- Minggu, 18 Agustus 2013

http://luckty.wordpress.com/2012/12/30/review-sang-pemusar-gelombang/

Hidup bagiku telah jelas. Aku tak bisa bermain-main lagi di dalamnya. Walaupun ada bagian-bagian yang relatif dan bergantung pada segala hal yang serba berubah, hidup itu sendiri adalah eksak. Kau akan mati setelah diberi hidup. Kau akan menyesal setelah kau menyia-nyiakan kesempatan, kau akan sakit bila metabolisme tubuhmu terganggu. Hidup kita dipenuhi oleh hal-hal yang bisa kita pastikan. Bagitu pun dengan langkah ke depan; kau mau jadi apa dan bagaimana sangat ditentukan oleh visi dan ideologimu. (hlm. 298)
Mereka yang tidak pernah puas pada air-Nya bukanlah ikan: mereka yang tidak punya roti untuk makanan sehari-hari akan merasa betapa lamanya detik-detik waktu berjalan. Tidak ada barang mentah yang mengerti makna kemasakan. (hlm. 141)
Saat membaca anak judulnya, saya mengira buku ini setipe Lelaki Penggenggam Hujan-nyaTasaro GK, ternyata saya salah. Buku ini bukan semacam novel biografi, tapi lebih ke novel inspirasi dari seorang tokoh, yaitu Syaikh Hasan Al-Banna.
Dia merupakan pemimpin Ikhwanul Muslimin di Mesir. Beliau hafal Al-Quran pada usia 14 tahun. Ia selalu berdakwah dan menyampaikan pemikirannya di berbagai tempat. Dan yang paling khas dari Al-Banna ialah dia dapat menyentuh setiap kelas sosial yang ada di masyarakat. Misalnya saja, dia sering berdakawah di warung-warung kopi, yang mana itu merupakan suatu hal baru. Orang menganggap warung-warung kopi sebagai tempat berkumpul orang yang berpengetahuan rendah sehabis lelah bekerja seharian. Tapi Al-Banna tetap menyentuh mereka. Dan ternyata, cara dakwah seperti itu sangat efektif. Tak hanya soal agama saja yang ia perjuangkan, ia pun mengkritik adanya kesenjangan-kesenjangan yang dialami oleh rakyat Mesir. (hlm. 71)
Keterangan Buku:
Judul                            : Sang Pemusar Gelombang
Penulis                         : M. Irfan Hidayatullah
Penata letak                 : Rahmat Deedat
Perancang sampul        : Tyo
Penyunting                  : Feri M. Syukur, Topik Mulyana
Pemeriksa aksara         : Lessa Oktapiani
Penyelaras aksara        : M. Lutfi Fatahillah, Haris Priyatna
Penerbit                       : Salamadani
Terbit                          : 2012
Tebal                           : 502 hlm.
ISBN                           : 978-602-84-5895-5
Novel ini tidak hanya bertumpu pada satu narator. Terdiri dari tiga tokoh utama; Randy si aktivis kampus, Hasan yang cenderung sosialis, dan Cikal si superstar yang kehidupannya hedonis. Sungguh paket yang komplit. Seperti para pemuda pada umumnya, masing-masing pemuda memiliki problem yang berbeda dalam pencarian jati diri. Masa transisi, masa selepas sekolah menuju masa kuliah, memang masa-masa transformasi yang rumit dialami setiap manusia. Melepaskan ruh remaja, dan berganti kulit menjadi dewasa. Dewasa dalam arti tidak hanya secara fisik semata, tapi juga dewasa dalam berpikir menghadapi hidup.
“Kamu tidak boleh terlalu gaul atau terlalu ekslufif. Papa ingin kamu ada di tengah-tengah. Kalau terlalu gaul, kamu bisa-bisa terjerumus pada hal-hal negative seperti narkoba dan seks bebas. Sebaliknya, jika terlalu ekslusif, kamu bisa-bisa dijauhi banyak orang dan tertutup pada perkembangan di sekitarmu. Jangan terjebak dalam fanatisme politik dan agama –atau gabungan keduanya; politik yang dikemas dalam isu-isu agama.  “ (hlm. 38)
Nasehat papa kepada Randy di atas, mengingatkan akan pesan almarhum mama saat saya akan kuliah jauh, merantau di pulau seberang yang otomatis jauh dari pengawasan orangtua. Hampir sama persis isi nasehatnya. Setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Setiap orangtua pun ingin anaknya tidak macam-macam. Tidak terlalu ke kiri, maupun ke kanan. Karena salah melangkah, pasti bisa fatal.
Saat memasuki kehidupan kampus, kita akan bertemu banyak orang, banyak karakter, dan banyak kepentingan. Kita akan mengenal teman dengan tipe Randy yang ekslusif, atau tipe Hasan dengan semangat dan pemikiran yang berkobar-kobar, bahkan tipe Cikal si seleb dengan segala hiruk pikuk fans dan ketenaran yang dimilikinya. Kebetulan saat kuliah, saya berteman dengan tiga karakter seperti itu. Jadi, membaca novel ini seperti de javu masa-masa kuliah.
Sebenarnya yang agak ‘dipaksakan’ adalah tokoh Cikal. Bayangkan, dari seorang superstar mendadak tobat hanya (awalnya) karena seorang perempuan. Mungkin ini agak tipikal sinetron banget. Tapi dulu saat kuliah, teman kosan ada yang bisa berubah drastis seperti ini. Dari yang tipe cuek bebek, kemudian mendapatkan hidayah, dan sekarang sudah menikah. Hidayah memang bisa datang kapan saja. Hidayah tidak hanya datang dengan sendirinya, tapi juga kita yang musti menjemput hidayah itu.
Pemikiran manusia terbentuk karena lingkungannya, hal terpenting ketika berdiskusi dengan seseorang bukanlah soal bantah-membantah, melainkan bagaimana agar kita dapat membuka selebar-lebarnya pintu hidayah bagi dia. (hlm. 43)
Teknologi memang bagian dari produk manusia yang bisa mempermudah kapitalisme berkembang. Tapi di sisi lain, kita bisa membuatnya lebih bermanfaat dari sekedar alat kapitalisme. (hlm. 16)
Menyelami kehidupan tiga tokoh ini, kita akan diajak penulis untuk mengenal lebih dekat sosok Syaikh Hasan Al-Banna . Randy yang mengekslusifkan diri meskipun keluarganya tidak sependapat dengannya, Hasan yang tidak pernah mengerti pada penganut Islam yang terkotak-kotak, yang satu sama lain mengemukakan keyakinannya dengan teguh tak terbantahkan serta mencari asal usul masa lalunya. Dan Cikal yang memiliki segalanya; sebagai vokalis sebuah band yang memiliki nama bersinar, fans yang selalu histeris saat melihatnya, dan segala materi berlimpah, tapi jiwanya merasa kering, seperti ada yang kurang dalam hidupnya.
Kita harus bebas memilih rujukan hingga menemukan mana yang terbaik. Jika tidak menemukan titik temu, kita harus mengembalikannya pada Al-Quran dan Sunnah. (hlm. 223)
Dari segi jenis dan ukuran font, pemilihan yang tepat karena nyaman untuk membaca. Sebuah novel sastra dakwah yang gurih, jadi bisa dibaca dan dipahami bagi segala lapisan pembaca. Keren sekali jika novel ini diangkat ke layar lebar. Ehhmm..seandainya novel ini ada sekuelnya, misalnya menceritakan bagaimana kehidupan Randy dan Hasan setelah lulus kuliah, dan berhadapan dengan realitas, apakah mereka akan memegang teguh idealisme yang dimiliki? Sebuah permasalahan yang dihadapi bagi kebanyakan orang saat berhadapan dengan dunia kerja, dunia yang sesungguhnya…
Apa pun yang kita lakukan mari kita niatkan hanya karena Dia semata. Pasti semuanya tak akan sia-sia. (hlm. 91)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar