badaimu pasti berlalu, dila... |
Sang mentari tersenyum bangga pada dunia. Menyapa setiap makhluk dengan
sinarnya. Begitu cerah, menyilaukan setiap mata yang memandangnya. Kicau burung
yang merdu tak henti-hentinya kudengarkan. Diiringi tarian dedaunan yang mulai
menampakkan kedamaiannya. Walau masih ada sedikit embun yang perlahan menetes
seperti air mataku.
“ Dil, kok melamun sih?” lembut suara kakak membuat hatiku semakin
tertusuk. Sengaja aku tak membalasnya. Melihatnya, kemudian tersenyum. Itupun
sulit ku lakukan. Aku berjalan menjauhinya tanpa sepatah katapun.
“ adikmu
kenapa, Wid?” Tanya ibu sambil melepas Mifta, keponakanku dari gendongannya.
“ tidak
tahu, bu. Mungkin dia belum bisa melupakan Very.”
Setelah
merasa siap untuk pergi ke sekolah, dengan cepat kugayuh sepedaku hingga ku tak
terlihat. Aku tak peduli akan berbagai opini keluargaku. Tapi aku
yakin mereka mengerti.
Di sekolahpun, semua yang terjadi belum bisa terlupa. Kesedihan
ini begitu terlihat.
“ Dil, kamu
kenapa? Cerita donk!” hibur Farah.
“ iya Dil,
kalau dipendam sendiri nanti sakit loh.” Sambung Rike.
“ thanks ya.
Kalian memang sahabat terbaikku. Tapi maaf, aku belum terlalu mampu untuk
bercerita. Jika waktu telah menghendaki, InsyaAllah aku pasti cerita.”
Bel
masuk ke kelas sudah berbunyi. Anak-anak sudah
menempati bangkunya. Semua telah bersiap untuk menerima pelajaran.
***
Hari
memang telah berganti. Namun aku belum beranjak dari bayang-bayang masa
hari-hari kemarin. Mungkin aku belum sanggup menerima kenyataan bahwa Very
telah kembali ke pangkuanNya. Aku sadar seharusnya aku tak boleh seperti ini.
Aku harus bangkit, karena aku hidup untuk masa yang akan datang. Bukan tetap
berada di masa lalu. Namun apatah daya? Aku hanya seorang yang lemah, rapuh.
Hari ini, aku bersyukur masih bisa merasakan nikmat Allah yang luar biasa.
Aku lari-lari kecil di sekitar rumah. Menghirup kesegaran udara pagi dan
merasakan kehangatan mentari yang baru muncul.
” Very.”
kataku dalam hati, ketika melihat sesosok pria berjaket putih, seperti jaket
Very. Pria itu menengok ke arahku. Bak petir menyambarku, aku tergeletak lemas
tak berdaya kala itu. Dengan lembut dia menopangku, mencoba membangunkanku dari
mimpi yang nyata. Dia begitu simpatik, care, dan empati pada diriku. Seperti
dia tahu apa yang terjadi padaku.
” rumahmu
yang mana?” tanyanya.
” itu yang
catnya biru muda.”
” oh,
boleh tanya sesuatu nggak?”
” hmmm,
tanya pa?”
” kenapa
kamu pingsan melihatku saat kumenengok ke arahmu, tadi?”
Aku hanya
terdiam sampai langkah kami berada di ambang pintu rumahku.
” Dila...”
teriak ibu kaget.
” sayang,
kok lemas sekali kenapa?” sambungnya.
” nggak
pa-pa kok, bu” jawabku sembari berjalan ke kamar.
” makasih,
lho, dik.. sudah mengantar Dila pulang. Ngomong-ngomong adik ini siapa?”
“ saya Fandy,
bu. Saya baru di sini. Mohon maaf, ibu. Saya harus segera
pergi.”
” oh, iya,
dik. Maaf ya merepotkan dik Fandy.”
” nggak pa-pa,
bu. Memang sudah sewajarnya sesama manusia harus saling tolong menolong. Saya
pamit dulu bu. Assalamualaikum..”
“
waalaikumsalam…”
***
“ kak
Dila, Mifta punya coklat. Kakak mau?” teriak Mifta dengan senyumnya.
” makasih,
adik. Tapi
kakak lagi diet. Coklatnya buat adik saja.”
Aku merenung ,
tertetes air mati ini hingga tercetus banyak kata dalam hati.
“ andaikan
engkau masih hidup, pasti kaulah penyemangat belajarku, pemacu prestasiku,
sumber inspirasiku, dan tentu kau masih sering main kesini, Ver. Karena kau
paling suka anak kecil yang nge-gemesin seperti dik Mifta.”
“ apa ini?
Tanyaku ketika menemukan selembar kertas berwarna merah hati di pot bunga
mawar. Warnanya yang terkesan lembut,membuatku tertarik untuk membuka dan
membaca apa yang tertulis dalam kertas itu.
“
Dila…percayalah, badaimu pasti berlalu. Aku memang tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi padamu. Tapi aku bisa merasakan bahwa kamu baru kehilangan seseorang yang sangat
berarti dalam hidupmu. Ketahuilah, setiap daun yang gugur dari pohonnya telah
tercatat sebagai takdir Allah SWT. Demikian pula dengan apa yang terjadi
padamu. Jangan terlalu larut dalam kepedihanmu. Tapi bangkitlah, untuk
menyambut dan merasakan hikmah di balik semua itu. Aku yakin kamu bisa.
Bersabarlah menghadapi semuanya!”
Fandy
Subhanallah, kata-kata itu seakan membiusku, hingga masuk ke pori-pori hati
dan pikiranku. Kata-kata itu benar sekali. Aku tidak boleh seperti ini. Aku
harus bangun dari keterpurukkan ini. Aku harus berjuang untuk menghadapi
kenyataan yang ada. Bukan hanya menangisi yang telah tiada.
***
Masa terus berjalan. Menjauh dari masa lalu tanpa terasa. Fandy, pria yang
menolongku itu seakan mengisi hatiku yang kosong. Namun bukan berarti aku telah
menghapus Very dari memoryku. Bahkan akupun masih sering melamunkannya.
Sepulang sekolah, aku melihat anak-anak bermain layang-layang di lapangan.
Terik mentari yang menyengat tidak mereka hiraukan. Mereka hanya memperhatikan
layang-layang mereka. Aku berpikir sejenak, andaikan aku bisa bermain
layang-layang dan berhasil menerbangkannya ke angkasa, takkan aku biarkan
benangnya terputus. Karena layang-layang itu ibarat hati yang tersatukan dengan
hati yang terikat oleh seutas tali, yaitu benang. Dan
layang-layang itu, layang-layang itu adalah Very. Dan akulah yang memegang
benang itu. Sepanjang apapun benang itu, pasti akan selalu aku pegang. Kemanapun layang-layang itu terbang, meninggi ataupun
menjauh, pasti akan selalu kuperhatikan. Akhirnya akupun hanyut dalam khayal
yang tiada arti. Yang hanya membuatku semakin rapuh.
Entah mengapa tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan yang membebani pikiranku
dan menambah keresahanku. ” mungkinkah aku menerimanya?”
Fandy, pria
yang hadir disaat aku kehilangan Very. Tapi belum
genap 40 hari dia meninggalkanku. Orang tua bilang, tidak baik berganti
pasangan disaat duka. Tapi kenapa Fandy hadir dengan segala perhatian dan
kesabaran padaku???
Fandy seakan-akan sebagai sosok Very yang hidup kembali di mataku. Dia
berusaha membangkitkan aku dari keterpurukan, kelesuanku dalam belajar. ” ah,
kenapa aku berpikiran seperti itu? Benarkah kata orang tua seperti itu?
Salahkah aku, bila aku menganggap Fandy sebagai pengganti Very disaat-saat seperti
ini? Dosakah, dan bersalahkah aku pada Very? Oh, maafkan aku, Ver! Aku tetap
menyayangimu, tapi...tapi dunia kita telah berbeda. Tak mungkin aku meratapi
kepergianmu terus menerus. Aku harus dapat melupakanmu, cepat ataupun lambat.
Dan aku juga harus mengambil langkah secara benar tanpa meninggalkan pesan
ataupun kata-kata orang tua.” kataku dalam hati.
” hai,
Dil...lagi melamun ya?” sapa Fandy dengan sedikit pertanyaan. Tak kusangka
orang yang sedang kupikirkan sudah berdiri di sampingku. Dia memudarkan segala
anganku dengan sekejap waktu.
” hai,
juga Fan...maaf aku nggak tahu kalau kamu ada di sini?
” ya, iya.
Nggak pa-pa kok. Tapi jangan murung begitu donk. Kan nggak baik wanita secantik
dan secerdas dirimu harus begini terus. Lebih baik baca buku ini, lho. Buku ini
baru aku pinjam dari perpustakaan sekolahku. Bagus banget, lho isinya. Lumayan
bisa untuk pelajaran hidup kita.”
” tentang
apa, Fan?”
” ah,
sudahlah kamu baca dulu, setelah membaca, pasti kamu suka. Sudah ya, jaga
dirimu baik-baik. Jangan ratapi yang telah tiada! insyaAllah kebahagiaan telah
dekat denganmu.”
Setelah
Fandy melangkahkan kaki dan melemparkan senyumnya, hatiku mulai tenang. Ku buka
pelan-pelan buku darinya yang terbungkus rapi itu. Tak kusangka betapa
perhatiannya dia padaku. Ternyata dalam buku itu terdapat kertas surat yang
isinya pernyataan cintanya padaku. Dia berharap, aku mau menjawabnya setelah
aku bisa melupakan Very. Dia akan sabar menunggu jawabanku. Apapun keputusanku,
dia akan menerimanya. Ternyata buku yang diberikannya padaku adalah buku yang
dibelinya sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-17, tepat tiba hari ini. Buku
itu berjudul ” BADAI PASTI BERLALU ”. ” thanks, Fan...!” gumamku dalam hati. “
Engkau telah menunjukkan kebahagiaan itu, Fan.” Tambahku sesaat setelah membaca
buku itu. Sungguh, inilah kejutan yang luar biasa, yang takkan pernah
kulupakan. Dan buku inilah yang akan menjadi saksi, bahwa kemelut dalam
kehidupan akan berlalu bila dijalani dengan ketabahan dan kesabaran.
By : ris-k_jele’a2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar