- Minggu, 06 Mei 2012

Asa Untuk Indahnya Sebuah Akhir


hehe, nggak nyangka juara 2.. padahal maksa banget nih... ^,^
ASA UNTUK INDAHNYA SEBUAH AKHIR

Tatapan mata yang kosong ini berbuah air mata. Berderai meresap hingga relung hati yang terdalam. Goresan luka yang menganga kian perih terasa. Membuat raga begitu lemah tak berdaya.
Kuatkan ana dalam kerapuhan ini, ya Rabb “. Kalimat itu hampir selalu ku ucap dalam doa, bahkan sempat juga ku jadikan status di FB-ku. Aku tidak pernah merasa memilikinya, tapi mengapa begitu sulit menghapusnya dari ingatanku.
Astaghfirullah, Icha nggak boleh seperti ini, Icha nggak mau mematahkan kekuatan ukhuwah ini. Hanya karena sebuah ego dan perasaan yang tak semestinya ada dalam hati ini.”, gumamku dalam hati.
“ Icha belum tidur?”. Lembut kata itu mengalun dari bibir umi tercinta, membuatku tergugah dari lamunanku.
Belum Umi, tugas Icha masih numpuk. Umi istirahat dulu saja, InsyaAllah Icha berani”.
Beneran?”
Iya, Umi…”

Ya sudah, umi ke kamar dulu ya, sudah ngantuk “ kata umi sambil berlalu menuju kamarnya.
Waktu memang sudah larut, mata inipun sudah mulai meredup. Namun jemari ini masih lihai untuk mengetik. Diiringi alunan ayat-ayat suci Al-Quran, memberi kenyamanan dalam hati, hingga ku terlelap dalam pekerjaan ini.
***
Adzan subuh telah menyapa, menggugah setiap hati yang terlelap. Ku dengar abi dan umi telah mengambil air wudhu. Aku pun segera merapikan pekerjaanku yang alhamdulillah telah usai. Dan bergegas menghampiri mereka. Aku tidak ingin menghilangkan kesempatan emas untuk sholat berjamaah. Apalagi di rumah Allah, tempat yang tepat untuk bermunajat. Walaupun di setiap ruang dan waktu kita bisa menitipkan rabithah kepadaNya. Namun aku merasa lebih khusyuk di tempat yang begitu menyejukkan, mendamaikan , juga memberikan kehangatan ini.
Nanti abi antar sampai rumah Risma ya, Cha. Motornya mau abi pakai”
Ya…, abi, kenapa nggak bilang dari kemarin? Tapi ya sudahlah, nggak apa-apa!”
“ Icha, bawa bekal apa tidak?” teriak umi dari dapur.
Iya,Umi. Nanti ada tambahan pelajaran. Jadi pulangnya sore.”
Setelah semuanya siap, abi mengajakku berangkat. Tak lupa salam hangat selalu terucap ketika akan pergi, dan berjabat tangan sudah menjadi budaya yang tertanam sejak aku kecil.
Hati-hati di jalan!“. pesan setia umi sembari mengantar kami berlalu.
***
Akhir-akhir ini, entah sengaja atau tidak, atau hanya sekedar kebetulan belaka, kedatangan kami ke sekolah selalu bersamaan dengan Ray.
Siapa tuch?”. Sindir Risma.
Bukan siapa-siapa. Hanya seseorang yang pernah hadir dalam masa lalu ana. Tapi tak pernah ana merasa memilikinya. Karena hanyalah Allah Sang Pemilik nyawa setiap insan di dunia ini.” Jelasku sambil jalan menuju ruang kelas kami.
“ Terus,... yang kemarin apa?”, ejeknya.
“ Kemarin adalah masa kelam dimana ana belum memahami bagaimana seharusnya ukhuwah itu dijalankan. Bagaimana seharusnya hijab ini terjaga.”
“ Siiip,... ini baru Icha yang ane kenal. Tenang saja ukhti, Allah itu Maha Segalanya. Anti mau pesan yang bagaimana saja kelak, tinggal minta. Allah pasti akan berikan. Ingat potongan ayat ke-26 dari Q.S. An-Nuur, Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).”, dalilnya.
“ Iya, Ukhti... ana paham. Tolong ingatkan ana jika keluar dari jalan yang semestinya ana lalui. Dari jalan, dimana para pejuang dakwah setia menapakinya ini.”, tuturku yang kemudian mengucap salam, menjabat tangan, dan memeluknya. Karena kami berbeda kelas. Sejauh yang aku tahu, jika kedua orang bertemu ataupun  berpisah, kemudian saling berjabat tangan, maka akan diampuni dosanya selama itu.
***
Bel memang belum berdering. Namun kedisiplinan selalu ditegakkan dalam setiap pelajaran. Terutama pelajaran Olah Raga. Untuk itu kami selalu bersiap lebih awal. Berat memang, namun selama kami ikhlas menjalaninya, InsyaAllah semuanya akan berbuah manis.
***
Tiba saatnya pelajaran kimia. Jantungku serasa mau copot menanti hasil ulangan minggu kemarin.
Astaghfirullah, remidi lagi”
Entah mengapa kali ini aku merasa sangat sedih. Tiap kali ulangan, tiap kali pula aku harus remidi. Padahal sebelumnya aku tidak pernah harus mengulang. Mungkin ini adalah buah kesalahan terbesar yang mulai tumbuh setelah aku naik ke kelas XI. Malas, penyakit yang berkembang dalam diriku ini, telah membelenggu, dan membuatku selalu berpikir, “ Ah, La tahzan, nggak ana sendiri ”. Tapi kali ini aku benar-benar menangis. Aku sadar ini salah. Aku tak ingin terus membohongi diriku. Aku harus berjuang. Keep moving forward, Cha. U can do it, because Allah always besides you!.” Kataku dalam hati.
Semagat, Cha!”. Kata Liza, teman sebangkuku.
Iya, Liz…”
***
Seminggu lagi ujian kenaikan kelas, aku mencoba membuka memoriku dengan membaca-baca buku pelajaranku. Namun hatiku begitu bimbang. Mungkin karena ketakutanku jika aku tidak bisa menjadi Icha yang dulu.“ Ya Rahiim, terlambatkah jika ana baru menyadarinya? Kenapa penyesalan selalu hadir di belakang?”, keluhku.
Aku tak menyadari jika kak Ikhsan ada di sampingku. Dengan bijak dia menanggapi keluhanku. “ Ya iyalah, dek Icha. Menyesal itu pasti di belakang. Kalau di depan namanya niat. Lagi pula, jika penyesalan berada di depan, pasti semua orang di dunia ini sedih, karena menyesali apa yang belum mereka kerjakan. Jadi, kita harus tetap maju. Kita hidup untuk waktu ke depan, bukan untuk waktu yang sudah berlalu. Waktu tidak akan mundur ke belakang, walaupun hanya sedetik. Jangan sesali perbuatan yang telah kita lakukan, tapi benahilah!”
Subhanallah, kakak, kapan datang?” kataku sambil mengusap air mata yang tak sengaja terjatuh.
Sejak anti duduk di teras ini, dan mulai mengeluh “
Oh, afwan kak, ana nggak tahu. Mungkin  karena melamun “
Nggak apa-apa. Kakak ada perlu sama abi. Beliau di rumah, kan?”
Ada, kalau nggak salah lagi ngobrol sama umi di dalam. Memangnya ada apa, kak?”
Ada pesan dari Abah. Sekalian mau silaturrahmi. Bukankah dengan bersilaturrahmi, semakin menguatkan ukhuwah sesama muslim?”
“ Hehe, iya, kakak, ana tahu kok.”
Ya sudah, diterusin lagi belajarnya. Jangan melamun saja. Ingat kata-kata kakak. Laa tahzan innalloha ma’ana. Hamasah!” kata kak Ikhsan sambil berjalan ke dalam rumahku.
“ iya, kakak, syukron!”
Semenjak aku memutuskan untuk berteman saja dengan Ray. Aku memang dekat sama kak Ikhsan. Dia menyadarkanku bahwa pacaran bukanlah sebuah tahapan dalam ukhuwah. Dia juga mengajarkanku bagaimana seharusnya aku sebagai muslimah. Tapi kuharap kedekatan ini tak menumbuhkan perasaan cinta. Kalaupun harus, semoga hanya cinta kakak-adik. Karena aku telah menganggapnya sebagai kakakku. Dan terlebih aku tak ingin menodai suci dan indahnya sebuah ukhuwah. Sebagaimana yang kulakukan sebelum berhijrah ke jalan cinta yang diridhaiNya.
***
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, mengantarkanku pada hari dimana akan kubuktikan kesungguhanku. Walau tak berjalan sesempurna harapan yang terajut indah seminggu lalu. Namun aku tetap bersyukur, hasilnya tak jelek-jelek amat.
Main, yuk!”. Ajak Risma saat pulang sekolah.
Kemana?”
Terserah ”
Kok terserah? Tapi ana capek, Ris. Gimana kalau lain kali saja? Atau kalau anti mau main, sama teman-teman anti saja nggak apa-apa, ana minta jemput abi saja “
Ya, kok gitu. Ana jadi nggak enak ma anti. Tapi beneran nich, nggak apa-apa?”
Ya ampun, Ris. Ana apa ada tampang bohong sich?”
Ya, ya. Nggak ada kok, Cha. Ya dah ana tinggal dulu ya? Salam buat abi.
Iya, hati-hati di jalan ya. Salam juga buat temen-temen anti.
Ok!” teriaknya girang sambil berlari menghampiri teman-temannya.
Tepat sepuluh menit. Suara motor yang sudah tak asing lagi untukku datang.
Lama ya nunggunya?“
Lho, abi kemana, kok yang jemput kak Ikhsan?”
Abi anti di rumah kakak. Karena lagi ngomongin masalah kerjaan sama abah. Jadi beliau nyuruh kakak.”
Tapi, kak? Ehm,.. kakak tahu kan?
Iya, kakak sudah mengira jika akan seperti ini. Kakak sendiri yang mengajarkan pada anti. Tapi karena ini amanah. Dan kakak sudah menganggap anti sebagai adik sendiri. Maka ana datang untuk memenuhinya.
Aku hanya terdiam.
“ Memang keadaan belum mendesak untuk dikatakan boleh. Waktu juga belumlah mendesak. Tapi abi yang mendesak kakak. Dan kakak nggak bisa mengelak.”, tambahnya.
Ana naik bis saja, kak. Kakak pulang dulu saja nanti kalau sudah sampai di perempatan ana sms abi. Tolong kakak sampaikan ke abi.”
Afwan, ya dek. Kakak benar-benar nggak bermaksud...”
“ Nggak apa, kakak. Ana paham kok.”,  potongku.
Dengan sedikit kecewa, aku berjalan ke terminal. Mengganjal sekali di hati ini, kenapa abi melakukan ini padaku. Padahal abi memahaminya. Meski aku telah menganggapnya kakak. Tapi kami belumlah halal. Jangankan berboncengan, berpandangan saja haram.
***
“ Malam ini telah kutitipkan sejuta salam lewat semilir angin untuk bintang yang selalu menjadi teman rembulan. Telah kusemaikan buih-buih cinta untuk kunang-kunang penghibur. Dan telah kumunajatkan semua asa dan doaku kepada Sang pencipta. Berharap seseorang di sana selalu dalam lindunganNya. Afwan ya dek soal tadi siang?”
Laksana petir menyambar, membelahkan jantung hatiku. Tak pernah tersirat dalam benakku, kak Ikhsan ngirim pesan seperti itu. Aku bingung mau balas gimana. Akhirnya setelah berpikir-pikir lumayan lama, aku balas, “ bintang telah mengucap terimakasih dalam setiap cahaya yang sampai ke bumi, kunang-kunang penghibur telah menyalakan sinarnya dalam gelapnya malam, dan Sang Pencipta pun telah melindungiku, hingga alhamdulillah, ana bi khoir, kakak. Ana hanya tidak ingin menodai ukhuwah dan hijab ana. Kakak tahu kan?
iya, dek. Kakak paham
Satu tahun enam bulan, begitu tak terasa perputaran roda  waktunya. Dinamika kehidupan yang penuh gejolak telah terlewati sempurna.  Tak tersadar pula aku sudah bertambah dewasa. Tanggung jawabku di taman dakwah semakin berat pula. Harus tetap menjaga ukhuwah islamiyah dengan keluarga, kerabat, dan teman-teman yang telah menyebar di berbagai belahan bumi.
“ Dek, kalau ada waktu libur, tolong disempatkan untuk pulang. Tengoklah umi dan abi. Doakanlah mereka dan saudara semuslim anti dalam dekat maupun jauh. Karena sesungguhnya hal tersebut adalah sebagian cara untuk memperkuat ukhuwah.”
“ Iya, kakak.”, jawabku sebelum kak Ikhsan menutup teleponnya.
Semenjak kuliah, kak Ikhsan-lah yang sering me-monitoring-ku. Secara tidak langsung abi telah menyerahkanku padanya. Meskipun aku belum meng-iya-kan. Namun kedekatan keluarga kami tak terelakkan. Saat pulang kemarin, kak Ikhsan bahkan telah memintaku pada umi dan abi. Tapi aku belum mau dipinang sebelum aku diwisuda.
***
“ Icha, abi tidak akan mengijinkan anti mengambil beasiswa ke Jepang sebelum ada mahram.”
Abi,... kan sayang. Jepang lho.”
Anti menangis darah sekalipun, abi tetap pada pendirian yang sama.”
Aku hanya terdiam. Memandang abi berlalu dengan bendungan airmata. Aliran darahku serasa tersumbat oleh kekecewaan. Pikiranku serasa diberi beban serjuta-juta ton. “Haruskah aku mengubur mimpi, hanya karena aku belum siap menikah? Bukankah menikah adalah bagian dari dakwah? Penyempurna amalan kan?”, pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam benakku. Mencoba menamparku dari segala sisi.
Istikharah, nak”, nasehat umi.
“ Iya, Umi.”
Umi memelukku dan mengecup keningku dengan hangat.
Anti sudah dewasa. Sudah hampir 20 tahun. Sudah pantas untuk dipinang.”
Umi,...”
Aku pun terisak di pangkuan umi dan tak sengaja terlelap.
“ Alhamdulillah, syukron katsiran, ya Rabb... telah membangunkan ana di sepertiga malam terakhir-Mu. Syukron telah memberikan kesempatan untuk bermunajat dan memenuhi sunah-sunah-Mu.”, kataku dalam hati ketika aku terjaga. Aku berharap akan segera menemukan jawaban atas pilihan yang diberikan abi.
***
 Fajar telah menyapa. Enggan rasanya untuk beranjak dari kamar. Apalagi jika liburan seperti ini. Teman-teman banyak yang ngajak aku pergi, namun aku lebih memilih untuk di rumah.
Assalamualaykum,,,”
Waalaykumusalam, warahmatullahi wabarakatuh. Eh, nak Ikhsan. Ada perlu apa?”
Ini Umi, ana memohon izin untuk mengajak dek Icha ziarah wali. Bolehkah?”
Umi sich boleh-boleh saja, itu kan bagian dari ibadah. Tapi Icha mau apa tidak. Sebentar, umi panggilkan,ya?” umi ke kamarku dan memanggilku.
Aku pun menemui kak Ikhsan.
Umi tinggal dulu ya?”
Ya, umi “ serempak kami menjawabnya.
Kok nggak sms dulu, kalau mau ngajak ziarah wali. Sama siapa saja?”
Banyak, sama santriwan santriwati daerah kita “
Sekarang?”
Iya, adek…”
Sebentar kalau gitu, ana rapikan diri dulu, ya?”
Mangga, tolong dipercepat karena santriwan-santriwati lainnya sudah menunggu.
“ Iya. Afwan...”
***

Hari ini seakan menjawab kebimbanganku. Kak Ikhsan benar-benar menunjukkan kesungguhannya. Dia benar-benar menjagaku.  Walaupun ketakutanku jika kedekatan itu menumbuhkan cinta benar-benar terjadi. Namun kekuatan cintanya mampu menepisnya. Ketulusannya terpancar bak cahaya dalam kegelapan. Penuh arti. Aku bersyukur, abi telah memilihkan orang yang tepat. Allah telah menyatukan hati kami, dan meniupkan cinta di hati kami.  Terimakasih ya Rabb, telah melabuhkan cintaku pada orang yang cintanya pada-Mu begitu besar. Hingga cintaku pada-Mu bertambah kuat. Aku selalu berharap, Engkau menjaga cinta kami. Agar cinta kami tidak melebihi cinta kami kepada-Mu. Karena sesungguhnya dicintai Engkau adalah segalanya, Tuhan...
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar