hehe, nggak nyangka juara 2.. padahal maksa banget nih... ^,^
ASA UNTUK INDAHNYA SEBUAH
AKHIR
Tatapan mata yang kosong ini berbuah air mata. Berderai
meresap hingga relung hati yang terdalam. Goresan luka yang menganga kian perih
terasa. Membuat raga begitu lemah tak berdaya.
“ Kuatkan ana dalam kerapuhan ini, ya Rabb “. Kalimat itu hampir selalu ku ucap dalam doa, bahkan sempat juga ku jadikan status di FB-ku. Aku tidak pernah merasa memilikinya, tapi mengapa begitu sulit
menghapusnya dari ingatanku.
“ Astaghfirullah, Icha nggak boleh seperti ini, Icha nggak mau mematahkan kekuatan ukhuwah
ini. Hanya karena sebuah ego dan perasaan yang tak semestinya ada dalam hati
ini.”, gumamku
dalam hati.
“ Icha belum tidur?”. Lembut kata itu mengalun dari bibir umi tercinta, membuatku tergugah dari lamunanku.
“ Belum Umi, tugas Icha masih
numpuk. Umi istirahat dulu saja, InsyaAllah Icha
berani”.
“ Beneran?”
“ Iya, Umi…”
“ Ya sudah, umi ke kamar dulu ya,
sudah ngantuk “ kata umi sambil berlalu menuju kamarnya.
Waktu memang sudah larut, mata
inipun sudah mulai meredup. Namun jemari ini masih lihai untuk mengetik.
Diiringi alunan ayat-ayat suci
Al-Quran, memberi kenyamanan
dalam hati, hingga ku terlelap dalam pekerjaan ini.
***
Adzan subuh telah menyapa, menggugah setiap hati yang
terlelap. Ku dengar abi dan umi telah mengambil air wudhu. Aku pun segera merapikan pekerjaanku yang alhamdulillah telah usai. Dan
bergegas menghampiri mereka. Aku tidak ingin menghilangkan kesempatan emas
untuk sholat berjamaah. Apalagi di rumah Allah, tempat yang tepat untuk
bermunajat. Walaupun di setiap ruang dan waktu kita bisa menitipkan rabithah
kepadaNya. Namun aku merasa lebih khusyuk di tempat yang begitu menyejukkan,
mendamaikan , juga memberikan kehangatan ini.
“ Nanti abi antar sampai rumah
Risma ya, Cha. Motornya mau abi pakai”
“ Ya…, abi, kenapa nggak bilang dari kemarin? Tapi ya
sudahlah, nggak apa-apa!”
“ Icha, bawa bekal apa tidak?” teriak umi dari dapur.
“ Iya,Umi. Nanti ada tambahan pelajaran. Jadi pulangnya sore.”
Setelah semuanya siap, abi
mengajakku berangkat. Tak lupa salam hangat selalu terucap ketika akan pergi,
dan berjabat tangan sudah menjadi budaya yang tertanam sejak aku kecil.
“Hati-hati di jalan!“. pesan setia umi sembari mengantar kami berlalu.
***
Akhir-akhir ini, entah sengaja atau tidak, atau hanya
sekedar kebetulan belaka, kedatangan kami ke sekolah selalu bersamaan dengan Ray.
“ Siapa tuch?”. Sindir Risma.
“ Bukan siapa-siapa. Hanya seseorang yang
pernah hadir dalam masa lalu ana. Tapi tak pernah ana merasa memilikinya. Karena hanyalah
Allah Sang Pemilik nyawa setiap insan di dunia ini.” Jelasku sambil jalan menuju ruang kelas kami.
“ Terus,... yang kemarin apa?”, ejeknya.
“ Kemarin adalah masa kelam dimana ana belum memahami bagaimana seharusnya
ukhuwah itu dijalankan. Bagaimana seharusnya hijab ini terjaga.”
“ Siiip,... ini baru Icha yang ane kenal. Tenang saja ukhti, Allah itu Maha Segalanya. Anti mau pesan yang bagaimana saja
kelak, tinggal minta. Allah pasti akan berikan. Ingat potongan ayat ke-26 dari
Q.S. An-Nuur, “Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula).” ”, dalilnya.
“ Iya, Ukhti...
ana paham. Tolong ingatkan ana jika keluar dari jalan yang
semestinya ana lalui. Dari jalan,
dimana para pejuang dakwah setia menapakinya ini.”, tuturku yang kemudian
mengucap salam, menjabat tangan, dan memeluknya. Karena kami berbeda kelas. Sejauh
yang aku tahu, jika kedua orang bertemu ataupun
berpisah, kemudian saling berjabat tangan, maka akan diampuni dosanya
selama itu.
***
Bel memang belum berdering. Namun kedisiplinan selalu
ditegakkan dalam setiap pelajaran. Terutama pelajaran Olah Raga. Untuk itu kami selalu bersiap lebih awal.
Berat memang, namun selama kami ikhlas menjalaninya, InsyaAllah semuanya akan
berbuah manis.
***
Tiba saatnya pelajaran kimia.
Jantungku serasa mau copot menanti hasil ulangan minggu kemarin.
“ Astaghfirullah, remidi lagi”
Entah mengapa kali ini aku
merasa sangat sedih. Tiap kali ulangan, tiap kali pula aku harus remidi.
Padahal sebelumnya aku tidak pernah harus mengulang. Mungkin ini adalah buah
kesalahan terbesar yang mulai tumbuh setelah aku naik ke kelas XI. Malas,
penyakit yang berkembang dalam diriku ini, telah membelenggu, dan membuatku
selalu berpikir, “ Ah, La tahzan, nggak ana sendiri ”. Tapi kali ini aku benar-benar
menangis. Aku sadar ini salah. Aku tak ingin terus membohongi diriku. Aku harus berjuang. “Keep moving forward, Cha. U can do it, because Allah always besides you!.” Kataku dalam hati.
“ Semagat, Cha!”. Kata Liza, teman
sebangkuku.
“ Iya, Liz…”
***
Seminggu lagi ujian kenaikan kelas, aku mencoba membuka
memoriku dengan membaca-baca buku pelajaranku. Namun hatiku begitu bimbang.
Mungkin karena ketakutanku jika aku tidak bisa menjadi Icha yang dulu.“ Ya Rahiim, terlambatkah jika ana baru menyadarinya? Kenapa penyesalan
selalu hadir di belakang?”, keluhku.
Aku tak menyadari jika kak
Ikhsan ada di sampingku. Dengan bijak dia menanggapi keluhanku. “ Ya iyalah, dek Icha. Menyesal itu pasti di belakang. Kalau di depan namanya
niat. Lagi pula, jika penyesalan berada di depan, pasti semua orang di dunia
ini sedih, karena menyesali apa yang belum mereka kerjakan. Jadi, kita harus
tetap maju. Kita hidup untuk waktu ke depan, bukan untuk waktu yang sudah
berlalu. Waktu tidak akan mundur ke belakang, walaupun hanya sedetik. Jangan
sesali perbuatan yang telah kita lakukan, tapi benahilah!”
“ Subhanallah, kakak, kapan datang?” kataku sambil mengusap air
mata yang tak sengaja terjatuh.
“ Sejak anti duduk di teras ini, dan mulai mengeluh “
“ Oh, afwan kak, ana nggak tahu. Mungkin karena melamun “
“ Nggak apa-apa. Kakak ada perlu sama abi. Beliau di rumah, kan?”
“ Ada, kalau nggak salah lagi ngobrol sama umi di dalam. Memangnya ada apa, kak?”
“ Ada pesan dari Abah.
Sekalian mau silaturrahmi. Bukankah dengan bersilaturrahmi, semakin menguatkan
ukhuwah sesama muslim?”
“ Hehe, iya, kakak, ana tahu kok.”
“ Ya sudah, diterusin lagi belajarnya. Jangan melamun saja. Ingat kata-kata kakak. Laa
tahzan innalloha ma’ana. Hamasah!” kata kak Ikhsan sambil berjalan ke dalam rumahku.
“ iya, kakak, syukron!”
Semenjak aku memutuskan untuk
berteman saja dengan Ray. Aku memang dekat sama kak Ikhsan. Dia menyadarkanku bahwa pacaran bukanlah sebuah
tahapan dalam ukhuwah. Dia
juga mengajarkanku bagaimana
seharusnya aku sebagai muslimah. Tapi kuharap kedekatan ini tak menumbuhkan perasaan
cinta. Kalaupun harus, semoga hanya cinta kakak-adik. Karena aku telah
menganggapnya sebagai kakakku. Dan
terlebih aku tak ingin menodai suci dan indahnya sebuah ukhuwah. Sebagaimana
yang kulakukan sebelum berhijrah ke jalan cinta yang diridhaiNya.
***
Tak terasa waktu berjalan
begitu cepat, mengantarkanku pada hari dimana akan kubuktikan kesungguhanku.
Walau tak berjalan sesempurna harapan yang terajut indah seminggu lalu. Namun
aku tetap bersyukur, hasilnya tak jelek-jelek amat.
“ Main, yuk!”. Ajak Risma saat pulang
sekolah.
“ Kemana?”
“ Terserah ”
“ Kok terserah? Tapi ana capek, Ris. Gimana kalau lain kali saja? Atau kalau anti mau main, sama teman-teman anti saja nggak apa-apa, ana minta jemput abi saja “
“ Ya, kok gitu. Ana jadi nggak enak ma anti. Tapi beneran nich, nggak
apa-apa?”
“ Ya ampun, Ris. Ana apa ada tampang bohong sich?”
“ Ya, ya. Nggak ada kok, Cha. Ya dah ana tinggal dulu ya?
Salam buat abi. ”
“ Iya, hati-hati di jalan ya. Salam juga buat temen-temen
anti. “
“ Ok!” teriaknya girang sambil berlari
menghampiri teman-temannya.
Tepat sepuluh menit. Suara motor yang sudah tak asing
lagi untukku datang.
“ Lama ya nunggunya?“
“ Lho, abi kemana, kok yang jemput kak Ikhsan?”
“ Abi anti di rumah kakak. Karena
lagi ngomongin masalah kerjaan sama abah. Jadi beliau nyuruh
kakak.”
“ Tapi,
kak? Ehm,.. kakak tahu kan? “
“ Iya,
kakak sudah mengira jika akan seperti ini. Kakak sendiri yang mengajarkan pada anti. Tapi karena ini amanah. Dan kakak
sudah menganggap anti sebagai adik sendiri.
Maka ana datang untuk memenuhinya.”
Aku hanya terdiam.
“ Memang keadaan belum mendesak untuk dikatakan
boleh. Waktu juga belumlah mendesak. Tapi abi
yang mendesak kakak. Dan kakak nggak bisa mengelak.”, tambahnya.
“ Ana
naik bis saja, kak. Kakak pulang dulu saja nanti kalau sudah sampai di
perempatan ana sms abi. Tolong kakak sampaikan ke abi.”
“ Afwan,
ya dek. Kakak benar-benar nggak bermaksud...”
“ Nggak apa, kakak. Ana paham kok.”, potongku.
Dengan sedikit kecewa, aku berjalan ke terminal.
Mengganjal sekali di hati ini, kenapa abi melakukan ini padaku. Padahal abi
memahaminya. Meski aku telah menganggapnya kakak. Tapi kami belumlah halal.
Jangankan berboncengan, berpandangan saja haram.
***
“ Malam ini telah kutitipkan sejuta salam lewat semilir angin untuk bintang
yang selalu menjadi teman rembulan. Telah kusemaikan buih-buih cinta untuk
kunang-kunang penghibur. Dan telah kumunajatkan semua asa dan doaku kepada Sang
pencipta. Berharap seseorang di sana selalu dalam lindunganNya. Afwan ya
dek soal tadi siang?”
Laksana petir menyambar,
membelahkan jantung hatiku. Tak pernah tersirat dalam benakku, kak Ikhsan ngirim
pesan seperti itu. Aku bingung mau balas gimana. Akhirnya setelah
berpikir-pikir lumayan lama, aku balas, “
bintang telah mengucap terimakasih dalam setiap cahaya yang sampai ke bumi,
kunang-kunang penghibur telah menyalakan sinarnya dalam gelapnya malam, dan Sang
Pencipta pun
telah melindungiku, hingga alhamdulillah, ana bi khoir, kakak. Ana hanya tidak
ingin menodai ukhuwah dan hijab ana. Kakak tahu kan?”
“
iya, dek. Kakak paham”
Satu tahun enam bulan, begitu tak
terasa perputaran roda waktunya. Dinamika
kehidupan yang penuh gejolak telah terlewati sempurna. Tak tersadar pula aku sudah bertambah dewasa.
Tanggung jawabku di taman dakwah semakin berat pula. Harus tetap menjaga
ukhuwah islamiyah dengan keluarga, kerabat, dan teman-teman yang telah menyebar
di berbagai belahan bumi.
“ Dek, kalau ada waktu libur, tolong disempatkan
untuk pulang. Tengoklah umi dan abi. Doakanlah mereka dan saudara
semuslim anti dalam dekat maupun
jauh. Karena sesungguhnya hal tersebut adalah sebagian cara untuk memperkuat
ukhuwah.”
“ Iya, kakak.”, jawabku sebelum kak Ikhsan menutup
teleponnya.
Semenjak kuliah, kak Ikhsan-lah yang
sering me-monitoring-ku. Secara tidak langsung abi telah menyerahkanku padanya. Meskipun aku belum meng-iya-kan.
Namun kedekatan keluarga kami tak terelakkan. Saat pulang kemarin, kak Ikhsan
bahkan telah memintaku pada umi dan abi. Tapi aku belum mau dipinang sebelum
aku diwisuda.
***
“ Icha, abi
tidak akan mengijinkan anti mengambil
beasiswa ke Jepang sebelum ada mahram.”
“ Abi,...
kan sayang. Jepang lho.”
“ Anti
menangis darah sekalipun, abi tetap
pada pendirian yang sama.”
Aku hanya terdiam. Memandang abi berlalu dengan bendungan airmata.
Aliran darahku serasa tersumbat oleh kekecewaan. Pikiranku serasa diberi beban
serjuta-juta ton. “Haruskah aku mengubur mimpi, hanya karena aku belum siap
menikah? Bukankah menikah adalah bagian dari dakwah? Penyempurna amalan kan?”,
pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam benakku. Mencoba menamparku dari segala
sisi.
“ Istikharah,
nak”, nasehat umi.
“ Iya, Umi.”
Umi memelukku dan mengecup keningku dengan hangat.
“ Anti
sudah dewasa. Sudah hampir 20 tahun. Sudah pantas untuk dipinang.”
“ Umi,...”
Aku pun terisak di pangkuan umi dan tak sengaja terlelap.
“ Alhamdulillah, syukron katsiran, ya Rabb... telah membangunkan ana di sepertiga malam terakhir-Mu.
Syukron telah memberikan kesempatan untuk bermunajat dan memenuhi
sunah-sunah-Mu.”, kataku dalam hati ketika aku terjaga. Aku berharap akan
segera menemukan jawaban atas pilihan yang diberikan abi.
***
Fajar telah menyapa. Enggan rasanya untuk beranjak dari kamar. Apalagi jika liburan seperti ini. Teman-teman banyak yang ngajak aku pergi, namun aku
lebih memilih untuk di rumah.
“ Assalamualaykum,,,”
“ Wa’alaykumusalam,
warahmatullahi wabarakatuh. Eh, nak Ikhsan. Ada perlu apa?”
“ Ini Umi, ana memohon izin untuk mengajak dek Icha ziarah wali. Bolehkah?”
“ Umi sich boleh-boleh saja, itu kan bagian dari ibadah. Tapi Icha mau apa tidak. Sebentar, umi panggilkan,ya?” umi ke kamarku dan memanggilku.
Aku pun menemui kak Ikhsan.
“ Umi tinggal dulu ya?”
“ Ya, umi “ serempak kami menjawabnya.
“ Kok nggak sms dulu, kalau mau ngajak ziarah
wali. Sama siapa saja?”
“ Banyak, sama santriwan santriwati daerah
kita “
“ Sekarang?”
“ Iya, adek…”
“ Sebentar kalau gitu, ana rapikan diri dulu, ya?”
“ Mangga, tolong dipercepat karena santriwan-santriwati
lainnya sudah menunggu.”
“ Iya. Afwan...”
***
Hari ini seakan menjawab kebimbanganku. Kak
Ikhsan benar-benar
menunjukkan kesungguhannya. Dia benar-benar menjagaku. Walaupun ketakutanku jika kedekatan itu menumbuhkan cinta benar-benar terjadi. Namun kekuatan cintanya mampu
menepisnya. Ketulusannya terpancar bak cahaya dalam kegelapan. Penuh arti. Aku
bersyukur, abi telah memilihkan orang
yang tepat. Allah telah menyatukan hati kami, dan meniupkan cinta di hati
kami. Terimakasih ya Rabb, telah melabuhkan cintaku pada orang yang
cintanya pada-Mu begitu besar. Hingga cintaku pada-Mu bertambah kuat. Aku selalu berharap, Engkau menjaga cinta kami. Agar
cinta kami tidak melebihi cinta kami kepada-Mu. Karena sesungguhnya
dicintai Engkau adalah segalanya, Tuhan...
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar