- Jumat, 05 April 2013

Menulis atau Mati saja!!!

:::oleh-oleh dari diklat jurnalistik:::

MENULIS ATAU MATI SAJA !Daniel Mohammad Rosyid*dmrosyid@oe.its.ac.id www.danielrosyid.com

PENDAHULUAN

Studi-studi sejarah dan peradaban menunjukkan bahwa kemajuan sebuah bangsa tidak ditentukan oleh faktor-faktor kasat-mata (tangibles) seperti modal alam (sumberdaya alam dalam bentuk tambang minyak dan gas, ataupun kesuburan dan keanekaragaman hayatinya), namun lebih ditentukan oleh faktor-faktor intangibles berupa sumberdaya buatan (produced capital) bangsa itu sendiri. Sumberdaya buatan yang terpenting dan terbarukan adalah sumberdaya manusia sebagai modal manusia (human capital).

Modal buatan itu antara lain adalah manusia yang terdidik dan terlatih, serta berkarakter. Modal manusia ini kemudian menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, konstitusi, organisasi dan kelembagaan, standar, tradisi, desain, sistem mutu, profesi, kode etik, dan sebagainya. Sebagian besar modal buatan ini hanyalah berupa gagasan yang ditulis dalam berbagai ragam dokumen-dokumen tertulis/terekam. Bahkan harus dikatakan, bahwa banyak hal penting dalam kehidupan manusia modern hanyalah dokumen-dokumen dan gagasan-gagasan tertulis belaka. Segera harus dicatat, bahwa Indonesia hanyalah sebuah gagasan yang ditulis oleh para founding fathers kita.

Manusia adalah makhluk simbolik (homo simbolicum), hidup di dua dunia : dunia fisik dan dunia simbol. Kemampuan melakukan abstraksi simbolik adalah kemampuan khas manusia yang membedakannya dengan binatang. Kita memberi nama pada anak kita, binatang, dan benda-benda. Bahasa adalah gejala khas manusia sebagai spesies. Dengan bahasa kita berpikir. Bahkan, tangan dan jemari tangan manusia merupakan bukti evolusi puncak manusia sebagai homo sapiens.

Bangsa yang maju adalah bangsa yang kaya gagasan. Sebagian kekayaan gagasan ini diwujudkan dalam produksi karya-karya tulis seperti buku dan jurnal. Karya tulis adalah organisasi gagasan secara simbolik pada sebuah medium. Jepang misalnya, menghasilkan buku-buku baru sebanyak lebih dari 50 ribu judul/tahun, sedangkan Inggris menghasilkan 80 ribu judul/tahun. Sementara Indonesia, baru menghasilkan kira-kira baru 10 ribu judul/tahun. Kondisi ini menjelaskan betapa Indonesia masih menjadi konsumen gagasan asing.


*Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D adalah guru besar pada Jurusan Teknik Kelautan ITS Surabaya; Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Cabang Surabaya; Ketua Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (


MENULIS : KEGIATAN PRODUKTIF YANG PERTAMA DAN UTAMA MANUSIA

Betapa kemampuan menggagas sebuah bangsa akan menentukan nasibnya ditunjukkan oleh fakta bahwa semua karya manusia yang kita kenal semula diawali oleh gagasan. Mengggagas merupakan kemampuan khas manusia, yang membedakannya dengan binatang dan komputer. Kata-kata bijak mengatakan bahwa “manusia diciptakan sebagai bayangan Tuhan”. Sekalipun manusia adalah makhluq –yang diciptakan- ciptaan Al Khaliq –sang Pencipta-, Tuhan menganugerahkan kapasitas menggagas sebagai modal mencipta.

Gagasan itu sebagai hasil olah pikir dan olah rasa manusia, kemudian diwujudkan melalui olah tangan. Segera harus dicatat, bahwa bentuk dan anatomi tangan manusia menunjukkan tingkat evolusi spesies paling tinggi. Tidak ada spesies dengan kemampuan manipulasi fisik seperti manusia, termasuk daya rusaknya bagi alam semesta ini. Hasil olah tangan tersebut selanjutnya dilanjutkan dengan visualisasi gagasan tersebut di atas sebuah medium dalam bentuk gambar di atas batu, kulit, kayu ataupun daun lontar.

Menulis adalah kegiatan produktif pertama dan utama manusia. Perkembangan peradaban, seperti perjanjian-perjanjian, pencatatan peristiwa-peristiwa penting (sejarah), pencatatan transaksi-transaksi, selanjutnya membutuhkan bukti-bukti tertulis karena gambar saja tidak memadai. Hal ini menunjukkan bahwa gagasan dan peristiwa-peristiwa itu selanjutnya ditulis dalam bentuk sistem penulisan tertentu yang dikembangkan sebagai bagian dari sistem berbahasa bangsa tersebut.

Disamping untuk kepentingan pencatatan, bahasa adalah alat berpikir. Dalam konteks ini maka menulis membantu mengorganisasikan pikiran dan gagasan manusia ini agar lebih mudah dipahami –sekaligus mudah diingat-. Ilmu pengetahuan adalah hasil organisasi gagasan semacam ini.

Menulis merupakan tahapan belajar yang penting. Jika belajar adalah sebuah proses memaknai pengalaman, maka proses belajar dapat diibaratkan sebagai sebuah siklus,  sebut saja “siklus belajar” (learning cycle). Siklus belajar ini tersusun dari empat komponen, yaitu “praktek/mengalami-membaca-menulis-bicara”.


praktek  ®  baca
­                   ¯            
bicara   ¬   tulis


Gambar 1. Siklus Belajar

Penting untuk diperhatikan bahwa praktek atau pengalaman merupakan komponen belajar yang penting. Salah satu ciri manusia berkarakter adalah “satu kata dengan perbuatan”.  Menulis juga merupakan bagian penting dalam pembentukan karakter masyarakat. Dengan memperhatikan siklus belajar dalam Gambar 1, perhatikan siklus karakter dan siklus kebenaran dalam Gambar 2 dan Gambar 3 berikut :


                             bukti  ®   cari                                            amanah ®   jujur
                            ­                 ¯                                                    ­                 ¯
                       sebar   ¬  rancang                                       peduli  ¬  cerdas


                     Gambar 2. Siklus Kebenaran                               Gambar 3. Siklus Karakter


APA KONSEKUENSINYA JIKA MASYARAKAT TIDAK MENULIS ?

Masyarakat yang tidak menulis adalah masyarakat yang tidak mampu memanfaatkan kekayaan gagasan-gagasanya sebagai kekayaan intelektual. Gagasan-gagasan ini karena tidak ditulis dan didokumentasikan akan hilang dan dilupakan, selanjutnya masyarakat seperti ini akan kehilangan jati dirinya karena masyarakat seperti ini tidak memiliki sejarah.

Indonesia sebagai gagasan juga terancam eksistensinya jika masyarakat gagal menarasikan Indonesia dalam berbagai bentuk medium. Pengalaman meng-Indonesia yang pahit, menyesakkan, dan menyengsarakan akan menyulitkan masyarakat Indonesia yang majemuk untuk mampu menarasikan Indonesia. Yang lahir adalah narasi-narasi kedaerahan yang sempit.

Masyarakat yang tidak menulis adalah masyarakat yang tidak produktif karena malas menghasilkan gagasan-gagasan. Masyarakat seperti ini akan menjadi masyarakat konsumtif, termasuk konsumtif iptek dan budaya. Dia akan menjadi masayarakat yang menonton, bukan masyarakat pemain peradaban.

Masyarakat yang tidak menulis akan menjadi masyarakat yang terbelakang, karena menulis adalah bagian yang penting dalam belajar, baik di tingkat individu maupun di tingkat masyarakat. Artinya, masyarakat yang tidak menulis akan menjadi masyarakat yang tidak belajar. Belajar adalah sebuah proses memaknai pengalaman atau praktek. Proses memaknai ini mensyaratkan membaca dan menulis.

Masyarakat yang tidak menulis akan mudah terjebak dalam budaya bohong. Praktek merupakan pembuktian kebenaran, sedangkan membaca adalah mencari kebenaran. Menulis adalah merancang dan menegakkan kebenaran. Plagiarisme dihukum berat dalam masyarakat yang membaca dan menulis.  Penting untuk dipahami bahwa kebiasaan membaca dan menulis adalah dua kebiasaan yang erat kaitannya dan penting dalam pembentukan karakter. Perhatikan juga bahwa belajar mensyaratkan praktek atau berkarya.


HAMBATAN-HAMBATAN DALAM MENULIS

Hambatan menulis sebagian besar tidak disebabkan oleh hambatan fisik, namun lebih bersifat mind-set atau cara berpikir. Pertama, secara tidak disadari, bangsa Indonesia dididik untuk tidak menghargai bahasa. Kita secara terlalu dini diberi ide bahwa yang penting itu adalah matematika, dan ilmu alam. Ilmu sosial, terutama bahasa dan sejarah, bukanlah bidang yang penting dan bergengsi. Salah satu akibatnya adalah kita gagal menjadi pengguna aktif bahasa Indonesia, apalagi bahasa asing. Kita juga masyarakat yang tidak peduli sejarah.

Akibat lainnya adalah bidang-bidang yang memerlukan kemampuan berbahasa yang baik dan logika yang kuat seperti hukum, tidak diminati oleh anak-anak yang paling berbakat. Keamburadulan hukum dan sistem perundang-undangan nasional kita sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka yang berprofesi hukum bukan berasal dari anak-anak yang paling berbakat.

Kedua, pendidikan kita terlalu memuja cara berpikir otak kiri, yang analitis, crispy dan sikuensial. Padahal menulis adalah sebuah proses mendisain, sebuah proses sintetik, fuzzy, kreatif yang memerlukan dukungan otak kanan. Otak kanan adalah sumber gagasan, sementara otak kiri menerjemahkannya dalam bahasa dan ditulis oleh tangan (kanan).

Pendidikan kita juga semakin informasional tapi kurang experiential. Banyak teori tapi kurang praktek atau pengalaman. Pendidikan kejuruan dinilai lebih rendah daripada pendidikan akademik. Pekerjaan manual dianggap lebih rendah daripada pekerjaan otak. Padahal gagasan lebih banyak muncul melalui pengalaman dan praktek.

Hambatan ketiga adalah lingkungan yang tidak kondusif bagi ekspresi diri dan pikiran bebas. Ketakutan mengekspresikan kebenaran juga menjadi hambatan. Proses pembelajaran di sekolah dan kampus masih berpusat pada guru, bukan pada murid. Sekolah dan kampus belum menjadi tempat yang longgar untuk penjelajahan gagasan2 baru. Tugas menulis atau “mengarang” jarang sekali diberikan. Bahkan di Jawa Timur kata “mengarang” memiliki konotasi negatif.

Hambatan ke-empat adalah kesombongan, yaitu keengganan untuk berbagi ilmu dan pengalaman melalui  karya tulis bagi masyarakat yang lebih luas. Seolah menulis akan mengurangi rezeki sang penulis.

Hambatan kelima adalah kurang percaya diri, atau takut dianggap sombong atau ingin menonjolkan diri. Padahal dengan menulis justru kepercayaan diri tumbuh. Penulis sering disebut “author”, berarti “man of authority”, orang yang berwenang atau memiliki otoritas (akademik).

Hambatan keenam adalah penjajahan rezim multiple-choices yang banyak dipakai dalam proses evaluasi pendidikan di Indonesia. Model evaluasi ini menghancurkan kemampuan-kemampuan kreatif, fuzzy, dan sintetik peserta didik.


PENUTUP

Jika mendidik adalah menumbuhkan kesetiaan pada kebenaran dan menginspirasikan keberanian berkarya bagi sesama sebagai bukti iman, maka membaca adalah latihan mencari kebenaran, dan menulis adalah latihan menegakkan kebenaran. Jelas, bahwa budaya membaca dan menulis adalah bagian penting dalam pembentukan karakter. 

Karena menulis adalah mendisain, maka penting untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan kreatif melalui penguatan kegiatan berbasis otak-kanan. Pendidikan musik, seni, dan olah raga adalah penting untuk mengaktifkan otak kanan ini. Fungsi utama tangan manusia adalah untuk menulis sebagai bentuk evolusi puncak spesies manusia. Menulis dengan demikian adalah bentuk syukur kita sebagai manusia, dan bukti kesetiaan kita pada kebenaran.

Karena menulis adalah tahapan belajar yang penting, pendidikan kita harus menjadikan kegiatan menulis sebagai kegiatan yang penting. Perguruan Tinggi perlu mengembangkan penulisan sebagai dharma ke-empat karena perguruan tinggi paling bertanggungjawab atas kekayaan gagasan sebuah bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar