”Gubraaak,... harus dengan apalagi aku menjelaskannya” teriakku jengkel.
” kenapa Git? ” tanya Rahma spontan.
” hah, apa? Nggak pa-pa kok. Hehe ” jawabku seolah-olah tidak terjadi
apa-apa.
” oh, kirain...” belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, dengan tegas aku
memotongnya.
”
kirain apa hayoo? Sudahlah, everything will be okey. Ke kantin yuk, keburu
belnya ngoceh tuch, tuch tuch kan
ngoceh deh ‘ the break time will be ending in five minutes ‘”
“ ah, kamu masih 5 menit aja kok, hayoo, sekali-kali jadi anak nakal gitu
loh. Masa’ baik terus? Hehehe ”
” ngejek nich ye? Ya dah buruan, keburu ngoceh lagi ntar...”
Aku dan Rahma buru-buru ke kantin. Tiba-tiba ” bruuuuuuuuukkkkkkkk”
” kamu nggak pa-pa kan? Lain kali hati-hati ta,!” suara yang sudah tak
asing lagi bagiku, membuatku sesegera mungkin untuk bangun dari topangannya.
Aku hanya memandang penuh kemarahan dan menarik tangan Rahma kembali ke kelas.
” loh, nggak jadi jajan ta ? ” gerutu Rahma.
” nggak mood. ”
” halah,,, pasti gara-gara Andre barusan ya, hayooo? Ngaku saja! ”
” nggak kok, dibilang nggak ya nggak. Ngerti nggak sich? ”
” ooopsss, ya maaf. Jangan marah gitu ta, tak panggilin Andre loh? ”
” Rahma.....”
” hehehehe ampuuuuuuuunnn, becanda Git...”
Tidak kupungkiri, semua itu memang karena Andre. Namun aku sudah tidak mau
memikirkannya. Sekalipun alasan, bukti, dan fakta-fakta yang mendukung
perasaanku untuk menjelaskan kesalahpahaman itu aku bukukan bertumpuk-tumpuk
hingga berdirilah perpustakaan isi hati, toh itu semua tak kan mampu menjelaskan
padanya. Tahu dach, hatinya itu benar-benar hati apa batu. Bisanya
ngajak debate contest, nguras hati, terlebih nguras pikiran. So, take it easy
aja dach, think that it’s just a game.
***
Gemericik air hujan masih mengalun merdu. Rintiknya menari gemulai diatas
rerumputan yang sesekali goyah diterpa angin. Ingin rasanya ku buka pintu, dan
keluar. Menikmati butiran air hujan yang jatuh tepat di wajahku. Pasti semua
kepenatan ini akan hilang. Namun sayang seribu sayang, hujan sore ini tak bisa
diajak bercanda, apalagi bermain-main. Melihat kilatnya saja, tangan ini
spontan mendekap erat telinga, dalam hati tak henti-hentinya ku berdzikir. Yang
sesekali mengeras akibat refleks petir yang seakan merobohkan jantung hatiku.
” buk, makan !” pinta adikku, Dana.
” oalah, dek. Ibu masih sibuk benerin saluran air itu loh. Sama kakak saja ya ?”
“ nggak mau, maunya sama ibu. ” rengeknya.
” diamin saja, Git. Hujan petir begini kok mikirin makan saja. Ajakin
dzikir, biar nggak ngrengek terus. ” teriak ibu.
” iya, ibu.”
” adik sini, dekat kakak. Sabar ya ! ikut dzikir yuk. Biar hujannya segera
reda. Kalau sudah reda, nanti adik bisa makan sesuka hati adik sama ibu.”
” iya, kak.” jawabnya pasrah.
Setelah Bapak berpulang ke rahmatullah, ibu memang berkewajiban ganda. Aku
tahu sebenarnya ibu sulit melakukannya. Tapi untukku dan adik. Ibu mampu
menepis keraguan dan ketakutan akan ketidakmampuannya. Jutru ibulah yang selalu
menguatkan kami. Dengan kata-kata mutiaranya yang terkadang mencairkan
bongkahan es dalam kelopak mataku. Satu yang selalu ku ingat
adalah kata mutiara yang dipetiknya dari Antoine De Saint, ” you have to endure caterpillars if you want to see butterflies ”.
Subhanallah, dengan kata itu ibu benar-benar mampu membuatku
berdiri di atas kerapuhan ini.
***
” Git, nyantai banget. Udah siap nich ?” tanya Rahma.
” siap apa ?”
” astagfirullah, penyakit lupamu udah stadium berapa ?”
” arrrggghhh, apaan sich, jangan becanda donk!”
” hoey, Gitaku sayang, nanti kan ujian matik.”
” hah, kok mendadak sich, materi yang mana ?”
” ya yang kemarin dibahas lah, masa materi tahun depan ?”
” biasa aja kali. Ujian ya ujian. Begitu saja kok repot ?”
” jam pertama loh Git ?”
” trus, kalo jam pertama kenapa, Rahma ? sepertinya takut banget.”
” yee, ngejek nich. Ya udah, ngaku dech, aku nyontek kamu yah ? kan sebagai
warga negara Indonesia yang baik, kita harus mengamalkan nilai-nilai Pancasila,
khususnya sila ke-3. nggak lupa bunyinya kan ?”
” iya, iya, aku mah udah nyadar dari tadi. Pura-pura aja aku sok lupa. Biar kamu khawatir. Kan lucu tuch wajahmu kalo
pas bingung begitu. Hahahahah!”
”
dasar !”
”
It’s time to begin the first leson ! tuch dah bunyi. Folio donk !”
“ hufft, iya, ini.”
Langkah Bu Tari telah terdengar mendekati ruang kelas kami. Kami segera
bersiap rapih sesuai aturan permainan dalam ujian.
” assalamualaikum, anak-anak ? ”
” waalaikumsalam, bu...”
Seperti biasa, tanpa basa-basi Bu Tari langsung membagikan soal. Waktu 60
menit untuk 10 soal dengan kategori sulit memang tidak cukup menyukseskan kami untuk
mengerjakan dengan sempurna. Apalagi untuk acara contek mencontek. Namun aku
bersyukur selalu bisa menyelesaikannya tanpa harus tengok kanan-kiri,
depan-belakang.
” yak, waktu sudah menunjukkan pukul 08.00, sekarang kumpulkan!”
” yah, bu... belum.” jawab anak-anak kompak.
Kalau sudah begitu, spontan kelas jadi pasar, anak-anak berlalu lalang
mencari jawaban, berteriak, merengek, emosi, bingung, nggak karu-karuan
pokoknya. Tapi Bu Tari tidak tinggal diam. Beliau berhitung cepat 3-5, jika
lebih dari itu tidak segera dikumpulkan, dianggap remidi. Tapi itu hanya sekedar
cara Bu Tari untuk membuat kami disiplin. Tidak serta merta menjatuhkan
siswanya.
***
” Git, sudah dengar kabar tentang Andre apa belum ?” tanya Silvi, teman
sekelas Andre.
” iya Git, aku dengar Andre kecelakaan.” tambah Rahma.
” trus, maksud kalian apa cerita padaku?”
Mereka
saling pandang, sepertinya mereka bingung dengan jawabanku.
” Git, jangan membencinya seperti itu. Nanti kamu yang sakit loh...” kata
Silvi menasehati.
” apa aku terkesan membenci? ”
” ehm, ya tidak sich, tapi... ” belum selesai Rahma berbicara, dering bel
telah memotongnya.
” tapi, sayang bel sudah berbunyi. Hehe, aku ke kelas dulu ya? Kita sambung
lain waktu.” kata Silvi sambil berlari menuju kelasnya.
Aku hanya tersenyum. Maaf, bukan maksudku untuk membencinya. Aku hanya
menutupi perasaanku. Perasaan yang sebenarnya masih tumbuh dan berkembang dalam
hatiku. Aku mengerti maksud mereka, namun kuyakini ini adalah cara terbaik untuk
melupakannya.
” duch, kok kepikiran Andre terus sich. Wake up Git,
it just a dream !” gerutuku di saat jam-jam terakhir.
“ pasti mikirin Andre? Jujur saja kamu masih cinta, kenapa ta?” tanya
Rahma.
Aku hanya terdiam. Sepatah katapun tak mampu aku ucapkan.
” sudahlah, dengan kamu diam seperti ini, takkan mampu menyelesaikan
masalah. Move on, beib. Temui Andre.”
” apaan sich?” jawabku ketus.
” terserah kamu Git, benar kata Andre, kamu itu tidak mau terus terang.”
Aku hanya memandangnya tajam, kemudian berlalu. Karena kebetulan bel pulang
telah nyaring terdengar. Aku berlari di tengah hamburan anak-anak yang ingin
pulang. Namun langkahku tidak menuju tempat parkir. Hati ini berteriak keras,
aku harus ke mushola.
” Git, mukamu merah banget, kenapa?” tanya Silvi yang kebetulan di Mushola.
” nggak pa-pa kok. ”
” ya sudah, aku duluan ya. Aku sudah
dijemput.”
” sil,...” ku coba memanggil Silvi untuk bertanya tentang Andre, namun dia
sudah terlanjur jauh berlalu.
” ah, sudahlah biar kutenangkan hati ini dulu.” kataku dalam hati.
Kulepas sepatu ini perlahan. Astagfirullah, wajah Andre selalu membayangi
langkah yang terseok, bahkan hampir saja terpeleset. Aku segera mengambil air
wudhu dan sholat. Doaku untuk Andre tidak terlupa. Pintaku Allah segera memberi
jawaban atas kesalahpahaman itu. Kalaupun kami harus berpisah karenanya, apakah
aku harus tidak peduli akan dirinya. ” Ya Rabb, andai ku bisa menukar rasa
sakitnya, biarlah aku yang merasakannya. Biarlah aku yang menangis akan
perihnya. Aku percaya Engkau adalah sebaik-baik perencana, Ya Rabb. Buatkanlah
rencana yang indah untuk dunia dan akheratnya. Andaipun kini kami harus
berpisah. Aku yakin Engkau akan mempertemukan kami lagi dengan cara yang indah,
jika kami memang Engkau takdirkan untuk mengarungi bahtera ini bersama-sama, Ya
Rabb.”
***
” Git, dari tadi HP kamu bunyi terus. Tapi ibu tidak berani membuka.” jelas
ibu ketika aku sampai di rumah.
” ah, ibu itu kaya dengan HP siapa saja. Kok tidak berani membuka.”
” ya harus ta, Git. Kan itu bukan milik ibu. Cepat dibuka sana. Siapa tahu
penting.”
Ibu memang selalu seperti itu, tapi aku paham bahwa dengan begitu, ibu
mengajariku untuk tidak membuka, mengambil, dan memakai apapun tanpa seizin
yang mempunyainya.
” Git, buruan makan. Nanti maag kamu kambuh lagi.”
” iya,
ibu. Sebentar...!”
”
subhanallah, 17 missed calls, 25 messages. Siapa sich?” kataku dalam hati.
” astagfirullah, gimana ini....,” keluhku setelah membuka sms, yang
ternyata dari ayah Andre. Beliau memintaku untuk ke RS Kartika Husadha, tempat
Andre dirawat. Sementara ibu pasti tidak akan mengizinkan aku pergi. Aku baru
saja pulang. Apalagi, mendung menyelimuti kota ini. Terlebih ibu tidak tahu
apa-apa tentang hubunganku dengan Andre.
” aku harus bagaimana, Tuhan...” rengekku dalam hati.
” sayang, kok nggak keluar-keluar ta?” teriak ibu.
” iya, ibu...”
Aku keluar dari kamar penuh bimbang. Selesai
makan, aku berusaha menceritakan apa yang terjadi pada ibu.
” Ya Allah, nak, kok tidak pernah cerita sama ibu jika kamu punya pacar.
Sekarang, saat sedihnya, kamu baru cerita. Ya sudah, ibu izinkan kamu pergi.
Ibu tidak mau melihat anak ibu merasa bersalah jika terjadi apa-apa sama...,
sama siapa tadi?”
” Andre, ibu... terimakasih ya ibu... Gita janji akan segera pulang.
Assalamualaikum...”
” waalaikumsalam wr, wb. Hati-hati di jalan, nak..”
” iya, ibu...”
***
Aku berjalan dengan tergopoh. Meski sesekali kuusap peluh dan air mata ini,
aku tetap berusaha untuk meringankan langkahku, mempercepatnya sekuat tenagaku.
Aku benar-benar takut jika harus mengulang kesalahan yang
sama. Aku tidak ingin menyesal untuk keduakalinya, meski maaf mampu mengulang kembali segalanya, seperti
kesempatan untuk membuktikannya. Namun tetap takkan mampu memutarbalikkan waktu
dan menghapus segala hal yang pernah terjadi kala itu.
” Gita sudah datang, kita tinggal mereka dulu,
mah...” lirih ucap ayah Andre kepada mama Andre.
” iya, pa...”
Mereka meninggalkan aku dan Andre. Suasana
hening, penuh kebisuan. Hanya isak tangisku yang lama-lama membuatnya angkat
bicara.
” cengeng banget sich...”
Aku hanya terdiam.
” kok diam?”
” jahat!”
” kenapa?”
” aku sudah disini, kamu mau aku melakukan apa?”
” aku tidak menginginkan apapun.”
” lantas untuk apa ayah kamu menyuruhku kemari?”
” yang nyuruh kamu kan ayah, kamu tanya saja ke
ayah...!”
Aku hanya menatapnya tajam. Seakan tak percaya,
dalam keadaan seperti inipun, masih sempat-sempatnya dia ngajak debat.
” apakah sedikit saja kamu tidak melihat
ketulusanku? Airmata ini kamu pikir palsu? Napas yang terengah-engah ini, juga
peluh ini, kamu kira hanya kemunafikan? Jika kamu memang menganggap begitu. Berarti adanya diriku hanya
kesia-siaan belaka.”
Aku memutarbalik langkahku keluar. Namun tak ada
sedikitpun usahanya untuk mencegahku.
” sayang, maafkan Andre ya? Dia seperti itu bukan karena membencimu. Dia hanya menutupi perasaannya
padamu.” hibur mama Andre.
” lihat ini, dia masih menyimpan semua messages
darimu, bahkan dia sering membacanya sebelum dia tidur. Katanya, itu bisa
mengobati rindunya padamu.” tambahnya.
Aku hanya terdiam, airmata ini terus mengalir. Menyadari bahwa apa yang Andre
lakukan sama seperti yang aku lakukan untuk menutupi perasaan ini. Aku juga
masih menyimpan semua messagesnya. Aku juga masih sering membuka dan membacanya jika aku kangen dengan
candanya, marahnya, dan semua tentang dirinya.
” kenapa kita harus berpura-pura? Jika kita benar-benar saling
mencinta?” teriak Andre dari kamar. Kutengok, dia berusaha bangun, namun belum
begitu mampu.
” berbaringlah, aku yang akan menghampirimu,
pecundang..”
” biar, biarlah aku dikata pecundang. Yang
penting pecundang ini memenangkan cintamu.”
Aku hanya tersenyum. Bahagiaku jika melihatnya
bahagia. Jika ini memang yang terbaik yang ditunjukkan Allah kepada kami,
semoga ini menjadi berkah. Tidak membuatNya cemburu, tidak membuatNya murung,
tidak membuatNya marah, dan semoga Dia mensucikan ikatan cinta ini sampai
datang saatnya kami harus berpulang kepada Dia, Sang pemberi cinta.
3 cerpn ini untukmu, yang di Semarang.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar