Sore
ini istimewa. Tak pernah kudapati langit sore seelok ini sebelumnya. Meganya
yang memerah saga, putih abu mendekati petang, dan birunya yang lembut memukau,
menjadikan permadani itu sungguh mempesona. Ya, aku terpana. Benar-benar
tergoda untuk terus memandangnya. Kucoba menghelakan napas. Berharap mata ini
segera beranjak. Namun apatah daya, semilir angin justru hadir dengan
kesejukkannya, membawaku semakin larut dalam keindahannya.
Entah,
aku tak pernah tahu kenapa dulu aku menyukainya. Seseorang yang pertama kali
kulihat masuk kelas dengan tegapnya. Tinggi semampai dengan lesung di pipinya.
Ketika dia tersenyum, aku jua tersenyum kala itu. Dia menatapku dan menunjuk ke
arahku. “Kita sama-sama berlesung pipi”. Ya, itu kalimat pertama yang masih
jelas kuingat sebelum kami saling mengenal.
Ruang
memori tanpa batas ini rupanya telah merekam dengan indah tentang masa lalu.
Sungguh segala puji bagiNya yang menitipkannya padaku. Meski sejujurnya aku tak
mau mengingatnya lagi. Masa yang telah kuanggap kelam karena hati ini tertaut
padanya. Semua berjalan begitu saja. Seakan rasa ini mencoba memberontak keluar
menembus dinding hatiku. Bak sebuah busur panah yang melesat jauh ke dasar
hatinya. Ya, sepertinya itulah mauku. Namun Allah tak pernah menginginkan itu
terjadi padaku. Sampai datang masa tersendiri untukku memeluk cintanya. Namun
aku yakin, mencintainya termasuk dalam rencana yang dibuatnya untukku.
Aku
tak pernah suka dengan kalimat “waktu melesat cepat bak busur panah”. Karena
selalu saja masa-masa sulit bertahan lebih lama. Dan masa bahagiaku bersamanya
teramat singkat. Namun aku tidak boleh serakah. Bisa bersamanya setiap hari
seperti ini sudah lebih dari cukup. Meski aku tak pernah tahu apa yang dipikirkannya.
Jua apa yang dirasakannya dalam hati. Aku tak pernah mengharap balas atas cinta
ini. Karena aku tahu, jodohku telah disiapkanNya.
Senja
telah pergi. Sang cakrawala telah mencekam pekat. Aku tak sadar. Ternyata aku
telah menghabiskan berjam-jam waktuku hanya untuk membuka lembaran lalu. Lembar
kisah yang terbaca sembari menikmati indahnya sore ini.
“Astaghfirullah,
aku belum menyiapkan makan malam”, sontak hatiku terketuk dan berucap itu. Aku
segera ke dapur mempersiapkan makan malam untuk suamiku.
“Assalamu’alaykum,...”,
suara yang sudah tak asing bagiku membahana menggemakan ruang.
“Wa’alaykumussalam,...”,
aku mencium tangannya. Dan seperti biasa, dia melemparkan kecupan hangat di
keningku sembari berlalu ke kamar mandi. Berwudhu dan mengganti pakaiannya.
Setelah
sholat isya’, seperti hari-hari yang lalu kami tak pernah melewatkan makan
malam bersama. Sekalipun ketika aku merajuk, ataupun dia yang merajuk. Kami
selalu melakukannya bersama.
“Aku
selalu suka masakanmu. Sekalipun kata orang ini tak enak, aku akan tetap
menikmatinya. Karena ini adalah buah karya istriku. Yang dibuatnya dengan penuh
cinta suci untukku.”, katanya sembari menyantap sendok terakhir dalam
piringnya. Aku terdiam sejenak dan memandangnya.
“Tak
perlu memandangku seperti kau tak bisa memandangku lagi. Aku akan selalu ada
untuk kau pandangi, meski aku bosan untuk kau pandang. Tapi tenanglah. Aku
tidak akan pernah bosan untuk dipandang oleh kedua bola mata yang indah itu.”
Aku
tersenyum mendengarnya, lalu menunduk melanjutkan makan malamku. Entah,
sepertinya kuncup-kuncup bunga yang ada dalam hatiku bermekaran kembali. Seusai
makan malam, kami habiskan malam dengan berbincang.
“Kenapa
kamu memilihku?”, tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari bibirku.
Dia
menatap tepat dimataku dengan tajamnya.
“Kenapa
terdiam?”, desakku.
“Karena
Allah telah mengirimmu untukku.”
“Hanya
itu?”
“Karena
agamamu. Karena pendidikanmu. Karena jiwa ke-ibu-an-mu. Dan yang pasti, karena
aku mencintaimu karena Allah”
Aku
terdiam dan terus menatap matanya. Aku melihat kejujuran terpancar darinya. Dan
entah, kenapa buliran air mata ini tiba-tiba mengalir hangat di pipiku. Dia
mengecup bibirku lalu memelukku erat. Hingga tak sadar aku tertidur dalam
peluknya yang hangat.
***
Sampai
detik ini aku masih belum percaya. Aku telah halal baginya. Demikian jua dia
telah halal bagiku. Namun tetap, aku masih menyimpan tanya bagaimana Dia
memasangkan kami, hingga kini aku telah menjadi pendamping hidupnya. Ya, sekali
lagi ini adalah bagian dari rencanaNya. Hidup, mati, jodoh, rejeki, semua
berada dalam genggaman tanganNya. Tak ada yang dapat mengubah takdirNya. Namun
kita bisa memperindah nasib kita.
Ingatanku
kembali menguak masa lalu. Bayang-bayang cinta yang dulu selalu hadir memenuhi
ruang hatiku. Ya, masih dengan cerita yang sama. Seorang berlesung pipi,
tinggi, dan juga ketua kelasku. Saat pemilihan ketua kelas itulah aku mulai
tahu namanya. Faisal, ya cukup indah didengar , jua cukup indah diucap.
Aku
tak pernah tahu jika ternyata ia menyimpan rasa padaku. Aku bisa membacanya
dari sms-sms nya. Jua bagaimana ia memperlakukanku. Ketika itu aku tak
mengingatnya dengan jelas. Ketika ia membawa lari jaketku dan membuatku marah.
Itulah awal mula segalanya terjadi. Ia kembalikan jaketku diam-diam. Kemudian
ia mengirim pesan padaku. “Aku tahu maaf
tak kan dapat mengembalikan semua seperti sedia kala. Namun aku tahu maaf
setidaknya bisa membuatmu kembali tersenyum. Tersenyumlah, karena dengan begitu
hatiku menjadi tenang.” Awalnya aku menganggapnya itu hanya permohonan maaf
biasa. Maka aku membiarkannya berlalu begitu saja.
Malam
rupanya telah kembali menyapa. Kala itu aku dikejutkan oleh sebuah sms dari
Faisal. “Jika memang akulah tulang
rusukmu. Ijinkanlah aku kembali hadir diantaranya. Tak peduli orang lain mau
berkata apa. Jika Allah berkata iya, maka kaulah milikku.” . “Ya Allah,
Engkau Yang Maha Membolak-balikkan hati. Apakah benar kiranya Kau mengijinkan
kami.”, bisik hatiku padaNya. Namun karena hati telah dikuasai nafsu. Beberapa
saat kemudian aku membalasnya, “Tak tahu
apakah Dia memang benar mengijinkan, jika memang benar kamu maka suatu saat
kita kan menyatu”.
Sejujurnya
aku takut jika hati ini dikuasai nafsu. Namun apa tah daya hati ini telah
terperangkap. Hari-hari kami jalani seolah tak terjadi apa-apa. Biar hanya kami
dan Allah yang mengetahuinya. Bahwasanya kami telah berpacaran. Seminggu kami
jalan bersama, untaian kata cinta dari bibir manisnya selalu membuai memenuhi
ruang hati dan pikirku. Sebulan berjalan jua masih begitu. hingga berlanjut ke
bulan-bulan berikutnya. Rasanya masih sama untukku. Serasa aku dibutakan oleh
romantisme yang ia ciptakan untukku. Sekali dua kali bertengkar itu hal yang
wajar. Sekali dua kali dibakar api cemburu bisa kukendalikan. Namun karena
tidak ada yang mengetahui hubungan kami. Aku lebih banyak menjaga hati oleh
amarah ketika dia didekati banyak gadis. Atau dengan kabar kisah cintanya yang
lalu tiba-tiba menyeruak muncul di permukaan. Aku tetap diam sampai ia sendiri
yang menjelaskan padaku.
Hari
itu, entah aku tak mau menyimpannya dalam ruang memori. Namun masih saja
tertangkap oleh mata hati. Entah setan apa yang hinggap dalam diriku. Hingga
tanpa ijin Rona, teman sekelasku, jua partnerku dalam mengemban jabatan
sekretaris kelas, aku membuka kotak masuk HP-nya. Laksana petir menggelegar
mematahkan hatiku. Air mata telah terbendung dalam kelopak. Mencoba memberontak
keluar. Namun aku tahan hingga putih di sekitar bola mata yang indah ini
memerah bata. Aku mendapati banyak pesan dari Faisal di HP-nya. Aku pikir, ah,
mungkin masalah kelas. Kan Rona juga perangkat kelas. Namun semakin aku
berpikir demikian, semakin banyak tanda tanya yang muncul dalam hati. Hingga
tak kurasa jemari ini telah membuka pesan-pesan itu. Lisan ini telah membaca
dalam hati apa yang tertuang di dalamnya.
“Astaghfirullah,
sebenarnya apa ini? Kebenaran apa yang kan terkuak darinya?”, kataku dalam hati
sambil menutup kembali HP Rona. Entah kenapa dada ini begitu sesak. Tiba-tiba
langkah ini telah sampai di kamar mandi. Aku tatap cermin, aku dapati bendungan
air mata tadi telah jatuh menghujani jantung hatiku. Bagai tersayat-sayat
rasanya. Hingga tak terasa hampir 30 menit aku berada di sana.
Lonceng
telah berbunyi. Pertanda pelajaran akan segera dimulai. Aku segera merapikan
diriku. Dan kembali ke kelas. Masih kusapa ramah Rona yang duduk di sampingku.
Masih kulemparkan senyum ke Faisal yang seperti biasanya memandangku dari
belakang. Dan tak segera berpaling jika belum ada signal dariku untuk
berpaling. Aku bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Ya, memang itulah kelebihanku.
Aku masih bisa tersenyum meski hati ini menangis.
***
“Nanti
malam datang kan?”, tanya Faisal ketika pulang sekolah.
“InsyaAllah,Fai.”
“Aku
jemput ya?”
“Jangan,
nanti kalau teman-teman berpikir macam-macam. Aku tidak mau menanggung.”
“Berpikir
apa? Paling Cuma semacam. Tidak bermacam-macam kok”.
“Jangan
bercanda, Fai sayang.”
“Apa
apa? Tadi bilang apa? Ulangi donk!”
“Hmmm,
apa ya? Aku sudah lupa.”, kataku sembari berjalan keluar kelas.
“Ah,
nggak asik.”, teriaknya sambil mengejarku.
“Mau
ku antar pulang?”, tambahnya.
Aku
hanya terdiam. Sedikit merasa aneh juga dengan sikapnya. Akankah ia lupa dengan
komitmen kami ketika jadian. Aku tak mengerti kenapa tiba-tiba ia seakan ingin
mem-publish hubungan kami.
“Sekali-kali
nggak apa lah. Tenang saja, mereka tidak akan curiga.”, katanya mendapati
diriku masih saja terdiam dan terus berjalan menuju pos untuk menunggu
jemputan.
“Ayolah,
sayang!”, desaknya.
Aku
menghela napas. Kemudia aku lepaskan perlahan. Kutengok ke arahnya. Ia masih
menunggu jawaban. “Iya, aku sudah sms ayah nggak usah dijemput.”
“Really?”,
dengan wajah penuh heran nan bahagia dia menatapku sembari melepas senyumnya.
“Dasar
lesung pipi!”, entah kenapa kata itu yang keluar dari bibirku.
“Dasar
lesung pipi juga. Tunggu di sini ya. Aku ambil motor.”, katanya sambil berlari
ke parkiran.
Dalam
hati ini masih menyimpan banyak tanya. Ingin rasanya meminta penjelasan pada
Faisal. Namun hati ini tak tega. Ya, biarlah waktu yang menjawabnya. Biarlah ia
sendiri yang kan membuka tabirnya.
***
Hujan
kembali jatuh dari permadaninya. Gemericiknya mengalun simphoni. Melagukan
rindu yang tak tertepi pada indah pelangi. Ruang memori ini ternyata masih
terus membuka lembaran demi lembaran yang lalu. Kini tiba pada saat hati telah
mendapat jawab atas sejuta tanya yang sempat muncul memenuhinya.
Masih
bersama nada hujan. Menemaniku meraba hingga aku menutup lembar yang kelam.
Perdebatan sore itu. Tak perlu ditanya karena apa. Yang jelas aku memutuskan
untuk mengakhiri hubungan kami secara sepihak. Ia bertanya kenapa. Namun
jawabku tak jua memuaskannya.
“Seperti apa yang
kuucap saat komitmen itu dimulai. Maaf mungkin tak kan mampu mengembalikan
semua seperti sedia kala. Namun setidaknya maaf itu mampu membuatmu tersenyum.
Kali ini, aku tak memintamu memaafkanku. Namun jika putus adalah jalan terbaik
untuk kita memperbaiki jodoh kita. Biarlah aku jadi mantan terindah, mantan
pertama dan terakhirmu. Karena aku yakin takdir kita adalah satu.”,
serasa basah hati ini membaca sms darinya. Namun kuat niat ini untuk memperbaiki
diri. Meskipun aku tak bilang. Ia tahu maksudku memutuskannya.
Hari-hari
setelah itu memang serasa kaku. Aku terkesan menutup diri darinya. Pun jua
dengannya. Setiap bertemu, aku bisa melihat masih ada cinta dalam hatinya.
Namun aku percaya ini yang terbaik. Tidak ada pacaran sebelum nikah. Itu yang
ku teguhkan dalam hati. Dan semoga ia pun jua berpikir sama. Entah apa maksud
kalimat terakhir dalam sms-nya. Biar hanya Allah yang menjelaskannya nanti saat
masa itu benar datang pada kami.
***
Tujuh
tahun telah berlalu. Mengisahkan episode-episode hidup yang telah menjadi
lembar kenangan. Melukiskan warna-warni pelangi yang mengindahkan hari-hariku.
Hingga datang masa yang dinantikannya. Ya, seseorang yang telah menjadi mantan
terindahku. Mantan pertama dan terakhirku. Karena selepasnya, aku telah
berjanji untuk pacaran hanya dengan pendamping hidupku sebagaimana agama
mengajarkanku.
Tak
bisa dipungkiri waktu memang melesat cepat bak busur panah. Dan hari ini telah
menjadi saksi sucinya sebuah ikatan cinta. Awalnya aku tak percaya orang tuaku
menerima pinangannya. Aku jua berasa mimpi ketika meng-iya-kannya. Semua
berjalan seperti apa yang dikatakannya ketika menerima kenyataan bahwasanya
kami harus berpisah. Entah, sebenarnya aku sudah hampir melupa. Namun selalu
terbayang tajam dalam angan,“Takdir kita
adalah satu.”.
Setelah
tidak bertemu selama lima tahun. Aku yakin ia telah menjumpai banyak wanita.
Namun ia memilihku. Wallahu’alam. Aku
yakin ini sudah dituliskanNya dalam skenario hidup kami. “ya, kini aku percaya,
Faisal. Takdir kita adalah satu. Terimakasih telah memberiku waktu untuk
belajar memperbaiki diriku, agamaku, pendidikanku, dan semua yang mungkin tak
kan kudapat jika kita tak berpisah dulu. Terimakasih telah membimbing kami
hingga Kau pertemukan kembali dalam bahtera rumah tangga. Kami janji akan emban
amanah cinta dariMu ini dengan sebaik-baik yang kami mampu. Terus bimbing kami
hingga kami tetap berjodoh sampai di SurgaMu, Ya Rabb.”, kataku dalam hati
sembari menutup ruang memori tanpa batas ini.
“Aku
mencintaimu mantanku, aku mencintaimu pendamping hidupku, aku mencintaimu jodoh
dunia-akheratku, aku mencintaimu Faisal, aku mencintaimu karena Allah. Semoga
cinta ini membimbing kita untuk selalu berada dalam jalan cintaNya. Hingga
suatu saat nanti kita memperoleh cintaNya dalam surgaNya nan indah ”, tulisku
seusai bangun dari sujudku yang panjang di sepertiga malam terakhir ini. Aku
sengaja tidak tidur kembali untuk menuliskannya. Kuletakkan di atas meja
kerjanya. Kemudian aku bergegas kembali ke kamar. Ku dengar ia sedang mengaji.
Segera kuambil mushaf dan mendekat padanya. Dalam hati ku merona. Bunga-bunga
serasa terus bermekaran dalam hati ini. Subhanallah, sungguh indah takdir yang
Dia tuliskan untuk kami.
***
Kolong
langit, 15 Maret 2013 ketika tepat 17.46
Riskha
Tri Oktaviani
mengharukan :')
BalasHapusKisah nyatakah?
jeng, jeng,.... kisah nyata bagaimana ade? orang saya masih kuliah. hehheheheh, itu fiksi neng ade.. :)
BalasHapusowalah tak kirain kamu udah nikah :D
BalasHapus*yo gapapa toh kuliah sambil nikah - eh kebalik yak :D
jeng, jeng, baru 19 tahun juga del.. kamu udah nikah ta? ckckckkc
BalasHapussama. Aku juga belum :)
Hapusbtw adel usia berapa? bekasinya mana?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusmau bilang apa ndah? kok dihapus? hehe
Hapusimajinasi yang sangat luar biasa kak.
BalasHapusheheee