- Kamis, 29 Agustus 2013

Senja di Langit Kairo

--Senja di Langit Kairo

“Jangan marah ya?”

Hmmm, mungkin itu adalah kalimat terakhir yang dia ucap padaku. Atau memang benar yang terakhir? Ah, bedebah dengan semua itu. Hanya akan membuang waktu produktifku jika terus memikirkannya.

“Argggghhhh,... siapa lagi sih? Dari tadi ponsel nggak pernah berhenti berdering. Nggak tahu orang lagi sensi apa?”, gerutuku ketika mendapati samsung galaxy ungu itu dengan faseh melafalkan mother-nya Seamo.

Assalamu’alaykum, siapa ya?”, nadaku meninggi.

Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh, dek Zahra. Ini dengan Kak Arya. Adek bisa menemui kakak di taman fakultas sastra?”, lembut suara kak Arya mematikanku. Ceroboh sekali tak memeriksa siapa yang menelpon dulu.

“Oh, kak Arya... afwan, kak. Iya saya kesana sekarang.”

“Hati-hati. jangan lupa naskahnya dibawa.”

“Iya, kak. InsyaAllah.”

Setelah mengucap salam, Ku dengar dari sini Kak Arya langsung mematikan telponnya.

“ Haduhhhhh, bagaimana nadaku bisa setinggi tadi. Haaahhhh, malu banget. Sungkan rasanya harus bertemu beliau.” Celotehku sembari melambat-lambatkan langkahku menuju taman.
***

Samar kulihat kak Arya duduk di kursi taman sambil membaca buku. Di depannya ada dua botol softdrink kesukaanku. Aku semakin memperlambat langkahku, bahkan bisa dibilang mengeja langkah. Namun nyatanya aku tak bisa mengelak. Aku berusaha seramah biasa, meski nampak kaku.

Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh... i’m so sorry, sudah menunggu lama.”

Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh... iya nggak apa. Lain kali nggak perlu mengeja langkah. Bersikap biasa saja, selayaknya kau tak berbuat salah. Anggap saja aku sebagai teman sebayamu. Nggak perlu sehormat itu. Kita kan partner? Bukankah begitu?”

Aku hanya terdiam dan bengong seperti orang blo’on. Aku terheran-heran betapa beliau bisa memahami sedetail itu.

“Tak perlu menatapku seperti itu. Nih, pasti haus kan?”, tambahnya sembari membukakan sebotol softdrink dan memberikannya padaku.

Aku hanya tersenyum dan berterimakasih dalam hati. Jujur, hal tersebut semakin membuatku kaku. Entah kenapa, aku sendiri juga bingung.

“Dek Zahra sakit?”, dengan menatap tajam dia melempar tanya lirihnya padaku.

“Ah,... apa? E,... enggak. Alhamduillah saya sehat kok. Buktinya saya sekarang duduk di samping kakak tanpa kurang sesuatupun.”, jawabku bijak.

“Syukur kalau begitu. Bisa ditunjukkan naskahnya?”

“Oh, iya... silakan...”

Aku terdiam dengan sesekali meneguk softdrink. Kak Arya begitu saksama membaca naskah itu. Sambil sesekali menggaris-bawahi kata yang mungkin kurang pas di hatinya.

“Diksi yang bagus, rangkaian kata dan kalimat yang indah.”

Saking kagetnya mendengar perkataan Kak Arya, aku terbatuk. Softdrink yang kuminum muncrat membasahi pakaianku.

“Dek Zahra nggak pa-pa?”, Kak Arya menepuk-nepuk punggungku. Kemudian dia mengeluarkan sapu tangan dari tasnya dan menyodorkan padaku.

Aku masih saja mematung. Seperti nyawa ini tak berada dalam ragaku. Melihatku begitu, Kak Arya kemudian mengelap bajuku.

Sekali lagi dia bertanya, “Dek Zahra nggak pa-pa?”

Namun tiba-tiba embun hangat menetes perlahan dari ke dua mataku. Dan aku masih saja terdiam.

“Dek Zahra kenapa menangis? Apa ada kata atau sikap kakak yang melukaimu?”

Aku hanya menggelengkan kepala. Dalam hati aku menjerit. Kenapa bukan Hilmi yang memperlakukan aku bak putri seperti ini. Kenapa bukan dia yang bersikap lembut dan penyayang padaku. Kenapa bukan dia yang pertama kali memuji karyaku. Kenapa harus seseorang yang baru kukenal di Kairo ini. Kenapa harus seseorang yang bukanlah special di hatiku. Padahal sejak naskah itu baru selembar, aku sudah mengirimkan padanya melalui email. Beberapa hari yang lalu juga sudah aku kirimkan yang fix. Namun belum ada balasan darinya. Aku hanya berpikir positif saja. Mungkin dia sangat sibuk. Sehingga untuk sekedar membuka, membaca, dan membalas emailku, sulit dia lakukan.

Setelah sesak di hati ini berkurang, lidah ini baru bisa mengeluarkan kata meski dengan terbata.

“Maaf, Kak. Saya terharu. Padahal menurut saya naskah itu banyak celanya.”

“Yang lebih bisa menilai kan pembaca, Dek. Dan menurut kakak naskahmu sudah layak untuk diterbitkan. Ini kakak bawa dulu. Nanti akan kakak edit bersama Pak Arga. Mungkin minggu depan sudah bisa diproses bareng novel kakak.”

“Terimakasih, kak.”, aku tersenyum. Wajahku memerah, dan embun ini semakin deras mengalir. Aku tak percaya sebegitu mudahnya naskahku akan diproses. Padahal waktu di Indonesia dulu, sangat susah. Paling pol hanya dimuat di majalah, koran, mading sekolah, dan mading kampus. Mungkin karena kurang relasi dan kurang punya banyak waktu untuk menulis. Tiga tahun yang lalu aku memang hanya disibukkan dengan tugas kuliah dan organisasi. Rajin menulis, iya. Namun bukan menulis lepas. Semua serba ilmiah dan resmi. Kalaupun ada yang lepas. Itu hanya untuk event-event tertentu.

“Iya, sama-sama, Dek. Lagi rindu sama yang di Indonesia ya? Apa lagi ada something trouble?”

“Nggak kok, Kak.”

“Iya sudah. Terlepas ada ataupun tidak. Itu adalah privacy-mu. Kakak hanya akan andil di kehidupannmu dan naskah-naskahmu sekarang. Karena menjagamu adalah amanah.”

“Apa?”

“Ehm,.. tak usah dibahas. Ayo sekarang ke kantin. Sudah lapar, kan?”

Kak Arya bangkit dari duduknya dan menarikku menuju kantin. Sementara masih ada ribuan tanda tanya di otakku terkait kalimat-kalimat terakhirnya.

“Ah, masa bodoh. Biarlah sang waktu yang menjawabnya.”, kataku dalam hati.

Terkesan sungkan memang. Karena baru pertama kali ini kami makan berdua. “Astaghfirullah, semoga hati ini masih bisa menjaga. Masih bisa menganggapnya hanya sekedar kakak yang diamanahi oleh ayah untuk menjagaku.”, kataku dalam hati, sambil melahap sendok demi sendok soto ayam khas Lamongan Indonesia yang ada di hadapanku. Setelah selasai makan, kami kembali ke asrama masing-masing. Tentunya dengan agenda masing-masing pula.
***

Lagi-lagi aku terbangun oleh dering handphone-ku. Ku tengok, baru jam dua. Rasa kantuk ini seakan terus membiusku. Hingga semakin mengangkat my teddy bed cover. Beberapa menit kemudian, si ungu itu kembali berdering.

“hmmm, siapa sih? Ngganggu istirahatku saja.”, dengan setengah mata tertutup aku mencoba meraba siapa yang berani menelponku jam segini.

“Hilmi is calling”

Berat untuk mengangkatnya mengingat ini masih terlalu dini untuk berkomunikasi dengan lawan jenis. Namun lebih berat lagi membiarkannya terus menderingkan handphone-ku.

Assalamu’alaykum, ada apa? Ndak tahu sekarang jam berapakah?”

Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuhu. Inggih mangertos. Hanya ingin menguji tuan putri aja. Jam segini masih bermimpi nyenyak di atas spring bed apa sedang tersujud khusyuk di atas sajadah cinta .”

Sontak aku lansung terbangun, menengok jam, kemudian bergegas wudhu tanpa menghiraukan telponnya.
***

Pagi kembali bersua. Kali ini ia menyapa dengan gemericik hujan. Rinainya masih sama. Seperti saat masih di Indonesia. Dan sekali lagi membuatku selalu rindu. Ya, mama. Seorang yang tak pernah jemu melarangku berhujan-hujan ria. Meski aku sangat bandel dan selalu mencuri-curi betapa nikmatnya ketika air hujan itu jatuh tepat di wajahku. Bahkan sangat dalam terasa ketika tepat jatuh di bola mataku. “hmmm, ingin sekali rasanya mengulang kala itu. Mama, sebagaimana Allah mengalirkan rindu ini dalam hatiku, merasuk menyentuh relungku. Sedalam itu rindu itu menyeruak menusuk. Pedih. Karena mendapati mama tak ada di hadapku.

“Oh Allah, jam berapa sekarang?”, mataku terbelalak terpana melihat jam dinding tepat berada di jam 10.00.

“ Apa? Jam 10.00? mama, terlalu memikirkanmu di saat-saat seperti ini ternyata menyita hampir 30 menit kuliah structure-ku. Wah, what should i do?”, gerutuku sambil bergegas menuju kampus. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Ya, itu kalimat hampir selalu diulang-ulang oleh mama jika syaitan di sekelilingku mengajakku bermalas-malasan untuk kuliah.

Di depan kelas. Antara berani dan tidak. Tapi aku tidak ingin kehilangan kuliah ini barang sekalipun. Ini pertama kali aku telat, dan aku janji ini yang terakhir jua.

Assalamu’alaykum, “, aku buka pintu dengan rasa bersalah.

“Mohon maaf, bapak. Saya terlambat.”

“Iya, silakan duduk. Jangan terulang kembali. Saya tidak suka jika ada mahasiswa saya yang terlambat. Ok, mari kita lanjut lagi kuliahnya.”

“ Baik, pak”, jawabku dan teman-teman sekelas.
***

Mama is calling...

“Assalamu’alaykum, my sweety”, mama mendahului salam seperti biasanya.

Wa’alaykumussalam, tumben mama telepon. Biasanya ayah.”

“ Zahra nggak kangen sama mama? Padahal mama kangen banget sama Zahra.”

“ Nggak kangen gimana? Zahra kangen banget sama mama. Sampai-sampai Zahra telat kuliah gara-gara memikirkan mama. Melamunkan mama. Tapi sedih banget. Zahra tak mendapati mama di hadapan Zahra.”, ya aku terisak dalam kerinduan ini.

“ Zahra, Zahra menangis? Nggak boleh cengeng, nak. Pekan depan mama ke Kairo.”

“ Benarkah, ma? Kenapa tiba-tiba kesini? Ayah ada meeting kah disini?”

“ Nggak, mama yang meminta kesana. Menengok anak mama yang paling cantik.”

“ Ah, mama. I’ll wait for you. Love and miss you so as always.”

“ Me too, my sweety. Take care there. Give my best regard to Arya.”

“ Iya, salam buat ayah ya, ma. Assalamu’alaykum,

Wa’alaykumussalam.”
***

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Setelah menjalani setahun double degree dan  setahun S2-ku, mama dan ayah baru menyempatkan datang ke Kairo untuk menjengukku. Tentunya aku sangat bahagia. Sangat-sangat bahagia. Serasa langit Kairo pun iri melihat bahagiaku.

Aku dan Kak Arya sudah 30 menit di bandara. Namun mama dan ayah belum nongol juga.

“Duh, kok belum datang-datang sih. Kan katanya sebelum sebelum ashar waktu Kairo udah nyampe.”, gelisahku sambir mondar-mandir di depan kak Arya yang sedang duduk di kursi tunggu.

“Sabar, dek. Mungkin tadi pesawatnya telat.”

“Tapi, Kak. Mama nggak bilang apa-apa tadi. Berarti kan lancar-lancar aja.”

“Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi barang sedetik di depan kita Dek. Sabar ya...”

Aku menimpalinya dengan tersenyum. Dan berdoa dalam hati semoga mama dan ayah selalu dalam lindunganNya.

Beberapa menit kemudian.

“Zahra....!”, teriak mama dari kejauhan sambil melambai-lambaikan tangan.

“Tuh Dek, mama dan ayahmu sudah sampai.”, kata Kak Arya seraya berdiri menyambut kedatangan mama dan ayah.

“Alhamdulillah, kak”, jawabku sumringah.

“Assalamu’alaykum, mama, ayah”, sapaku sembari mencium tangan mama dan ayah, juga melayangkan peluk keduanya. Kemudian disusul Kak Arya dengan salam dan jabatan tangan.

“Gimana nak Arya, Zahra bandel nggak?”, kata ayah mengawali pembicaraan dalam perjalanan menuju asramaku.

“Alhamdulillah, Pak. Nggak bandel kok. Cuma nakal aja.”, jawab Kak Arya sambil terus memacu mobilnya.

“Yah, Kak. Saya kan nggak nakal.”, gerutuku di pangkuan mama.

“Maaf ya nak Arya, kami merepotkan nak Arya terus.”, tambah mama sambil mengelus-elus jilbabku.

Kak Arya memang sudah seperti keluarga kami. Meski tidak terikat aliran darah, namun dia sudah seperti kakakku sendiri.

Setelah sampai di asramaku, mama membuka oleh-oleh dari Indonesia dan membaginya buat kak Arya. Mama juga mengajak Kak Arya makan bareng bersama kami untuk pertama kalinya di bawah langit Kairo. Aku melihat betapa kelembutan dan kasih sayang mama terpancar dari setiap geraknya menyiapkan makan bersama. Sederhana. Namun cukup menghidupkan momen yang luar biasa dan dalam makna.
***

Kebetulan banget kuliahku libur seminggu. Aku bisa menemani mama dan ayah jalan-jalan menyusuri lorong waktu di Kairo. Menikmati sepotong senja di langit kairo bersama anak semata wayangnya. Aku.

“Sayang, setahun lagi lulus S2 kan?”, tanya mama yang terlihat ribet dengan belanjaannya.

“InsyaAllah ma, mohon doanya.”, jawabku sambil meraih barang-barang mama. Sementara ayah dan Kak Arya sedang asyik duduk selonjoran di dekat danau.

“Mau langsung nikah apa gimana?” tambah mama.

“Mama,...”

“Lho kenapa? Pertanyaan mama salah? Bukannya sekarang sudah usia 22. Eh maksud mama sebentar lagi 22.”

“Belum tahu ma. Calonnya belum ada.”, jawabku bercanda.

“Itu putranya Kang Salim, yang dulu teman SMA-mu. Sekarang udah jadi engineer lho. Banyak proposal masuk, tapi denger-denger pada ditolak.”

“Hah? Mama kenapa jadi update berita tentang tuh anak? Nggak penting kali ma.”

“Denger-denger lagi ya, dia sudah punya calon sekarang S2 di luar negeri. Makanya pada ditolak.”, tambah mama.

“Haduh mama kenapa jadi ngobrolin dia sih? Bukannya dulu mama nggak suka sama dia? Sampe-sampe...”, belum sampai selesai kalimatku mama sudah menimpalinya dengan ocehannya.

“Itu dulu karena kalian masih kecil. Lagi pula dalam islam itu tidak ada yang namanya pacaran. Makanya mama melarang kalian. Toh biarpun dilarang masih komunikasi kan?”

“Mama...”

Bahkan mama tak memberiku kesempatan untuk membela diri. Justru berjalan meninggalkanku yang masih mematung kesal mendengar pernyataan mama. Tapi tak ada pilihan lain. Akhirnya aku mengejar mama sambil sempoyongan membawakan belanjaan mama.

Senja belum lama pergi. Namun rasanya sudah berjam-jam berlalu meninggalkan kami. Empat pasang mata 
ini rupanya telah mulai lelah. Hingga hanya Kak Arya lah yang masih melek karena tanggung jawabnya menyetir. Tapi rasa kantuk itu tak dipungkiri menyelimuti ruas-ruas mata kak Arya. Terbukti beberapa kali kak Arya bersikeras menahannya untuk menguap. Meski hanya terlihat samar karena aku sendiri sudah setengah sadar.
***

“Surprise...!!!’’, mama dan ayah sengaja mempersiapkan semua ini ketika aku bangun unuk tahajud.

“Barakallah, anakku”, ucap ayah sambil memberikan sebuah bingkisan. Yang kemudian memeluk dan melayangkan kecupan di keningku.

“Semoga Allah mempermudah langkahmu menuju kebaikan, nak. Barakallah, semakin berkurang jatah hidupmu, harus semakin lebih baik dalam segala hal. okey, dear?” , bisik mama sambil memeluk dan menciumku.

“Ini kado dari mama.”

“Hah? Ini apa ma? Besar banget!”

“Udah, dibuka nanti aja. Tahajud dulu gih.”, jawab mama dan ayah serempak.

“22 tahun. Ya, jatah hidupku berkurang lagi ya Rabb.”, kataku dalam hati, kemudian berlalu mengambil air wudlu.


Seperti yang disarankan mama dan ayah, seusai tahajud kubuka kado dari mereka.
"Wah, mama. tahu banget kalau lagi kangen sama teddy bear.", ocehku sendiri di atas ranjang ketika membuka kado dari mama.

"Menghafal quran adalah investasi jika suatu saat mata sudah tak mampu melihat huruf-huruf al quran.", tulis ayah dalam selembar kertas yang tertempel di bungkus dalam kado itu.

"Alhamdulillah, subhanallah, ternyata ayah masih ingat apa yang kulirik setahun yang lalu ketika ke toko buku bersama ayah. ya, qur'an hafalan dengan sampul warna marun. laksana langit senja yang selalu elok di tengah cakrawala."

Kucium Qur'an itu dan kudekap dengan memajam mata. Dalam hatiku berkata, "Ayah, Zahra janji akan mewujudkan mimpi ayah, yang selalu ingin putri sematawayangnya menjadi hafidzah."
***

Sore yang luar biasa elok. Menghiasi launching Novelku dan Novel Kak Arya di Gedung Bahasa. Di akhir acara Kak Arya menyampaikan sebuah kalimat yang membuatku surprise. 
"Ini adalah kado terindah sepanjang sejarah hidupmu, dek. Akhirnya novelmu terbit juga. Barakallah, ini kado dari kakak.", ucap Kak Arya sambil menyerahkan sekotak kado berbalut bunga-bunga warna ungu kalem.

"Wah, kak, kok tahu? Jazakallah khair. ini berkat kakak juga. Semoga menjadi langkah awal untuk menjejakkan novel-novel berikutnya dalam sejarah hidup saya."

"Aamiin", itulah kata terakhir yang keluar dari Kak Arya sebelum akhirnya kami terpisah.
***

Seminggu telah berlalu. Entah mengapa rasanya ada yang kurang. Meski sepertinya aku telah mendapat semua di sini. Kedatangan mama dan ayah, menghabiskan waktu bersama mereka, menikmati senja di langit Kairo yang romatis. Teddy bear dari mama, Qur'an hafalan dari Ayah, Launching Novelku, juga sepaket Jilbab warna-warna kesukaanku dari kak Arya. Rasanya masih hambar.

"Ah, masak lupa lagi?"

"Nggak sms, nggak telpon, nggak chat, nggak ... ah, dasar! Pasti begitu. Tahun kemarin aja, paling akhir. dengan alibi, "yang terakhir itu yang paling berkesan." arghhh,"

"Ok, lupakan soal itu. dan bersiap ke kampus.", kataku menyemangati diri.

Ketika kubuka pintu kamarku, di depan pinta ada bingkisan lumayan besar dan berat. Aku penasaran dari siapa. Tapi yang jelas teralamatkan untukku. Karena takut telat, akhirnya bingkisan itu hanya aku amankan ke dalam.
***

Aku hampir lupa dengan bingkisan itu. Setelah seharian berkutat di kampus. Revisi proposal Thesis yang sempat tertunda seminggu karena Dosen pembimbingku ke London. Untungnya tak taruh dekat pintu, jadi ketika pintu kubuka pertama yang kulihat ada bingkisan itu.

"Astaghfirullah, ternyata dari Hilmi. Dan dikirimnya malah bebarapa hari sebelum hari itu. Namun karena paketan ke luar negeri dan dia tidak memakai yang kilat makanya baru nyampe."

"MasyaAllah, ini sengaja apa sengaja. 3 Buku tentang Muslimah, Fiqh Wanita, dan -Buku Bahagianya Menikmati Pernikahan-" , omelku dalam hati.

"Kamu harus menuntaskan dan membuat resensinya sebelum wisuda."--Hilmi

"Apa-apa-an ini? Trus apa juga maksudnya Buku merah berbunga ini? Aduh, selalu saja. menambah pekerjaan. Tapi nggak apa dah, hitung-hitung menambah kemampuan meresensi-ku.", kataku pada diri sendiri kemudian melayangkan pesan singkat ke Hilmi.

"Jazakallah khair atas buku-bukunya yang luar biasa MENYIKSA" --Zahra

"Waiyyaki, sekaligus itu untuk mengetes-mu."--Hilmi

"Maksudnya?"--Zahra

"Tunggu saat wisuda S2-mu."--Hilmi

"Ah, tambah nggak ngerti maksud pembicaraannya. Ya, sudahlah.", kataku sambil bersiap untuk istirahat.
***

Masa selalu saja cepat melintasi lorong-lorong waktu. Tak pedulia jiwa-jiwa itu masih tertidur pulas atau berjalan bersamanya untuk melintasi lorong-lorong itu. Ini untuk ke dua kalinya mama dan ayah ke Kairo . Dan untuk pertama kalinya membawa keluarga besar dari Indonesia. Terlebih ada sebuah keluarga yang mama dan ayah bawa juga, Keluarga Hilmi.

Di hari bersejarah ke-dua. Wisuda S2, ternyata merupakan hari bersejarah yang paling bersejarah dalam hidupku. Tak pernah terpikir sebelumnya. Tak pernah terbayang dalam angan. Karena aku hanya berusaha memantaskan diri untuk menjadi the perfect muslimah bagi calon suamiku.

Meskipun ada yang menyebut diantara kami ada hubungan. Tapi kami tak pernah merasa demikian. Secara Dia ikhwah dan paham agama. Yang hanya akan berpacaran setelah nikah. Dan aku menyepakatinya. Tapi yang namanya jodoh kan ditangan Allah. Bisa jadi orang yang sangat dekat dengan kita bukan jodoh kita. Justru terkadang orang yang tak pernah kita kenal sebelumnya tiba-tiba muncul dan ditakdirkan berjodoh dengan kita. Wallahu a'lam.

Aku hampir tak mengerti maksud mama dan ayah membawa keluarga Hilmi. Keluarga yang ternyata sangat dekat dengan keluargaku setelah keberangkatanku ke Kairo. "Bodoh, kenapa aku tak tahu sama sekali.", pikirku.

Ah, memang, skenario Allah siapa yang tahu. Seketika aku teringat kata-kata mama saat jalan bareng di Kairo sore itu. Tiba-tiba teringat SMS Hilmi, dan buku-buku pemberiannya. Terlebih buku merah berbunga itu.

"Ah, rupanya begini caranya.", hatiku serasa memberontak

"Tapi masa' iya?", Ah, hati ini belum bisa percaya.

"Resensi-mu bagus. Dapat nilai A juga dari Kak Arya.", kata Hilmi yang membuyarkan lamunanku.
"Terimakasih telah mengerjakannya sempurna. Dan inilah jawabannya. Pas wisuda S2-mu. ", tambahnya kemudian berlalu menuju keluarga kami.

Berasa speechless mendengarnya. Tapi jika mama dan ayah merestui dan Dia memang menakdirkanku menjadi istrinya, ya Wallahu a'lam. InsyaAllah ini yang terbaik.

Setelah acara wisudaku, kami, dua keluarga makan-makan dan disitulah semua rahasia terbuka. Secara terang-terangan Hilmi memintaku dari mama dan ayahku. Dan akan melangsungkan pernikahan kami di Kairo juga setelah mendapatkan jawaban dariku.

Entah mengapa air mata ini tertetes dalam tundukku. Kemudian dari hati ku berbisik pada mama, "InsyaAllah jika memang Hilmi jodoh Zahra, Zahra bersedia ma,"

"Alhamdulillah, Allahu Akbar", sontak Ayah yang mendengar bisikanku diikuti ucapan syukur dan takbir dari seluruh anggota keluarga.

untuk ke sekian kalinya menyapa senja di langit Kairo
memandangmu dengan tersenyum
berharap suatu saat akan ada kisah bersama seseorang dibawahmu
dan sekarang
aku mendapatinya
bersamamu, Hilmi
di hari penghalalan cinta kita.
--Senja di Langit Kairo


Sejuta kisah bersama Senja di Langit Kairo
Cerpen yang dimulai saat masih Maba, yang semula di setting untuk menjadi sebuah novel. Namun karena keterbatasan waktu dan mood baik, akhirnya kuselesaikan menjadi cerpen.

9.53 l 30 Agustus 2013
@KamarSahabat Ruhul Jadid 1011
*risk*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar