- Sabtu, 31 Maret 2012

Tak Ku Sangka


Tak Ku Sangka...Bara ini ternyata masih menyala untuk menggerakkan jemari, membiarkannya menari lentik di atas keyboard, menuangkan imaji dalam rangkaian kata-kata. Walau apa yang kutulis masih samar. Belum terlihat nyata. Karena aku hanya mengikuti alur perasaanku. Entah inspirasi tadi datang dari mana dan akan berakhir dimana. Aku tak pernah tahu. Yang jelas inginku terkadang mengalahkan rasa lelah yang mencoba membelenggu. Memenjarakanku dalam kemalasan.Malam ini. Entah. Semangat itu kembali muncul. Kecil bibir ini menyimpul senyuman. Dalam hati sudah mulai menyimpan beberapa rangkaian kata yang berhasil di otak-atik otakku. Meski sesekali kening ini mengerenyit dan mata ini menyipit. Jemari ini masih saja ingin mengetik.


Setelah ke-3 kakak sepupuku melaju bersama L300-nya menjajakan dagangan ke Bojonegara, mata ini belum mau diajak  beristirahat. Kusempatkan beberapa menit nongkrong di depan  TV sambil menyantap mie rebus yang sudah mendingin. Mie yang kubuat sejak mereka  pulang dari pasar, lama terbiarkan begitu saja di meja makan tanpa seorang pun yang menyentuhnya. Tiga gelas teh dan lima cangkir kopi yang kubuat sekarang tinggal sisa. Ingin tertawa rasanya jika mengingat candaan kakak  sepupuku bersama seorang sahabat yang membantu menata dagangan tadi. Betapa lucunya mereka hingga membuatku bolak-balik ke kamar mandi. Bukan sepenuhnya karena lelucon mereka. Tetapi cuaca dingin di desaku juga mendukung kebanyakan orang untuk sering ke belakang.
Tiba-tiba titik kejenuhanku di depan TV berada dalam interval kritis. Kupindah-pindah channel-nya. Tapi tak jua menemukan yang pas. Ku buka Nokia 6070 yang hampir 3 tahun  setia di sisiku. Tak ada pesan. Ku buka facebook melalui layangan gratis yang disediakan oleh telkomsel. Kulihat pemberitahuan satu per satu. Ku buka, saling berkomentar dengan temanku di statusku juga statusnya, dan setelah beberapa menit kejenuhanku mulai kambuh. Dan lama-lama apa yang dihadapku semakin samar dan menghilang. Aku tertidur.
***
Nada ponselku berdering menggugahku dari mimpi. Alhamdulillah aku masih diberi kesempatan untuk menikmati keagungan dan kekuasaanNya. Seperti biasa pagiku di 02 Februari 2012 ini tak jauh berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Tapi entah kenapa hatiku agak galau. Ada sedikit kekhawatiran yang tiba-tiba menghujam jantungku. Ku buka-buka note-ku, apakah ada tugas atau jadwal yang mengharuskanku datang. Glodak, ternyata deadline lomba menulis buku “Your Dream Big” nanti malam. Sementara aku belum mempersiapkan apapun. Semua masih putih.
“Oh, inspirasi datanglah...!”, kataku dalam hati sambil melihat langit-langit kamarku. Keningku mengkerut, namun hampir satu jam aku tak jua menemukan sesuatu.
“Aisyah, Umi mau ke sawah, ikut nggak nak?”, teriak Umi dari loteng.
“ Ke sawah? Nggak ah, Umi. Nanti kepanasan.”, jawabku.
“ Aduh, anak Umi yang satu ini, manja nian kau nak... padahal di sawah itu tidak panas. Justru Aisyah akan merasakan nikmat Rabb yang tak pernah Aisyah temukan di kota. Bukankah Aisyah besok sudah berangkat lagi ke Surabaya.”, tutur Umi sambil menyiapkan peralatan gepyok padi.
“Hmmm, iya udah, deh. Ane ikut, Umi. Tungguin.”
Aku bergegas mengambil jilbab dan memakainya. Kukayuh sepeda tuaku menuju sawah bersama Umi.
***
Kupandang sekitar. Hamparan hijau membentang di sekelilingku. Rumput-rumput di pinggir jalan bergoyang nan gemulai. Aku iri pada mereka yang senantiasa istiqomah, masih dan selalu bertasbih pada Sang Khaliq. Aku tersenyum, tulus dari dasar hatiku, ketika ku tengok ke atas. Kupandang permadani langit yang membiru, dihiasi burung-burung yang berterbangan dengan kepakan sayapnya yang senada. Subhanallah, Maha suci Engkau yang telah menciptakan segalanya dengan  amat sempurna. Indah rasanya menyaksikan ribuan petani memanen padi yang telah merunduk malu, siap untuk di petik. Ku bisa merasakan betapa luar biasa nikmat Allah mengalir pada mereka.
“Dek Aisyah,....”, seorang pria yang menurut orang-orang bisa dikatakan sempurna memanggilku. Aku berusaha menjaga hijabku. Aku hanya menenok sebentar. Aku tak mendapati dia seperti apa. Yang jelas dia adalah seorang pria.
“Iya, ana Aisyah. Afwan, ana belum pernah tahu sampean.”, jawabku tegas.
“Dek Aisyah, anti sudah melupakan ana rupanya. Benar-benar tak ingatkah?”
Afwan, ana benar-benar lupa. Langsung sebut saja nama sampean siapa? Dan apakah ada yang bisa ana bantu. Soalnya ana sudah ditunggu Umi dan Abi di pematang.”, jelasku.
Ana Achmad. Senior anti di ITS. Ya sudah, mangga jika anti sudah ditunggu. Afwan sudah mengganggu.”
Ana bi khoir. Afwan.”
***
Perbincangan singkat dengan Achmad yang mengaku seniorku rupanya sudah diketahui Umi dan Abi. Ternyata mereka sudah mengenalnya. Dia adalah putra ustadz Imam yang ternyata satu almamater denganku.
“Gimana nak Achmad, Aisyah?”, tanya Abi. Sontak aku terkaget.
“Hah, apa Abi? Aisyah tak mendengarnya jelas.”
“Tak usah kaget begitu. Jika memang tak jelas, tak usah dijawab.”, ucap Abi tegas.
“Yah, Abi jangan gitu donk. Afwan, Abi. Ana tak tahu Achmad itu siapa. Dan ternyata Abi mengenalnya.”
“Sudahlah, belum waktunya membahas Achmad. Biarlah dia membangun peradaban dengan dakwahnya. Dan biarlah Aisyah belajar mencetak karya sesuai apa yang dia butuhkan.”, kata Umi menengahi.
Sebenarnya aku masih bingung dengan maksud Abi dan Umi. Tapi entahlah, aku tak mau tahu. Yang sekarang ingin kulakukan adalah membantu Umi dan Abi memanen padi. Kupandangi wajah Umi dan Abi yang mulai menua. Aku tersenyum dan mengucap syukur dalam hati. masih bisa aku rasakan hangat dan indahnya bersama mereka, yang suatu saat pasti tak kan kudapati kesejukan dan kenyamanan seperti yang kurasa saat ini.
Umi, Abi, Ukhibukhum fillah.”, lirih suaraku dalam nyata. Namun begitu keras dalam sukma.
***
Sang fajar telah berdiri di ujung malam. Menyambut nyanyian diam  yang mulai terdengar. Hangat sinar mentari telah merayap, membuka simfoni kehidupan yang begitu luarbiasa. Subhanallah, tak hentinya hati ini mengucap syukur atas udara yang Kau jual gratis untuk kuhirup sesukaku. Atas waktu yang masih saja Kau obral untukku berbenah diri. Meski nista hati ini kian bertambah setiap detiknya. Terimakasih yang tak terkira untukMu Sang Pemilik nyawaku atas segala nikmat yang Kau beri sampai detik ini.
“Aisyah, minta oleh-oleh apa untuk dibawa ke Surabaya?”, tanya Umi menggugah lamunanku.
“Hmm, apa ya Umi? Tak usah repot Umi.”
“Pasti begitu. Seperti biasa saja ya, nak. Nanti Umi buatin. Sekarang Aisyah beres-beres saja.”
“Iya, Umi. Syukron.”
Saat beres-beres aku mendapati HP-ku bergetar pertanda ada sms masuk.
“Bismillah, pagi tak sekedar sepotong waktu. Ia adalah dasar, perintis kehidupan, penegas tujuan, pendobrak semangat, pencoba niatan, pelaksana tindakan. Tak ada yang seramah pagi. Dalam heningnya, ia menenangkan. Dalam segarnya, ia menggairahkan. Dalam hangatnya, ia menggerakkan. Bergegaslah menyambut sapaan pagi dengan Bismillah.
Shobahul khoir,wahai ukhti yang menjadi tambatan hati ana. Achmad.”
Aku sudah sering mendapat sms seperti itu. Jadi ku lanjut saja pekerjaanku tanpa sedikitpun memikirkan siapa pengirimnya.
***
Waktu begitu cepat berputar, tak terasa ia telah membawaku ke saat dimana aku harus kembali berjuang memerangi sks demi sks dalam kuliahku.
“Jaga diri baik-baik!”, pesan kakakku yang mengantarku ke terminal.
“Iya, kak.”
Setelah memastikan aku sudah naik bis, kakak baru beranjak pulang.
“Hati-hati, Dek. Jangan lupa kasih kabar kalau sudah sampai. Jangan lupa sholat. Hafalannya kakak tunggu saat anti libur semester. Jepang menanti anti, Dek Aisyah Azh Zahra.”
“Iya, kak Fariz, sampai hafal ane dengan isi sms sampean. Sudah nyampai rumah ya? Kilat bener!”
Kak Fariz memang selalu begitu. Dia kakak sekaligus guru kehidupanku. Dia telah menyiapkan tiket sekaligus beasiswa S2 ke Jepang untukku. Tapi syaratnya aku harus hafal alqur’an.
Enam jam dalam perjalanan yang super ekstrim. Berjubel dalam bis masih biasa. Berdiri Magetan-Surabaya pun tak lagi mengejutkan. Saat-saat seperti inilah rasa khawatirku menggunung akan hijabku. Aku hanya mampu berdoa semoga Allah senantiasa menjaganya. Kata-kata Abi selalu terbayang dalam angan, bahkan telah terpatri dalam sanubariku. “Wanita muslimah adalah yang menjaga hijabnya dengan rasa senang hati. Sehingga dia tidak keluar kecuali dalam keadaan berhijab rapi, mencari perlindungan Allah dan bersyukur kepadaNya atas kehormatan yang diberikan dengan adanya hukum hijab ini, dimana Allah Subhaanahu wata’ala menginginkan kesucian baginya dengan hijab tersebut. Allah berfirman yang artinya: “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab:59).”
Senja tiba mewarnai langit di ufuk barat. Mentari mulai tertelan waktu yang meraja jagat. Sang mega merah hanya tersirat seutas dalam hamparan permadani langit sesaat. Lalu terang tergantilah kelam yang hitam pekat. Panggilan cintaNya sudah terdengar bersautan. Bergegas ku turun dari lyn, segera ku mengambil wudlu, lalu sholat berjamaah di masjid An-Nur.
“Alhamdulillah, Aisyah sudah sampai kontrakan dengan selamat.”, aku kirim sms itu ke keluargaku sambil berjalan ke arah kontrakanku. Setiba di kontrakan, 20 jiwa menyambutku dengan hangat. Kami saling melepas kangen, kemudian larut dalam canda dan cerita.
***
“Menjadi melatilah, meski tampak tak bermakna. Sebab ia akan tebar harum wewangian tanpa meminta balasan. Sebab ia begitu putih, seolah tanpa cacat. Sebab ia tak takut hadapi angin dengan mungil tubuhnya. Sebab ia tak ragu hadapi hujan yang membuatnya basah. Sebab ia tak pernah iri melihat mawar yang merekah segar. Sebab ia tak pernah malu pada bunga matahari yang menjulang tinggi. Sebab ia tak pernah rendah diri pada anggrek yang anggun. Sebab ia tak pernah dengki pada tulip yang berwarna-warni. Sebab ia tak gentar layu karena pahami hakikat hidupnya. Hamasah, nak Aisyah. Doa Umi, Abi, dan Kakak menyertaimu. Semoga Allah meridhoi langkahmu. Selamat kuliah hari pertama di semester duamu...:-)”
Sms Umi membangunkanku di sepertiga malam terakhir. Alhamdulillah, aku masih diberi kesempatan untuk khusyuk dalam keindahan rukuk dan sujud.
“syukron, Umi, insyaAllah Aisyah akan memperjuangkan mimpi Aisyah karena Allah.”
Seusai sholat aku balas sms Umi. Kemudian aku buka notebook dan kusempatkan untuk mengedit tulisanku yang akan kuikutsertakan dalam lomba menulis buku “Your Dream Big”. Karena ternyata deadline pengiriman di undur hingga akhir Maret.  Dan akan diumumkan sebulan kemudian.
***
Waktu tiada pernah lelah untuk berputar, meski jiwa yang mengikutinya telah pudar. Ia terus membawaku ke masa-masa dimana aku harus belajar memahami setiap keadaan  yang selalu berubah. Menyeimbangkan antara akademik dan non akademik bukanlah hal yang mudah. Sibuk dengan berbagai embanan amanah, yang mulai melenakanku, sedikit demi sedikit menyihirku untuk malas belajar. Sampai-sampai kuis mata kuliah yang terbilang mudah pun aku harus mengulang. Terkejut, sedih banget kala itu. Aku benar-benar merasa bodoh. Aku menangis pada Allah untuk ditunjukkan letak kesalahanku. Mulai dari itu, aku mencoba meluruskan niatku, yang barangkali terselewengkan. Aku mencoba benahi management waktu, management energi, dan strategi belajarku. Hingga aku bangkit dan berhasil kembali ke jalanku.
Sudah hampir tiga bulan, aku belum mendapat pengumuman tentang lomba menulis buku kemarin. Ini saatnya pula aku pulang setor hafalan.
“Dek, ada 3 kabar untuk anti?”, nyaring terdengar suara Kak Fariz di ujung telepon.
“Iya, kakak. Ana tahu.ini saatnya ana setor hafalan kan? Afwan ya kak. Ana masih nunggu pengumuman.”
“Pengumuman apa? Traskrip nilai anti sudah di tangan kakak. Surat pengumuman lomba juga ana bawa.”
“Lho, kok bisa? di web-nya saja belum ada. Ah, kakak bercanda ya?”
“Tidak, adikku. Kakak tidak bercanda. Alhamdulillah,  pertama, IP anti caumlaude. Kedua tulisan anti “My Dream Big” menjadi juara pertama, dan hadiahnya adalah beasiswa belajar di negara yang anti impikan. Dan terakhir, ana tidak bisa berbicara di telepon. Ana, Umi, dan Abi menunggu anti untuk segera pulang.”
“Kakak, Aisyah tidak mimpi kan? Alhamdulillah, ana tak menyangka. Sungguh, janji Allah tak pernah palsu. Tapi, yang ketiga kenapa harus menunggu ana sampai rumah? Ana belum bisa pulang sekarang. Besok pagi masih ada mentoring.”
“Iya, setelah mentoring segera pulang ya?”
“InsyaAllah, kak.”
***
Pikirku kalut, hatiku mengkerut. Nampak jelas bahwa aku sedang mengkhawatirkan sesuatu. Ada apa gerangan keluargaku menyuruhku pulang segera.
“Nak, sebelumnya Abi mohon maaf karena belum pernah memberitahu anti. Anti masih ingat nak Achmad? Sebenarnya, sejak anti SMA, Achmad dan orang tuanya telah mengkhitbah anti.
Abi, Aisyah baru mau semester 3, usia ana juga belum genap 20 tahun. Ana juga belum tahu beliau adalah orang yang seperti apa?”
“Aisyah, anakku, Abi sudah berjanji pada Ustadz Imam sebelum beliau meninggal. Karena sesungguhnya yang meminta anti menjadi istri Achmad adalah beliau. Sekarang Achmad sudah lulus S1, tinggal wisuda Oktober mendatang.  Sekarang lagi mengerjakan S2 di ITS juga. Dan mau berangkat ke Jerman untuk pendidikan S3 nya.”
Ana tak paham maksud Abi. Ana belum mau menikah.”
“Ya Rabb, sesungguhnya ini anugerah apa musibah? Jika Dia memang jodoh terbaik dariMu untukku, Aisyah Ikhlas.”, sesak dada ini mengucapnya dalam batin.
Abi tahu ini sulit, mangga istiqarah dulu. Abi yakin jawabanya iya.”
Aku hanya terdiam dan berlalu dengan balutan air mata. Kenapa Abi begitu yakin? Abi bukan Allah yang berkuasa dan berkehendak atas hidup, mati. Dan jodohku. Manusia bisa berencana, tapi hanya Allah-lah yang mampu menghendakinya. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar