Tatkala cinta pertama Via harus berujung luka,
meninggalkan lara yang mendalam di hatinya. Desir angin telah menitipkan sejuta
asa untuk mengembalikan senyumnya. Mentari pagi telah memberikan sinar kehidupan untuk membuka semangat baru
dalam perjalanan pencarian jati dirinya.
“ ma, Via berangkat dulu ya. Assalamualaikum…”
“ waalaikumsalam.., sayang. Hati-hati di jalan!”
“ okey, ma.”
Pagi ini adalah hari pertama Via masuk sekolah
setelah liburan kenaikan kelas. Semuanya nampak
berbeda. Dia harus beradaptasi dengan lingkungan dan teman-teman yang baru. Dia
mencoba untuk fleksibel kepada semua temannya. Tidak membedakan, dan tidak
bergabung ke gank-gank yang sepertinya lagi nge-hits saat ini.
“ hey, kenalin aku Via. Kamu siapa?”
“ aku Ana.”
“ aku duduk di sebelahmu ya, boleh nggak?”
“ ya, silahkan.”
“ thanks ya.”
Awalnya Via merasa ragu bisa berbaur dengan
teman-teman barunya. Namun keramahtamahannya membuat mereka nyaman. Pribadi
yang care, dan menjadi pendengar yang baik, menjadikan dirinya sebagai sandaran
disaat-saat mereka dilema.
***
Waktu tiada pernah lelah untuk berputar, meski jiwa yang
mengikutinya telah pudar. Ia terus membawa Via ke masa-masa dimana dia harus
belajar memahami setiap keadaan yang
selalu berubah. Seseorang yang biasanya menjadi wadah curahan hati temannya
itu, kini dihadapkan pada suatu masalah yang serius.
“ tiap hari
bertengkar terus nggak capek apa? Via tu sedih, ma.” Rengeknya sesaat setelah mama dan papanya bertengkar.
“ mama juga capek, Vi. Mama nggak paham dengan jalan pemikiran papa. Selalu
nggak ngertiin apa yang kita butuhkan. Bisanya hanya ngabisin uang. Tanpa
berpikir bagaimana sekolah anaknya, bagaimana kehidupan anak istrinya.” Jelas
mama Via dengan terbata karena tak kuasa menahan tangisnya untuk terjatuh.
“ Via ngerti, ma. Tapi apakah nggak bisa dibicarakan baik-baik. Nggak malu apa didengar tetangga?”
“ denger tu kata Via. Jangan ngomel saja!” saut papa Via dengan muka
garang.
“ gimana nggak ngomel? Kalau ulah papa selalu saja seperti itu. Tidak pernah berubah. Sadar, pa. Semakin hari seharusnya semakin
dewasa. Nggak…..”
“ nggak apa?
Tiap hari ngomel, ngomel, dan ngomel. Capek, ma. Kalau memang di mata mama aku
ini dah nggak ada baik-baiknya. Kita cerai saja!”
“ cukuuuuuuup,
ma, pa. Via moooohooon. Via capek dengan semua ini. Via malu, ma, pa…” teriak Via tragis.
Via tak tahan mendengar semuanya. Dia berlari ke
kamar dan mengunci dirinya di kamar. Dia meluapkan tangisnya, mencurahkan semua
amarah, kekesalan, kekecewaan, dan semua isi hatinya pada diarynya.
***
Pagi ini serasa berbeda. Semua mulut terasa
terkunci. Walau sekedar untuk mengucap selamat pagi. Setelah berbenah diri, Via
bergegas ke sekolah.
“ Vi, nggak sarapan dulu.” Teriak mama Via. Namun Via tak menghiraukannya.
Dia terus berjalan menuju garasi. Dan berlalu dengan sepeda kesayangannya.
“ maafkan mama, Vi!” kata mama Via dalam hati. Terlihat air mata tertetes
dari pelupuk matanya.
Setelah memarkir sepedanya, Via tidak segera ke
kelas. Dia menuju perpustakaan. Sepertinya ada sesuatu yang dia cari. Namun dia
tak membawa sesuatupun ketika keluar. Mungkin dia hanya menenangkan diri
sejenak di ruangan itu.
“ dari mana, Vi?” Tanya Ana setelah Via duduk di bangkunya.
“ dari perpus.” Jawabnya singkat.
“ kok sembab mata kamu, kenapa?”
“ nggak papa,kok. Mungkin karena semalam tidurku kemalaman.”
“ beneran nih, nggak pa-pa?”
“ iya.”
Via mencoba menutupi masalahnya. Dia nggak ingin
temannya melihat jiwanya yang sedang rapuh.
Pelajaran demi pelajaran telah terlewati tanpa
terasa. Namun Via seperti tidak mendapat sesuatupun hari ini. Mungkin memorynya
sudah terlalu penuh untuk memikirkan masalah di keluarganya. Dia sadar,
seharusnya dia tidak boleh terlalu memikirkannya. Karena hal itu bisa
mengganggu konsentrasi belajarnya. Namun karena kepekaan dan sifatnya yang pemikir.
Via tidak bisa memandang seperti tidak terjadi apa-apa.
“ Tuhan, beri kami solusi.” Pinta Via dalam hati.
“ hey, nglamun aja. Kenapa nih, nggak biasanya seperti ini.”
“ oh, kamu Ndra. Nggak pa-pa kok. Hanya saja aku
sedang merajut golden ways untuk orang tuaku.”
“ ada masalah ya?”
“ menurut kamu?”
Indra menatap Via penuh arti. Seperti dia mengetahui dan mengerti apa yang
dia rasa.
“ Vi, apa aku tidak cukup untuk kamu percaya? Curahkanlah isi hati yang
membelenggumu. Aku dengan senang hati akan menampungnya. Dan aku akan berusaha
untuk membantu merajut golden ways itu.”
“ makasih…” ucap Via sambil tersenyum.
Entah kenapa Via tidak canggung untuk bercerita
kepadanya. Dia merasa bebannya sedikit berkurang. Selama ini dia belum pernah
bercerita pada siapapun. Baru pada Indra dia mampu bercerita. Mungkin karena
dia percaya. Ataukah dia sudah tak mampu menahannya. Tapi
yang jelas, sekilas tersirat bahwa mereka saling care.
***
Minggu malam, sekitar pukul 19.00 WIB. Memang sengaja Via
mendudukkan kedua orang tuanya di ruang keluarga. Televisi dia nyalakan, dia
sengaja memusatkan channel MetroTV untuk menonton Mario Teguh Golden Ways . Karena kebetulan
malam itu sedang membahas tentang kebahagiaan keluarga. Via berharap dengan
begitu sedikit demi sedikit orang tuanya bisa mengerti. Dan segera menyelesaikan masalah mereka.
“ Tuhan, Bantu kami.”rengek Via dalam hati seraya meninggalkan kedua orang
tuanya. Dia memperhatikan mereka dari kamar. Terlihat ibu Via berkaca-kaca.
Dengan terbata dia memohon maaf pada suaminya.
“ pa, maafkan mama ya?”
“ iya, ma. Papa yang harusnya minta maaf. Papa sadar papa tidaklah sempurna
sebagai kepala keluarga.”
Mereka melepas kediaman mereka dengan saling mengucap maaf. Peluk erat dan
kecupan hangat saling terlempar dari keduanya. Via menangis haru melihatnya.
Dia tak henti-hentinya mengucap syukur.
Kehangatan yang sempat hilang dalam kelurga Via,
kini telah kembali. Menyelimuti mereka dari dinginnya angin malam.
“ sayang, makasih ya. Berkat kamu, mama dan papa kembali harmonis.” Ucap
mama Via sembari menyiapkan sarapan di meja makan. Pagi ini mereka sekeluarga
sarapan bersama.
“ nggak perlu makasih lah ma, kan sudah menjadi kewajiban Via untuk selalu
menyatukan mama dan papa. Via ingin mama dan papa selalu harmonis. Jangan
berantem, apalagi sampai tercetus kata cerai. Naudzubillah…”
“ iya, sayang. Maafkan kami ya?” sambung papa Via.
“ iya, pa.”
Seusai sarapan, Via langsung berangkat ke sekolah.
Tak tahu kenapa, hampir setiap hari, kedatangannya di sekolah selalu bersamaan
dengan Ryan. Luka yang hampir sembuh selalu saja kambuh bila melihatnya.
“ hey, makasih ya.” Kata Via pada Indra, yang kebetulan duduk di bangku
sebelah kanan Via.
“ makasih untuk apa?”
“ untuk semuanya.”
“ aku nggak merasa nglakuin sesuatu buat kamu.”
“ mungkin kamu hanya tidak menyadarinya.”
“ ah, kamu Vi. Bikin penasaran saja.”
Via hanya tersenyum, karena menyadari bahwa Bu Vida telah datang.
Ketika pulang sekolah harus tertunda karena hujan,
Via teringat apa yang dia rasakan 2 tahun yang lalu. Saat sahabat terdekatnya,
Ranti, menanyakan seberapa besar cintanya pada Ryan. Dia ingat betul apa yang
dia katakan. Dia menyuruh Ranti menghitung seberapa banyak air hujan yang jatuh
dari langit, karena sebanyak itulah ukuran cintanya pada Ryan.
“ kok melamun
lagi?”
“ ah, nggak
kok.”
“ trus…???”
“ apanya?”
“ tadi pagi.”
“ oh, kirain dah lupa. Tapi kalau kamu nggak merasa ya udah nggak pa-pa.”
“ ya, jangan gitu donk.”
“ aku seneng aja, kamu dah perhatian ma aku. Kamu dah mau jadi sandaran
ketika ada masalah yang membelengguku. I’m very happy
and luck, because God sent a best friend liked you.”
“ aku juga sangat senang. Bisa menjadi sahabatmu. Terlebih jika aku berguna
untukmu.”
Entah mengapa, hati Via bergetar ketika Indra berkata seperti itu. Dia
hanya terdiam. Mungkinkah Indra adalah orang yang dikirim Sang Pecinta untuk
memeluk masa sekarang dengan usahanya, demi kerinduan masa depan yang
cemerlang. Huwallohu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar