- Kamis, 19 Juli 2012

Merdekalah, Ibu


indahnya bersamamu,..

Pagi ini luar biasa. Sang surya tampak sempurna. Jingganya yang merona membersitkan sapa dalam cakrawala. Sinarnya menghangatkan, mencerahkan setiap jejak langkah di atas hamparan permadani yang diciptakan-Nya. Subhanallah, tak ada yang seramah pagi. Dalam heningnya, ia menenangkan. Dalam segarnya, ia menggairahkan. Dalam hangatnya, ia menggerakkan. Menjadi sebuah penyemangat untuk menyelami kesempatan hidup hari ini.
” Bu, apa yang akan kita kerjakan hari ini?”, seorang anak mungil berusia lima tahun bertanya pada ibunya dengan polos dalam sebuah perjalanan.
” Kita kerjakan apa yang bisa kita selesaikan, anakku.”, jawab seorang ibu paruh baya yang nampak pucat pasi. Mata tuanya berkaca-kaca. Sekilas terlihat ada banyak beban penderitaan di punggungnya.
” Apa itu, Bu? Akankah kita akan turun ke jalanan dan meminta-minta?”
” Tidak, anakku. Kita masih punya akal dan perasaan. Kita masih punya dua tangan dan dua kaki. Raga kita masih sempurna. Kita masih bisa melakukan hal yang lebih baik dari itu.”
” Tapi apa Bu?”, anak berbaju TIMNAS merah putih, dengan garuda di dada kirinya dan bernomor punggung 17 itu kembali bertanya penuh semangat.

Tapi sang ibu tidak menjawab. Ibu berkerudung hitam itu lalu berjalan, terus berjalan hingga tiba di depan sebuah bangunan yang megah nan indah.
” Kita singgah di sini dulu ya, Nak.”
” Iya, Bu.”
Anak itu langsung berlari ke pelataran masjid. Ia duduk. Namun matanya melalang buana memperhatikan setiap detail bangunan itu. Mungkin ia takjub. Hingga ia tak menyadari, berpuluh-puluh orang yang berlalu-lalang di sekitar masjid memperhatikannya. Bahkan ada diantara mereka yang memandangnya sebelah mata.
” Mohon maaf, Ibu. Adakah yang bisa saya bantu?”, tanyaku pada ibu berkerudung hitam itu, yang terlihat mencari-cari seseorang. Tapi ia tak kunjung bertanya.
” Maaf, Dek. Bisakah ibu bertemu dengan K.H. Ahmad Dahlan?”, jawabnya dengan sedikit berbisik.
” Mohon maaf, Beliau tidak ada, Bu. Beliau sedang ada keperluan di Minang. Perkenalkan, saya Naf’a. Putri sulung Beliau. Jika ada sesuatu yang ingin ibu sampaikan pada Beliau, katakan saja pada saya. Nanti saya sampaikan.”
” Saya Ibu Fathiyyah, istri dari sahabat karib ayahmu. Saya akan melalukan perjalanan jauh. Entah sampai berapa tahun saya belum tahu. Saya ingin menitipkan anak saya, Haidar, di pondok pesantren yang dibina oleh ayahmu ini.”
” Oh, dengan senang hati Ibu Fathiyyah. Sungguh suatu keberuntungan tersendiri bagi saya bisa bertemu ibu. Ibu adalah salah satu orang yang menginspirasi saya. Ayah sempat bercerita banyak tentang ibu. Ibu tenang saja. Insyaallah saya beserta teman-teman pembimbing pondok, juga ayah saya, akan menjaga, membimbing, dan mendidik Haidar dengan baik. Hingga saat datang masa ibu kembali menemui Haidar. Ia sudah tumbuh dan berkembang menjadi insan kamil.”
” Barakallahu anti semoga menjadi insan kamil pula.”
Aku dan Bu Fathiyyah menemui Haidar di pelataran masjid. Kulihat seraut senyum yang begitu manis dari bibir tua beliau. Subhanallah, Beliau seolah memancarkan cahaya. Pastilah beliau ini hidup hanya untuk Allah SWT.
” Haidar, anakku. Ibu akan pergi ke suatu tempat yang diwasiatkan ayahmu lima tahun yang lalu, sebelum ia pergi ke Rahmatullah. Haidar di sini sama kak Naf’a ya? Ia adalah putri K.H. Ahmad Dahlan. Bukankah kau sangat merindukan perjumpaan dengan Beliau. Kau ingin mendengar banyak cerita tentang ayahmu dari beliau kan?”, perkataan Ibu Fathiyyah begitu meresap sejuk ke relungku.
” Haruskah ibu pergi? Dan meninggalkanku di sini?”, rengek Haidar.
Ibu fathiyyah tidak menjawabnya. Beliau memeluk Haidar erat. Seakan beliau tak mau melepasnya. Bulir air mata jatuh dari kedua kelopak matanya yang sayu, namun tetap indah.
” Ibuku yang sangat kucintai karena Rabb-ku, jika kepergian ibu adalah suatu bentuk pengabdian ibu kepada Allah SWT., maka pergilah. Haidar tak ingin menghalanginya. Merdeka-kanlah hati dan pikiran ibu karena-Nya. Haidar percaya Allah SWT pasti menjaga kita semua dimana pun kita berada.”
” Insyaallah, Haidar.”, Ibu Fathiyyah semakin meng-eratkan pelukannya. Beliau kecup kening Haidar, lalu menatap wajah anaknya itu dengan balutan air mata. Beliau berusaha untuk tersenyum. Haidar pun tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu ibunya, layaknya orang dewasa yang memahami keadaan itu. Ia melepas ibunya. Ia pandangi setiap tapak kaki ibunya sambil melambai-lambaikan tangannya.615
Usia Haidar memang baru 5 tahun. Tapi kecerdasan hati dan pikirannya seperti orang yang sudah memahami arti kehidupan ini. Bahkan, mungkin aku harus belajar banyak darinya.
***
Hari ke tujuh,di bulan sya’ban 1432 H. Tepat tujuh tahun Haidar bersama keluarga besar pondok pesantren yang dibina ayahku. Haidar telah tumbuh menjadi ikhwan kamil di mataku. Setiap diamnya bak emas. Setiap ucapnya bak mutiara, dan setiap tindakannya bak berlian. Banyak yang memujinya begitu. Namun ia bukanlah orang yang gila akan pujian. Ia rendah hati dan bersahabat dengan semua golongan.100
Sekarang Haidar akan memasuki Madrasah Tsanawiyah di pondok pesantren ini juga. Aku sempat merasa heran kenapa ia tak pernah sekalipun menanyakan hal tentang ibunya. Mungkin karena hatinya berasa merdeka, dan ia merasakan bahwa ibunya juga merdeka di suatu tempat yang diwasiatkan ayahnya, sebagaimana ibunya berkata dulu.
Di suatu senja yang indah. Di mana sang mega merah terbentang syahdu dalam cakrawala. Di temani semilir angin yang sepoi-sepoi menyejukkan kalbu. Ayah duduk di teras masjid bersama Haidar.
”Haidar, anakku, tidakkah kau merindukan ayah dan ibumu?”, tanya ayah dengan hati-hati.
Haidar hanya tersenyum. Ia justru balik bertanya.95
” Kenapa Kyai menanyakan hal itu? Bukankah yang memberi rindu itu Allah SWT.? Saya merindukan beliau berdua. Tapi sesungguhnya rindu ini hanya untuk Sang Pemberi Rindu.”
” Subhanallah, anakku. Kau memang mewarisi sifat-sifat orang tuamu. Tahukah, nak, ibumu sekarang sedang berjuang memerdekakan sebagian dari saudara kita dari kemiskinan hati, juga harta. Ibumu adalah seorang wanita yang pemberani. Meski banyak caci maki menghujam jantungnya, ia tetap kekeh untuk berjuang. Ia hanya berbekal pengetahuan dan keberanian. Tapi kyai dengar ibumu telah merintis lapangan pekerjaan untuk mereka jua. Ia manfaatkan ilmu yang pernah ia peroleh di teknik industri sebuah perguruan tinggi ternama di negeri ini. Ibumu itu patut dianugerahi gelar pahlawan, nak.”
” Oh, begitu ya, Kyai. Saya hanya tahu bahwa ibu pergi untuk mengabdikan diri pada Allah SWT.”
Tak terasa sang roda waktu telah membawanya ke menit 45 dari pukul 17.00 WIB. Saatnya untuk mengumandangkan adzan maghrib. Memanggil seluruh makhluk untuk sejenak menghadap sang khaliq dalam sujud dan rukuknya.
***
Menjelang ramadhan, Haidar mendengar kabar bahwa ibunya akan kembali. Haidar sangat bahagia. Ia tak henti-hentinya mengucap syukur.
” Baru mendengar kabar bahwa ibumu akan kembali, kau sudah sebahagia itu, Haidar. Bagaimana jika ibumu di hadapanmu sekarang?”, gurauku yang tak sengaja melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya.
” Iya, kak Naf’a. Betapa aku tidak bahagia? Aku akan bertemu ibuku yang selama tujuh tahun ini aku tak mampu memandang wajahnya, dan mendengar suaranya”
” Iya, Haidar. Semoga Ar-Rahman segera mempertumukanmu dengan ibumu.”
” Amin. Syukron katsir, kak Naf’a.”
Hampir berjam-jam senyum dan sabar Haidar tak pernah pudar. Sayang, tiba-tiba mendung tebal menyelimuti buana. Tetes demi tetes air jatuh dari langit-Nya. Petir menyambar-nyambar. Hawa dingin seraya merasuk kencang, menusuk relung hati.
” Ya Rabb, ada apa gerangan? Kenapa secepat kilat Kau ubah langit-Mu yang cerah, menjadi hujan yang begitu lebat?”, ucap Haidar dalam hati.
Sesekali ku tengok keluar, butir air hujan semakin deras tumpah ke bumi. Aku lihat ayah sedang menerima telepon. Aku pandangi Haidar yang mondar-mandir di teras. Aku bisa merasakan kekhawatirannya.
” Naf’a, kesini, nak?”, panggil ayah dengan suara bergetar. Sontak hatiku berbalut kekhawatiran.
” Naf’a, Ibu Fathiyyah mengalami kecelakaan dalam perjalanan ke sini. Dan sekarang beliau telah dipanggil Sang Pencipta.”, kata ayah sedikit terbata.
” Ya Allah, Bagaimana kami memberitahu Haidar akan kebenaran ini? Bagaimana mungkin kebahagiaan yang terpancar ikhlas dari hatinya Kau patahkan dengan kabar kematian ibunya?”, risauku dalam hati.
” Naf’a, kenapa bengong, nak? Ingat pepatah ini, orang-orang harus dibangunkan, kenyataan harus dikabarkan. Qulil haqqo wa laukana murron.”
” Ayah, sungguh Naf’a tak sanggup mengabarkannya.”
” Kalau begitu kau panggil Haidar.”
Dengan membendung airmata aku panggil Haidar. Haidar masih nampak bahagia.
” Kyai, Ibu kok belum datang, ya?”
” Haidar, anakku, jika aku mengatakan kebenaran, tapi itu pahit untuk yang mendengarkan, bagaimana menurutmu?”
” Kenapa Kyai bertanya begitu padaku? Tentu kebenaran itu harus dikabarkan, meskipun pahit untuk didengar.”
” Haidar, Ibumu...”
” Ibuku kenapa Kyai?”, Haidar terlihat bergetar.
” Yang sabar, anakku. Ternyata Allah SWT. Lebih meridhai ibumu kembali pada-Nya, dibandingkan kembali ke sini untuk menemuimu. Ibumu mengalami kecelakaan, Haidar.”
” Inalillahi wa inailaihi roji’un, Ibuku, Ibu Fathiyyah,... astagfirullahaladzim...”
Tak kuasa airmata Haidar menetes membasahi pipinya. Ia terduduk sujud di hadapan kami semua. Aku tak bisa membayangkan betapa perih hati Haidar.
Mobil jenazah telah memasuki pelataran masjid. Wajah Haidar yang tadinya nampak cerah, sekarang terlihat sayu. Badannya juga lemas tak berdaya. Setelah ikut menyolati ibunya. Haidar memandangi tubuh ibunya yang telah terbujur kaku berbalut kain kafan putih. Ia berkata dalam hati, ” Merdekalah, Ibu. Kau telah bebas dari dunia yang memenjarakan hati dan pikiranmu. Kau telah bebas dari hiruk pikuk dunia yang semakin kejam menyiksamu. Kau telah bebas, lepas, melayang, melintasi batas kehidupanmu. Ya, batas kehidupan yang tak pernah kau lihat sebelumnya. Selamat jalan, Ibuku. Selamat bertemu dengan dzat yang kau rindukan.”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar