- Sabtu, 12 April 2014

Surat Cinta

SURAT CINTA UNTUK UKHTI
(Oleh Iwan Alfarizy )

Kriing…suara bel sepeda pak pos terdengar nyaring, dan berhenti tepat di depan sekumpulan akhwat yang sedang Liqo’ (ngaji).

“Assalamu’alaikum”

“Waa’alikumussalam” jawab para akhwat kompak

“Afwan ukhti, ini ada surat untuk mujahidah” kata pak pos

“Ooh… syukron pak”

“Ya.. afwan” jawab pak pos singkat.

Pak pos berlalu setelah mengucapkan salam, dan tak sabar para akhwat itu membuka surat yang baru saja diterima dengan perasaan heran. Breek, sebuah amplop berwarna pink disobek, lalu seorang Murobbiyah membacanya, dan Mutarobbiyah dengan khusyu’ mendengarkannya.

“ Assalamu’alaikum warahmatullahi wabaraktuh “

Seuntai kata dari surat itu mulai di baca

“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabaraktuh” jawab jilbaber lagi-lagi kompak

“Ukhti yang di nantikan syurga “

Satu persatu Murobbiyah mulai mengalirkan kata-kata surat yang di bacanya yang berisikan:

“Ukhti…Kehadiran Anti di sini, adalah panggilan hati, panggilan ukhuwah, dan panggilan jihad yang hanya diniatkan karena Allah, bukan karena apa-apa. Bukan karena ingin ketenaran atau mengharapkan popularitas. Tapi.. Persembahkan hidup ini hanya karena Allah”

“Ukhti…Besarnya kerudungmu tidak menjamin sama dengan besarnya semangat jihadmu menuju Ridho Tuhanmu. Mungkinkah besarnya kerudungmu hanya digunakan sebagai fashion atau gaya zaman sekarang, atau mungkin kerudung besarmu hanya dijadikan alat perangkap busuk supaya mendapatkan ikhwan yang diidamkan bahkan bisa jadi kerudung besarmu hanya akan dijadikan sebagain identitasmu saja, supaya bisa mendapat gelar akhwat dan dikagumi oleh banyak ikhwan? Naudzubillah…”

Kembali, mutarobiyah membaca surat berwarna pink itu.

“Ukhti…tertutupnya tubuhmu Tidak menjamin bisa menutupi aib saudaramu, aib keluargamu, bahkan aib dirimu sendiri. Coba perhatikan sekejap saja, apakah aib saudaramu, teman dekatmu bahkan keluargamu sendiri sudah tertutupi? Bukankah kebiasaan buruk seorang perempuan selalu terulang dengan tanpa disadari melalui ocehan-ocehan kecil sudah membekas semua aib keluargamu, aib sudaramu, bahkan aib teman dekatmu melalui lisan manismu”

“Ukhti…lembutnya suaramu mungkin selembut sutra bahkan lebih dari itu, tapi akankah kelembutan suaramu sama dengan lembutnya kasihmu pada sauadaramu, pada anak-anak jalanan, para fakir miskin dan pada semua orang yang menginginkan kelembutan dan kasih sayangmu?”

“Ukhti…lembutnya Parasmu tak menjamin selembut hatimu, akankah hatimu selembut salju yang mudah meleleh dan mudah terketuk ketika melihat segerombolan anak-anak Palestina terlihat gigih berjuang dengan berani menaruhkan jiwa dan raga bahkan nyawa sekalipun dengan tetes darah terakhir, akankah selembut itu hatimu? Ataukah sebaliknya, hatimu sekeras batu karang yang sama sekali tidak tergetir melihat ketertindasan orang lain?”

Murobbiyah tak kuasa menahan air mata, ada butiran bening jatuh kepangkuan, jatuh melewati kertas pink itu. Isakan tangis mulai terdengar dari sebagian mutarobiyah.

“Ukhti…Rajinnya tilawahmu tak menjamin serajin dengan shalat malammu. Mungkinkah malam-malammu dilewati dengan rasa rindu menuju Tuhanmu, dengan bangun di tengah malam dan ditemani butiran-butiran air mata, yang jatuh ke tempat sujud mu serta lantunan tilawah yang tak henti-hentinya berucap, membuat setan terbirit-birit lari ketakutan. Ah… atau malah sebaliknya, malammu selalu dirangkul dengan tebalnya selimut setan dan di nina bobokan dengan mimpi-mimpi indahmu bahkan lupa kapan bangun shalat subuh”

“Ukhti…Cerdasnya dirimu tak menjamin bisa mencerdaskan sesama saudaramu dan keluargamu. Apakah mungkin temanmu bisa ikut bergembira menikmati ilmu-ilmunya seperti yang anti dapatkan, ataukah Anti tidak peduli sama sekali akan kecerdasan temanmu, saudaramu bahkan keluargamu. Sehingga membiarkannya begitu saja sampai mereka jatuh ke dalam lubang kebodohan yang sangat mengerikan dan menjatuhkan kepada kemaksiatan. Amalkanlah ilmumu ukhti, walau hanya sebaris kata. Bukankah itu lebih baik daripada tidak sama sekali?”

“Ukhti…cantiknya wajahmumu tidak menjamin kecantikan hatimu terhadap saudaramu, temanmu, bahkan diri Anti sendiri, pernahkah Anti menyadari bahwa kecantikan yang Anti punya hanya titipan ketika muda. Apakah dalam tujuh puluh tahun kedepan Anti masih terlihat cantik? Tahukah kamu, kecantikan itu hanyalah setipis kulit ari, jadi apa yang harus kamu banggakan dari wajah cantik yang kamu miliki? Jangan-jangan kecantikanmu hanya dijadikan perangkap jahat supaya bisa menaklukan hati ikhwan dengan senyuman-senyuman busukmu”

“Ukhti…tundukan pandanganmu yang jatuh ke bumi tidak menjamin sama dengan tundukan semangatmu untuk berani menundukan musuh-musuhmu. Terlalu banyak musuh yang akan Anti hadapi, mulai dari musuh-musuh Islam sampai musuh hawa nafsu pribadimu yang selalu haus dan lapar terhadap perbuatan jahatmu”

“Ukhti…tajamnya tatapanmu yang menusuk hati menggoda jiwa, tidak menjamin sama dengan tajamnya kepekaan dirimu terhadap warga sesamamu yang tertindas di negeri Palestina. Pernahkah Anti menangis ketika mujahid-mujahidah kecil tertembak mati, atau dengan acuhnya membiarkan begitu saja. Pernahkah Anti merasakan bagaimana rasanya berjihad yang dilakukan oleh para mujahidah-mujahidah di sana.”

“Ukhti…lirikan matamu yang menggetarkan jiwa tidak menjamin dapat menggetarkan hati saudaramu yang senang bermaksiat. Coba Anti perhatikan dunia sekelilingmu masih banyak teman,

saudara bahkan keluarga anti sendiri belum merasakan manisnya Islam dan iman mereka belum merasakan apa yang Anti rasakan. Bisa jadi salah satu dari keluargamu masih gemar bermaksiat, berpakaian seksi dan berprilaku seperti binatang yang tak karuan, sanggupkah Anti menggetarkan hati-hati mereka supaya mereka bisa merasakan sama apa yang Anti rasakan yaitu betapa lezatnya hidup dalam kemuliaan Islam.”

“Ukhti…tebalnya kerudungmu tidak menjamin setebal imanmu pada sang Khalikmu. Anti adalah salah satu sasaran setan durjana yang selalu mengintai dari semua penjuru mulai dari depan belakang atas bawah semua setan mengintaimu, imanmu dalam bahaya, hatimu dalam ancaman, tidak akan lama lagi imanmu akan terobrak abrik oleh tipuan setan jika imanmu tidak betul-betul dijaga olehmu, banyak cara yang harus Anti lakukan, mulai dari diri sendiri, dari yang paling kecil dan seharusnya dilakukan sejak dari sekarang, kapan lagi coba…”

“Ukhti…Putihnya kulitmu tidak menjamin seputih hatimu terhadap saudaramu, temanmu bahkan keluargamu sendiri, masihkah hatimu terpelihara dari berbagai penyakit yang merugikan seperti riya’ dan sombong. Pernahkah Anti membanggakan diri ketika kesuksesan dakwah telah di raih dan merasa diri paling wah, merasa diri paling aktif, bahkan merasa diri paling cerdas di tas rata-rata akhwat yang lain. Sesombong itukah hatimu, lalu di manakah beningnya hatimu, dan putihnya cintamu?”

“Ukhti…rajinnya tilawahmu tidak menjamin serajin infakmu ke mesjid atau mushola, sadarkah Anti kalau kotak-kotak nongkrong di masjid masih terliat kosong dan menghawatirkan? Tidakkah Anti memikirkan infaq sedikit saja, bahkan kalaupun infaq, kenapa uang yang paling kecil dan paling lusuh yang Anti masukan, maukah Anti diberi rejeki sepelit itu.”

“Ukhti…rutinnya halaqahmu tidak menjamin serutin puasa sunah senin kamis yang Anti laksanakan, kejujuran hati tidak bisa dibohongi, kadang semangat fisik begitu bergelora untuk dilaksankan, tapi semangat ruhani tanpa di sadari turun drastis, puasa yaumul bith pun terlupakan apalagi puasa senin kamis yang di rasakan terlalu sering dalam seminggu, separah itukah hati Anti, makanan fisik saja yang sering Anti pikirkan, padahal ternyata ruhiyah pun butuh stok makanan. Kita tidak pernah memikirkan bagaimana akibatnya kalau ruhiyah kurang gizi”

“Ukhti…manisnya senyummu tak menjamin semanis rasa kasihmu terhadap sesamamu, kadang sikap ketusmu terlalu banyak mengecewakan orang sepanjang jalan yang Anti lewati, sikap ramahmu pada orang Anti temui sangat jarang terlihat, bahkan selalu dan selalu terlihat cuek dan menyebalkan. Kalau itu kenyataanya, bagaiamana orang lain akan simpati terhadap komunitas dakwah yang memerlukan banyak kader. Ingat!!! Dakwah tidak memerlukan Anti tapi… Antilah yang memerlukan dakwah, kita semua memerlukan dakwah.”

“Ukhti…rajinnya shalat malammu tidak menjamin keistiqomahan seperti rosulullah sebagai panutanmu, siapa lagi yang mau jadi teladan selain beliau.”

“Ukhti…ramahnya sikapmu tidak menjamin seramah sikapmu terhadap sang Kholikmu, masihkah Anti senang bermanjaan pada Tuhanmu dengan shalat duhamu, shalat malamu?”

“Ukhti…dirimu bagaikan kuntum bunga yang mulai merekah dan mewangi, akankah nama harummu disia-siakan begitu saja dan atau sanggupkah Anti ketika sang mujahid akan segera menghampirimu.?

“Ukhti…masih ingatkah Anti terhadap pepatah yang masih terngiang sampai saat ini, bahwa akhwat yang baik hanya untuk ikhwan yang baik, jadi bersiap-siaplah sang syuhada akan menjemputmu di pelaminan hijaumu”

“Ukhti…Baik buruk parasmu bukanlah satu-satunya jaminan akan sukses masuk dalam surga Rabbmu. Maka, tidak usah berbangga diri dengan parasmu yang molek, tapi berbanggalah ketika iman dan taqwamu sudah betul-betul terasa dan terbukti dalam hidup sehari-harimu”

“Ukhti…muhasabah yang Anti lakukan masihkah terlihat rutin dengan menghitung-hitung kejelekan dan kebusukan kelakuan Anti yang di lakukan siang hari. Atau bahkan kata muhasabah itu sudah tidak terlintas lagi dalam hatimu, sungguh lupa dan sirna tidak ingat sedikitpun apa yang harus di lakukan sebelum tidur. Anti tidur mendengkur begitu saja dan tidak pernah kenal apa itu muhasabah sampai kapan akhlak busukmu dilupakan, kenapa muhasabah tidak di jadikan sebagai moment untuk perbaikan diri. Bukankah akhwat yang baik hanya akan mendapatkan ikhwah yang baik?”

“Ukhti…pernahkah Anti bercita-cita ingin mendapatkan suami ikhwan yang ideal, wajah yang manis, badan yang kekar, dengan langkah tegap dan pasti? Bukankah apa yang Anti pikirkan sama dengan yang para ikhwan pikirkan, yaitu ingin mencari istri yang solehah dan seorang mujahidah, kenapa tidak dari sekarang Anti mempersiapkan diri menjadi seorangan mujahidah yang solehah.”

“Ukhti…apakah kebiasaan buruk wanita lain masih ada dan hinggap dalam diri Anti, seperti bersikap pemalas dan tak punya tujuan atau lama-lama nonton Televisi yang tidak karuan dan hanya kan mengeraskan hati sampai lupa waktu, lupa Bantu orang tua, kapan akan menjadi anak yang Birruwalidain, kalau memang itu terjadi jadi sampai kapan?, mulai kapan Anti akan mendapat gelar mujahidah atau akhwat solehah”

“Ukhti…apakah pandanganmu sudah terpelihara, atau pura-pura menunnduk ketika melihat seorang ikhwan dan terlepas dari itu, matamu kembali jelalatan layaknya mata harimau mencari mangsa. Atau tundukan pandangannmu hanya menjadi alasan belaka karena merasa berkerudung besar !?, ah.. jauhkanlah dari niat itu”

“Ukhti… hatimu dijendela dunia, dirimu menjadi pusat perhatian semua orang, sanggupkah Anti menjaga izzah yang Anti punya, atau sebaliknya Anti bersikap acuh tak acuh terhadap penilaian orang lain dan hal itu akan merusak citra akhwat yang lain. Kadang orang lain akan mempunyai persepsi di sama ratakan antara akhwat yang satu dengan akhwat yang lain, jadi kalo Anti sendiri membuat kebobrokan akhlak maka akan merusak citra akhwat yang lain, sanggupkah Anti menjaganya?”.

“Ukhti…dirimu menjadi dambaan semua orang. Bahkan sekelompokan preman dan brandal sekalipun tidak menginginkan istri yang akhlaknya bobrok. Tapi semua orang menginginkan istri yang solehah, siapkah Anti sekarang menjadi istri solehah yang selalu didamba-dambakan oleh semua orang?”

Selesai membaca, tak terasa Murobbiyah dan Mutarobbiyahpun mengeluarkan butiran-butiran halus dari matanya. Mereka menangis, meratapi dan muhasabah bersama dalam Liqo’atnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar