indahnya bersamamu,.. |
Pagi ini luar biasa. Sang surya tampak sempurna.
Jingganya yang merona membersitkan sapa dalam cakrawala. Sinarnya
menghangatkan, mencerahkan setiap jejak langkah di atas hamparan permadani yang
diciptakan-Nya. Subhanallah, tak ada yang seramah pagi. Dalam heningnya, ia
menenangkan. Dalam segarnya, ia menggairahkan. Dalam hangatnya, ia
menggerakkan. Menjadi sebuah penyemangat untuk menyelami kesempatan hidup hari
ini.
” Bu, apa yang akan kita kerjakan hari ini?”,
seorang anak mungil berusia lima tahun bertanya pada ibunya dengan polos dalam
sebuah perjalanan.
” Kita kerjakan apa yang bisa kita selesaikan,
anakku.”, jawab seorang ibu paruh baya yang nampak pucat pasi. Mata tuanya
berkaca-kaca. Sekilas terlihat ada banyak beban penderitaan di punggungnya.
” Apa itu, Bu? Akankah kita akan turun ke jalanan
dan meminta-minta?”
” Tidak, anakku. Kita masih punya akal dan
perasaan. Kita masih punya dua tangan dan dua kaki. Raga kita masih sempurna.
Kita masih bisa melakukan hal yang lebih baik dari itu.”
” Tapi apa Bu?”, anak berbaju TIMNAS merah putih,
dengan garuda di dada kirinya dan bernomor punggung 17 itu kembali bertanya
penuh semangat.
Tapi sang ibu tidak menjawab. Ibu berkerudung
hitam itu lalu berjalan, terus berjalan hingga tiba di depan sebuah bangunan
yang megah nan indah.
” Kita singgah di sini dulu ya, Nak.”
” Iya, Bu.”
Anak itu langsung berlari ke pelataran masjid. Ia
duduk. Namun matanya melalang buana memperhatikan setiap detail bangunan itu.
Mungkin ia takjub. Hingga ia tak menyadari, berpuluh-puluh orang yang
berlalu-lalang di sekitar masjid memperhatikannya. Bahkan ada diantara mereka
yang memandangnya sebelah mata.
” Mohon maaf, Ibu. Adakah yang bisa saya bantu?”,
tanyaku pada ibu berkerudung hitam itu, yang terlihat mencari-cari seseorang.
Tapi ia tak kunjung bertanya.
” Maaf, Dek. Bisakah ibu bertemu dengan K.H. Ahmad
Dahlan?”, jawabnya dengan sedikit berbisik.
” Mohon maaf, Beliau tidak ada, Bu. Beliau sedang
ada keperluan di Minang. Perkenalkan, saya Naf’a. Putri sulung Beliau. Jika ada sesuatu yang ingin ibu sampaikan
pada Beliau, katakan saja pada saya. Nanti saya sampaikan.”
” Saya Ibu Fathiyyah, istri dari sahabat karib
ayahmu. Saya akan melalukan perjalanan jauh. Entah sampai berapa tahun saya
belum tahu. Saya ingin menitipkan anak saya, Haidar, di pondok pesantren yang
dibina oleh ayahmu ini.”
” Oh, dengan senang hati Ibu Fathiyyah. Sungguh
suatu keberuntungan tersendiri bagi saya bisa bertemu ibu. Ibu adalah salah
satu orang yang menginspirasi saya. Ayah sempat bercerita banyak tentang ibu.
Ibu tenang saja. Insyaallah saya beserta teman-teman pembimbing pondok, juga
ayah saya, akan menjaga, membimbing, dan mendidik Haidar dengan baik. Hingga
saat datang masa ibu kembali menemui Haidar. Ia sudah tumbuh dan berkembang
menjadi insan kamil.”
” Barakallahu anti semoga menjadi insan kamil
pula.”
Aku dan Bu Fathiyyah menemui Haidar di pelataran
masjid. Kulihat seraut senyum yang begitu manis dari bibir tua beliau.
Subhanallah, Beliau seolah memancarkan cahaya. Pastilah beliau ini hidup hanya
untuk Allah SWT.
” Haidar, anakku. Ibu akan pergi ke suatu tempat
yang diwasiatkan ayahmu lima tahun yang lalu, sebelum ia pergi ke Rahmatullah.
Haidar di sini sama kak Naf’a ya? Ia adalah putri K.H. Ahmad Dahlan. Bukankah
kau sangat merindukan perjumpaan dengan Beliau. Kau ingin mendengar banyak
cerita tentang ayahmu dari beliau kan?”, perkataan Ibu Fathiyyah begitu meresap
sejuk ke relungku.
” Haruskah ibu pergi? Dan meninggalkanku di
sini?”, rengek Haidar.
Ibu fathiyyah tidak menjawabnya. Beliau memeluk
Haidar erat. Seakan beliau tak mau melepasnya. Bulir air mata jatuh dari kedua
kelopak matanya yang sayu, namun tetap indah.
” Ibuku yang sangat kucintai karena Rabb-ku, jika
kepergian ibu adalah suatu bentuk pengabdian ibu kepada Allah SWT., maka
pergilah. Haidar tak ingin menghalanginya. Merdeka-kanlah hati dan pikiran ibu
karena-Nya. Haidar percaya Allah SWT pasti menjaga kita semua dimana pun kita
berada.”
” Insyaallah, Haidar.”, Ibu Fathiyyah semakin
meng-eratkan pelukannya. Beliau kecup kening Haidar, lalu menatap wajah anaknya
itu dengan balutan air mata. Beliau berusaha untuk tersenyum. Haidar pun
tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu ibunya, layaknya orang dewasa yang memahami
keadaan itu. Ia melepas ibunya. Ia pandangi setiap tapak kaki ibunya sambil
melambai-lambaikan tangannya.615
Usia Haidar memang baru 5 tahun. Tapi kecerdasan
hati dan pikirannya seperti orang yang sudah memahami arti kehidupan ini.
Bahkan, mungkin aku harus belajar banyak darinya.
***
Hari ke tujuh,di bulan sya’ban 1432 H. Tepat tujuh
tahun Haidar bersama keluarga besar pondok pesantren yang dibina ayahku. Haidar
telah tumbuh menjadi ikhwan kamil di mataku. Setiap diamnya bak emas. Setiap
ucapnya bak mutiara, dan setiap tindakannya bak berlian. Banyak yang memujinya
begitu. Namun ia bukanlah orang yang gila akan pujian. Ia rendah hati dan
bersahabat dengan semua golongan.100
Sekarang Haidar akan memasuki Madrasah Tsanawiyah
di pondok pesantren ini juga. Aku sempat merasa heran kenapa ia tak pernah
sekalipun menanyakan hal tentang ibunya. Mungkin karena hatinya berasa merdeka,
dan ia merasakan bahwa ibunya juga merdeka di suatu tempat yang diwasiatkan
ayahnya, sebagaimana ibunya berkata dulu.
Di suatu senja yang indah. Di mana sang mega merah
terbentang syahdu dalam cakrawala. Di temani semilir angin yang sepoi-sepoi
menyejukkan kalbu. Ayah duduk di teras masjid bersama Haidar.
”Haidar, anakku, tidakkah kau merindukan ayah dan
ibumu?”, tanya ayah dengan hati-hati.
Haidar hanya tersenyum. Ia justru balik bertanya.95
” Kenapa Kyai menanyakan hal itu? Bukankah yang
memberi rindu itu Allah SWT.? Saya merindukan beliau berdua. Tapi sesungguhnya
rindu ini hanya untuk Sang Pemberi Rindu.”
” Subhanallah, anakku. Kau memang mewarisi
sifat-sifat orang tuamu. Tahukah, nak, ibumu sekarang sedang berjuang
memerdekakan sebagian dari saudara kita dari kemiskinan hati, juga harta. Ibumu
adalah seorang wanita yang pemberani. Meski banyak caci maki menghujam
jantungnya, ia tetap kekeh untuk berjuang. Ia hanya berbekal pengetahuan dan
keberanian. Tapi kyai dengar ibumu telah merintis lapangan pekerjaan untuk
mereka jua. Ia manfaatkan ilmu yang pernah ia peroleh di teknik industri sebuah
perguruan tinggi ternama di negeri ini. Ibumu itu patut dianugerahi gelar
pahlawan, nak.”
” Oh, begitu ya, Kyai. Saya hanya tahu bahwa ibu
pergi untuk mengabdikan diri pada Allah SWT.”
Tak terasa sang roda waktu telah membawanya ke
menit 45 dari pukul 17.00 WIB. Saatnya untuk mengumandangkan adzan maghrib. Memanggil seluruh makhluk
untuk sejenak menghadap sang khaliq dalam sujud dan rukuknya.
***
Menjelang ramadhan, Haidar mendengar kabar bahwa
ibunya akan kembali. Haidar
sangat bahagia. Ia tak henti-hentinya mengucap syukur.
” Baru mendengar kabar bahwa ibumu akan kembali,
kau sudah sebahagia itu, Haidar. Bagaimana jika ibumu di hadapanmu sekarang?”,
gurauku yang tak sengaja melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya.
” Iya, kak Naf’a. Betapa aku tidak bahagia? Aku
akan bertemu ibuku yang selama tujuh tahun ini aku tak mampu memandang
wajahnya, dan mendengar suaranya”
” Iya, Haidar. Semoga Ar-Rahman segera
mempertumukanmu dengan ibumu.”
” Amin. Syukron katsir, kak Naf’a.”
Hampir berjam-jam senyum dan sabar Haidar tak
pernah pudar. Sayang, tiba-tiba mendung tebal
menyelimuti buana. Tetes demi
tetes air jatuh dari langit-Nya. Petir menyambar-nyambar. Hawa dingin seraya
merasuk kencang, menusuk relung hati.
” Ya Rabb, ada apa gerangan? Kenapa secepat kilat
Kau ubah langit-Mu yang cerah, menjadi hujan yang begitu lebat?”, ucap Haidar
dalam hati.
Sesekali ku tengok keluar, butir air hujan semakin
deras tumpah ke bumi. Aku lihat ayah sedang menerima telepon. Aku pandangi
Haidar yang mondar-mandir di teras. Aku bisa merasakan kekhawatirannya.
” Naf’a, kesini, nak?”, panggil ayah dengan suara
bergetar. Sontak hatiku berbalut kekhawatiran.
” Naf’a, Ibu Fathiyyah mengalami kecelakaan dalam
perjalanan ke sini. Dan sekarang beliau telah dipanggil Sang Pencipta.”, kata
ayah sedikit terbata.
” Ya Allah, Bagaimana kami memberitahu Haidar akan
kebenaran ini? Bagaimana mungkin kebahagiaan yang terpancar ikhlas dari hatinya
Kau patahkan dengan kabar kematian ibunya?”, risauku dalam hati.
” Naf’a, kenapa bengong, nak? Ingat pepatah ini,
orang-orang harus dibangunkan, kenyataan harus dikabarkan. Qulil haqqo wa
laukana murron.”
” Ayah, sungguh Naf’a tak sanggup mengabarkannya.”
” Kalau begitu kau panggil Haidar.”
Dengan membendung airmata aku panggil Haidar.
Haidar masih nampak bahagia.
” Kyai, Ibu kok belum datang, ya?”
” Haidar, anakku, jika aku mengatakan kebenaran,
tapi itu pahit untuk yang mendengarkan, bagaimana menurutmu?”
” Kenapa Kyai bertanya begitu padaku? Tentu
kebenaran itu harus dikabarkan, meskipun pahit untuk didengar.”
” Haidar, Ibumu...”
” Ibuku kenapa Kyai?”, Haidar terlihat bergetar.
” Yang sabar, anakku. Ternyata Allah SWT. Lebih
meridhai ibumu kembali pada-Nya, dibandingkan kembali ke sini untuk menemuimu.
Ibumu mengalami kecelakaan, Haidar.”
” Inalillahi wa inailaihi roji’un, Ibuku, Ibu
Fathiyyah,... astagfirullahaladzim...”
Tak kuasa airmata Haidar menetes membasahi
pipinya. Ia terduduk sujud di hadapan kami semua. Aku tak bisa membayangkan
betapa perih hati Haidar.
Mobil jenazah telah memasuki pelataran masjid.
Wajah Haidar yang tadinya nampak cerah, sekarang terlihat sayu. Badannya juga
lemas tak berdaya. Setelah ikut menyolati ibunya. Haidar memandangi tubuh
ibunya yang telah terbujur kaku berbalut kain kafan putih. Ia berkata dalam
hati, ” Merdekalah, Ibu. Kau telah bebas dari dunia yang memenjarakan hati dan
pikiranmu. Kau telah bebas dari hiruk pikuk dunia yang semakin kejam
menyiksamu. Kau telah bebas, lepas, melayang, melintasi batas kehidupanmu. Ya,
batas kehidupan yang tak pernah kau lihat sebelumnya. Selamat jalan, Ibuku.
Selamat bertemu dengan dzat yang kau rindukan.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar