- Kamis, 19 Juli 2012

BADAI PASTI BERLALU

badaimu pasti berlalu, dila...

 

Sang mentari tersenyum bangga pada dunia. Menyapa setiap makhluk dengan sinarnya. Begitu cerah, menyilaukan setiap mata yang memandangnya. Kicau burung yang merdu tak henti-hentinya kudengarkan. Diiringi tarian dedaunan yang mulai menampakkan kedamaiannya. Walau masih ada sedikit embun yang perlahan menetes seperti air mataku.
“ Dil, kok melamun sih?” lembut suara kakak membuat hatiku semakin tertusuk. Sengaja aku tak membalasnya. Melihatnya, kemudian tersenyum. Itupun sulit ku lakukan. Aku berjalan menjauhinya tanpa sepatah katapun.
“ adikmu kenapa, Wid?” Tanya ibu sambil melepas Mifta, keponakanku dari gendongannya.
“ tidak tahu, bu. Mungkin dia belum bisa melupakan Very.”
Setelah merasa siap untuk pergi ke sekolah, dengan cepat kugayuh sepedaku hingga ku tak terlihat. Aku tak peduli akan berbagai opini keluargaku. Tapi aku yakin mereka mengerti.
Di sekolahpun, semua yang terjadi belum bisa terlupa. Kesedihan ini begitu terlihat.
“ Dil, kamu kenapa? Cerita donk!” hibur Farah.
“ iya Dil, kalau dipendam sendiri nanti sakit loh.” Sambung Rike.
“ thanks ya. Kalian memang sahabat terbaikku. Tapi maaf, aku belum terlalu mampu untuk bercerita. Jika waktu telah menghendaki, InsyaAllah aku pasti cerita.”
Bel masuk ke kelas sudah berbunyi. Anak-anak sudah menempati bangkunya. Semua telah bersiap untuk menerima pelajaran.
***
Hari memang telah berganti. Namun aku belum beranjak dari bayang-bayang masa hari-hari kemarin. Mungkin aku belum sanggup menerima kenyataan bahwa Very telah kembali ke pangkuanNya. Aku sadar seharusnya aku tak boleh seperti ini. Aku harus bangkit, karena aku hidup untuk masa yang akan datang. Bukan tetap berada di masa lalu. Namun apatah daya? Aku hanya seorang yang lemah, rapuh.
Hari ini, aku bersyukur masih bisa merasakan nikmat Allah yang luar biasa. Aku lari-lari kecil di sekitar rumah. Menghirup kesegaran udara pagi dan merasakan kehangatan mentari yang baru muncul.
” Very.” kataku dalam hati, ketika melihat sesosok pria berjaket putih, seperti jaket Very. Pria itu menengok ke arahku. Bak petir menyambarku, aku tergeletak lemas tak berdaya kala itu. Dengan lembut dia menopangku, mencoba membangunkanku dari mimpi yang nyata. Dia begitu simpatik, care, dan empati pada diriku. Seperti dia tahu apa yang terjadi padaku.

” rumahmu yang mana?” tanyanya.
” itu yang catnya biru muda.”
” oh, boleh tanya sesuatu nggak?”
” hmmm, tanya pa?”
” kenapa kamu pingsan melihatku saat kumenengok ke arahmu, tadi?”
Aku hanya terdiam sampai langkah kami berada di ambang pintu rumahku.
” Dila...” teriak ibu kaget.
” sayang, kok lemas sekali kenapa?” sambungnya.
” nggak pa-pa kok, bu” jawabku sembari berjalan ke kamar.
” makasih, lho, dik.. sudah mengantar Dila pulang. Ngomong-ngomong adik ini siapa?”
“ saya Fandy, bu. Saya baru di sini. Mohon maaf, ibu. Saya harus segera pergi.”
” oh, iya, dik. Maaf ya merepotkan dik Fandy.”
” nggak pa-pa, bu. Memang sudah sewajarnya sesama manusia harus saling tolong menolong. Saya pamit dulu bu. Assalamualaikum..”
“ waalaikumsalam…”
***
“ kak Dila, Mifta punya coklat. Kakak mau?” teriak Mifta dengan senyumnya.
” makasih, adik. Tapi kakak lagi diet. Coklatnya buat adik saja.”
Aku merenung , tertetes air mati ini hingga tercetus banyak kata dalam hati.
“ andaikan engkau masih hidup, pasti kaulah penyemangat belajarku, pemacu prestasiku, sumber inspirasiku, dan tentu kau masih sering main kesini, Ver. Karena kau paling suka anak kecil yang nge-gemesin seperti dik Mifta.”
“ apa ini? Tanyaku ketika menemukan selembar kertas berwarna merah hati di pot bunga mawar. Warnanya yang terkesan lembut,membuatku tertarik untuk membuka dan membaca apa yang tertulis dalam kertas itu.
“ Dila…percayalah, badaimu pasti berlalu. Aku memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu. Tapi aku bisa merasakan bahwa kamu baru kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupmu. Ketahuilah, setiap daun yang gugur dari pohonnya telah tercatat sebagai takdir Allah SWT. Demikian pula dengan apa yang terjadi padamu. Jangan terlalu larut dalam kepedihanmu. Tapi bangkitlah, untuk menyambut dan merasakan hikmah di balik semua itu. Aku yakin kamu bisa. Bersabarlah menghadapi semuanya!”
Fandy
Subhanallah, kata-kata itu seakan membiusku, hingga masuk ke pori-pori hati dan pikiranku. Kata-kata itu benar sekali. Aku tidak boleh seperti ini. Aku harus bangun dari keterpurukkan ini. Aku harus berjuang untuk menghadapi kenyataan yang ada. Bukan hanya menangisi yang telah tiada.
***
Masa terus berjalan. Menjauh dari masa lalu tanpa terasa. Fandy, pria yang menolongku itu seakan mengisi hatiku yang kosong. Namun bukan berarti aku telah menghapus Very dari memoryku. Bahkan akupun masih sering melamunkannya.
Sepulang sekolah, aku melihat anak-anak bermain layang-layang di lapangan. Terik mentari yang menyengat tidak mereka hiraukan. Mereka hanya memperhatikan layang-layang mereka. Aku berpikir sejenak, andaikan aku bisa bermain layang-layang dan berhasil menerbangkannya ke angkasa, takkan aku biarkan benangnya terputus. Karena layang-layang itu ibarat hati yang tersatukan dengan hati yang terikat oleh seutas tali, yaitu benang. Dan layang-layang itu, layang-layang itu adalah Very. Dan akulah yang memegang benang itu. Sepanjang apapun benang itu, pasti akan selalu aku pegang. Kemanapun layang-layang itu terbang, meninggi ataupun menjauh, pasti akan selalu kuperhatikan. Akhirnya akupun hanyut dalam khayal yang tiada arti. Yang hanya membuatku semakin rapuh.
Entah mengapa tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan yang membebani pikiranku dan menambah keresahanku. ” mungkinkah aku menerimanya?”
Fandy, pria yang hadir disaat aku kehilangan Very. Tapi belum genap 40 hari dia meninggalkanku. Orang tua bilang, tidak baik berganti pasangan disaat duka. Tapi kenapa Fandy hadir dengan segala perhatian dan kesabaran padaku???
Fandy seakan-akan sebagai sosok Very yang hidup kembali di mataku. Dia berusaha membangkitkan aku dari keterpurukan, kelesuanku dalam belajar. ” ah, kenapa aku berpikiran seperti itu? Benarkah kata orang tua seperti itu? Salahkah aku, bila aku menganggap Fandy sebagai pengganti Very disaat-saat seperti ini? Dosakah, dan bersalahkah aku pada Very? Oh, maafkan aku, Ver! Aku tetap menyayangimu, tapi...tapi dunia kita telah berbeda. Tak mungkin aku meratapi kepergianmu terus menerus. Aku harus dapat melupakanmu, cepat ataupun lambat. Dan aku juga harus mengambil langkah secara benar tanpa meninggalkan pesan ataupun kata-kata orang tua.” kataku dalam hati.
” hai, Dil...lagi melamun ya?” sapa Fandy dengan sedikit pertanyaan. Tak kusangka orang yang sedang kupikirkan sudah berdiri di sampingku. Dia memudarkan segala anganku dengan sekejap waktu.
” hai, juga Fan...maaf aku nggak tahu kalau kamu ada di sini?
” ya, iya. Nggak pa-pa kok. Tapi jangan murung begitu donk. Kan nggak baik wanita secantik dan secerdas dirimu harus begini terus. Lebih baik baca buku ini, lho. Buku ini baru aku pinjam dari perpustakaan sekolahku. Bagus banget, lho isinya. Lumayan bisa untuk pelajaran hidup kita.”
” tentang apa, Fan?”
” ah, sudahlah kamu baca dulu, setelah membaca, pasti kamu suka. Sudah ya, jaga dirimu baik-baik. Jangan ratapi yang telah tiada! insyaAllah kebahagiaan telah dekat denganmu.”
Setelah Fandy melangkahkan kaki dan melemparkan senyumnya, hatiku mulai tenang. Ku buka pelan-pelan buku darinya yang terbungkus rapi itu. Tak kusangka betapa perhatiannya dia padaku. Ternyata dalam buku itu terdapat kertas surat yang isinya pernyataan cintanya padaku. Dia berharap, aku mau menjawabnya setelah aku bisa melupakan Very. Dia akan sabar menunggu jawabanku. Apapun keputusanku, dia akan menerimanya. Ternyata buku yang diberikannya padaku adalah buku yang dibelinya sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-17, tepat tiba hari ini. Buku itu berjudul ” BADAI PASTI BERLALU ”. ” thanks, Fan...!” gumamku dalam hati. “ Engkau telah menunjukkan kebahagiaan itu, Fan.” Tambahku sesaat setelah membaca buku itu. Sungguh, inilah kejutan yang luar biasa, yang takkan pernah kulupakan. Dan buku inilah yang akan menjadi saksi, bahwa kemelut dalam kehidupan akan berlalu bila dijalani dengan ketabahan dan kesabaran.

By : ris-k_jele’a2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar