dan Islamku
sampai aku bertemu denganNya.
Selesai tahajud, aku tidak
segera tidur. Aku sempatkan untuk mengaji. Kira-kira jam tiga aku baru beranjak
dari sujudku.
” Tok, tok, tok... Re, have you a moment to me. I
have a problem.”
Suara Richard mempercepat gerakku untuk merapikan
mukenaku. Dan tentunya merapikan diriku.
“ Wait a minute!” teriakku lembut.
“ Okey.”
Aku buka pintu kamarku. Dia menunggu di samping pintu dengan tetap berdiri.
“ What can I do
for you?”
“ Ehm,, but, I
think not here. Let’s go to center’s room. There is more comfortable.”
“Okey.”
“ Re, kamu tahu kan? Tiga hal yang menjadi problem cowok. Uang, wanita, dan prinsip.
Daddy memblokir ATMku karena aku tidak mau melanjutkan kuliah di
kedokteran, si Chika marah gara-gara aku belum kasih kado ultah, hast, I’m going crazy now.”
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
“ Why do you smile?
Is it funny?”
“Ehm, I think your
problem’s not rather serious. Kamu bisa rayu Mr. David soal kuliahmu. Kamu maunya ambil prodi apa,
jelaskan pada beliau alasan dan tujuanmu secara baik-baik. Kalau soal Chika, gimana ya???”
“ Hmmm, males aku. Aku nggak jago merayu. Apa kamu saja yang merayukannya buatku? Soal Chika kok kamu balik nanya sih???.”
“ Enak saja. Masalah kamu ya kamu yang harus nyelesein. About Chika, I think it’s better if you are
honest to your father that you need money to give her a gift.”
“ Hmm, I think I
can’t do it.”
“ How about part
time job? You can get some money from it, can’t it?”
“ Rere, jangan gila donk! Itu lebih tidak bisa lagi.”
“ Terus gimana? Ri, kamu tidak
akan tahu sesuatu itu akan baik untuk kamu lakukan atau tidak sebelum kamu
mencobanya. You
just think, think, and think. But you don’t do it yet. Hear me ! Yang namanya memulai memang sulit. Apalagi memulai suatu hal yang
kita benci. Namun jika kita sudah berhasil memulainya, semua akan mengalir
dengan sendirinya. Terlebih
jika kita bisa bermain perasaan. Memberikan sedikit sentuhan hati dalam suatu
hal tersebut. InsyaAllah hasilnya tidak mengecewakan. So, Bertanyalah pada hatimu jika kamu belum menemukan sesuatu yang
pas untuk masalahmu. Karena jawabanku akan tetap sama.” jelasku.
” Hmm, okey, I’ll try it. Thanks a lot my sweety, Rere!”
“ It’s okey, Riri.
Keep fighting! Believe that you can do it well.”
Terdengar aneh memang, jika aku memanggilnya Riri,
seperti nama cewek saja. Tapi itulah panggilan sayang. Dia panggil aku Rere,
dan aku panggil dia Riri. Katanya sich, biar lebih mudah dan akrab.
***
Berbulan-bulan aku hanya di rumah. Beristirahat sejenak dari keramaian untuk
memulihkan kakiku. Setiap hari guru privat datang membimbingku belajar. Mr.
David benar-benar memperhatikan pendidikanku selayaknya dia memperhatikan
pendidikan Richard.
“ Richard, Reisya, turun nak!
Kita sarapan bareng. Mr. dan Mrs. David
menunggu kalian.” teriak bibi Emi.
”Okey, Bi...” jawab kami serempak seraya keluar dari kamar yang memang berhadapan.
” Kok bisa bareng sich?” candaku.
” Itu namanya ada ikatan batin diantara kita. Hehe” jawabnya dengan tawa.
” Reisya, gimana kakimu. Sudah
sembuh?” tanya Mr. david setelah kami semua duduk di meja makan.
” Alhamdulillah, sudah lebih
baik, Om.”
” Kok masih panggil Om, kamu
kan sudah menjadi anak saya.”
” Iya, Re. Panggil saja Papa.
Dan kamu juga boleh panggil saya Mama. Karena sekarang kami berdua adalah papa
dan mamamu.” tambah Mrs. Carol, istri Mr. David.
Selesai makan semua berpencar sesuai
kesibukan masing-masing. Tinggal aku yang masih stay at home. Guru
privatku sudah bilang tidak bisa mengajar hari ini. So, aku hanya menghabiskan
hari di kamar sambil menyelesaikan novelku. Aku akan mengirimkannya ke festival
novel yang diselenggarakan fakultas sastra di Al-Azhar University bulan depan. Aku harap keberuntungan bersamaku.
Aku sangat memimpikan bisa kuliah di situ. Aku yakin where is a want, there is a way. Keep
believe God and do the best!
***
Hari yang kutunggu telah
datang. Ditemani rintik salju yang turun perlahan, aku berjalan riang di atas
hamparannya. Sengaja aku menyembunyikan niat ini dari keluarga Mr. David.
Semoga itu tidak menghalangi langkahku untuk memenangkannya. Akan ku hadiahkan
kabar gembira kepada mereka nantinya. Semoga Allah azza wa jalla meridhoinya.
Selesai mengirimkan novel, aku mampir ke love
bakery shop. Dengan sekotak kue cinta yang kujinjing dengan merona, aku
ucap salam ke bibi.
” Assalamualaikum, bibi, aku
pulang...!”
” Waalaikumsalam, iya sayang.”
Keluarga Mr. David memang
telah menjadi muslim, tidak terkecuali Bibi Emi.
” Sayang, kamu bawa apa itu?”
” Biasa, Bi. Kesukaan Riri dan
keluarga.”
” Oh, taruh kulkas saja.
Sebentar lagi mereka pulang.”
” Okey, my lovely aunt.”
***
” Bi, Rere mana?” teriak Richard.
“ Kamu ini, pulang-pulang Reisya saja yang dicari.”
Canda Mrs. Carol.
“ Ah, mama. Jangan lebay dech! Dari pada nyari Bibi Emi. Justru aneh kan? Hehe”
jawabnya dengan canda pula.
” Cari di kamarnya saja.”
jawab bi Emi dari dapur yang terdengar sedang mencuci piring.
” Re, i’m so happy
today. Do you know why?”
“ Hmmm, aku bukan paranormal
yang bisa baca pikiran orang. Dah buka kulkas belum?”
” Memang ada apa?”
” Ada bom yang siap menggoyang
lidahmu.”
” Ah, kamu Re... jangan
becanda donk! Eh, aku dah baikan ma Chika.”
” Hmmm, trus?”
” Kamu nggak seneng, lihat aku
seneng begini.”
” Hmmm...!”
” Kamu kenapa ta? Kok ham,
hem, ham, hem saja. Nggak ada
jawaban lain apa?”
Aku hanya tersenyum dan
kemudian dia berlalu keluar. Kutengok dia membuka kulkas dan ngemil kue cinta
di depan laptopnya.
” Re, come here!”
” Why? I’m very
busy now.”
“ Come on, hurry
up!!!”
“ Okey, okey.”
“ Look at this! Namamu ada di daftar lima novel terbaik
festival novel fakultas sastra, Al-Azhar
University. Ini beneran kamu bukan?”
“ Oh my God, is it
a dream?’
Richard mencubit pipiku.
“ Ah, Riri… apaan sich, sakit tahu?”
“ Hehe, ini beneran kamu. Mama, Papa, Bibi, novel Riri menang. Dia dapat beasiswa S1 di Fakultas Sastra Al-Azhar University.” Richard teriak memanggil seisi rumah dan aku
tetap terpaku seakan tak percaya bahwa keindahan yang telah dijanjikanNya
benar-benar datang. Ya, walaupun baru awal untuk perjuangan yang lebih berat.
Namun kurasa tidak ada yang tidak mungkin, selama kita mau berdoa, berusaha,
berikhtiar, dan bertawakal kepadaNya.
“ Your dream comes
true, dear… kami turut berbahagia mendengarnya, tapi
kenapa tidak bilang kalau kamu ikut?”
“ Hmmm, saya hanya tidak ingin
menyusahkan. Dan Alhamdulillah saya berhasil. Saya akan berjuang menggapai
mimpi saya. Thanks
for everything.”
” Good luck, dear!
Believe that God with you, protect you and help you in everything you do.” Ucap Mr. david memotivasiku.
“ Thank you.”
“ Riri, kamu juga harus berusaha. Jadinya kemana nich?”
kataku sambil menepuk bahu Richard.
” Tahu dech, nurut papa saja.
Dokter juga suatu yang mulia kok. Bisa nolong banyak orang. Hehehehe”
Tawa pun terpecah mendengar
kalimat Richard. Aku pun tersontak kaget dan bahagia melihatnya benar-benar
telah mantab dengan pilihannya. “Terimakasih,
Tuhan... terimakasih atas jalinan ukhuwah yang Kau ikatkan di antara kami. Wish us luck and success
make our dream come trueJ”.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar