- Sabtu, 30 Maret 2013

Melukis Pelangi

Teringat masa kecilku
Kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu
 Buatku melambung...

hidup ini ibarat melukis pelangi
bagi jiwa-jiwa pembelajar yang haus akan ilmu
Lirik lagu yang sukses dibawakan oleh ADA BAND ini memang benar-benar membuatku melambung tinggi jika mengingat masa-masa indahku sewaktu kecil. Setiap detik terasa berjalan begitu cepat. Bahkan teramat cepat membawaku tumbuh dewasa. Ingin rasanya masih selalu bisa bermanja-manja di pangkuan bunda. Ingin rasanya tetap merengek minta dibelikan sesuatu oleh ayah. Ingin rasanya selalu menang dari kakak-kakakku, walaupun akulah yang kalah.
Sekarang, usiaku sudah 18 tahun. Aku telah menyelesaikan beban study-ku di SMA. Dan bersiap untuk menghadapi jenjang selanjutnya. Setahun yang lalu, ketika teman-temanku sibuk membicarakan tentang kuliah. Mungkin akulah yang sangat merasa minder. Saat setiap orang yang kutemui menanyakan pertanyaan yang sama, ” Habis ini mau nerusin kemana?”, aku hanya tersenyum dan menjawab, ” Belum tahu nantinya bagaimana.”. Terkadang justru bunda atau ayah yang sigap menjawab, ” Biar kerja saja. Tidak ada biaya untuk menguliahkannya”. Aku hanya bisa pasrah. Inginku aku kuliah. Tapi jika keadaan memaksaku untuk kerja dahulu. Aku ikhlas. Kutabah-tabahkan hatiku di hadapan ayah dan bunda.
Namun aku bukanlah seorang yang hanya duduk terpaku menunggu hujan yang tumpah dari langit. Aku berusaha mencari-cari info tentang PTN dan beasiswa. Hampir setiap hari aku ngikut temanku ke ruang BK. Berharap ada sesuatu yang aku dapat. Seminggu sekali Bu Ika, salah satu guru BK juga masuk ke kelas untuk memberikan info dan motivasi. Beliau benar-benar menyihirku dengan kelembutannya, memotivasiku bahwa tidak ada yang tidak mungkin selama kita mau berusaha.

Seiring berjalannya waktu, aku terinspirasi oleh perjuangan kakak kelas demi kuliahnya. Hal itu membuatku semakin bangkit dan optimis, ”Jika orang lain bisa, kenapa aku tidak?”. Sejak saat itu, aku selangkah lebih maju. Aku sudah mulai berani menjawab pertanyaan orang-orang dulu, ” Pados beasiswa rumiyin, menawi mboten angsal, nggih nyobi kuliah nyambi kerja.”
8 Mei 2011, telah datang masa dimana kelasku diberi kesempatan untuk untuk melakukan pendaftaran online di ruang TI.
” Nanti kelas kamu. Tolong dipersiapkan semua. Beritahu teman-teman lainnya!”, kata Pak Ferdy yang kebetulan lewat depan ruang kelasku.
” Iya, pak. Akan saya sampaikan. Terimakasih atas info yang bapak berikan.”, jawabku sembari tergesa karena takut terlambat menginjakkan kaki di lapangan. Walau aku sudah sering mendapat bonus push-up dan lari keliling lapangan jauh lebih banyak dibanding teman-teman.
” Non, sudah foto belum? Dalam soft-file saja, kan nanti kita online.”, tanya Defi di sela-sela obrolan kami.
” Ya, benar itu. Yang belum buruan foto, setelah olah raga kita meluncur ke ruang TI. Sudah ditunggu katanya.” jawab Sita.
” Hayoo, ditungggu siapa?”, gurauku merubah keseriusan mereka menjadi tawa yang membahana lepas dalam lapangan.
” Husssttt, jangan keras-keras. Lihat itu! Pak Arif sudah berpose serius.” tambahku.
Sejurus kemudian, peluit Pak Arif berderu melengking menggugah kesibukan kami semua untuk segera berkumpul memulai kegiatan. Seperti biasa, Pak Arif mengabsen kami dan memotivasi, sekaligus mengingatkan kami bahwa ujian nasional di depan mata. Akan merugi bagi siapa saja yang tidak mempersiapkannya dengan matang. Karena hal itu akan menjadi salah satu kunci untuk membuka pintu masa depan. Masa yang tentunya akan jauh lebih sulit dari ini.
***
” Kalau sudah siap segera ke ruang TI.”, amanah setiap guru BK yang berlalu lalang di luar kelas. Mereka disibukkan oleh kami semua yang akan melalukan pendaftaran online untuk jalur pertama, SNMPTN-undangan. Baik yang reguler maupun yang bidik misi.
Untuk kelasku, hanya ada 11 anak yang mengikutinya. Kami pun kompak, saling bekerja sama layaknya kesebelasan sepak bola. Dengan mengucap basmalah kami melangkah masuk ruang TI. Dinginnya AC menambah nervous-nya hati kami. Setelah duduk di muka komputer. Ku hela napas panjang. Kupejamkan mata seraya berdoa, semoga Allah melancarkan hajad ini dan meridhoinya. Aku tak tahu bagaimana dengan teman-teman. Tapi kurasa mereka juga melakukan hal yang sama.
” Aduh, bagaimana ini? Aku tidak tahu tahun kepemilikan tanah keluargaku.”, keluhku pada Yula dan Susan. Karena kebetulan kami bertiga terdaftar sebagai pelamar beasiswa bidik misi.
” Aku juga tidak tahu. Aku mau telepon ibuku.” jawab mereka bergantian.
” Aduh, di rumah tidak ada HP. Ayah dan bundaku kurang mengenal teknologi.”
” Coba hubungi tetanggamu! Siapa tahu ada yang bisa membantu menanyakannya pada nenek atau bundamu.”, tambah Susan.
” Iya, memang hanya itu yang bisa kulakukan sekarang.”
” Semuanya harus dilengkapi ya. Diperiksa kembali jika sudah selesai untuk pengisian biodata. Terutama yang bidik misi.”, nasehat Bu Inda.
” Iya, bu.”, jawab kami serempak.
Semua yang ku-sms tidak kunjung membalas. Aku coba mengingat tahun kelahiran alm. Kakekku, sebagai pemilik tanah keluargaku. Aku terus mengingat-ingat, dan akhirnya sedikit memberi titik terang. Aku tersenyum-senyum sendiri karena bahagianya. Setelah selesai mengisi formulir biodata. Kami mulai meng-upload foto. Selanjutnya meng-upload piagam atau sertificat bagi yang memilikinya.
” Risa punya piagam atau sertificat nggak?”, tanya Pak Ferdy yang kebetulan mengunjungiku.
” Punya, Pak. Tapi di kelas.”
” Diambil sana. Saya tunggu.”
” Baik, pak.”
Aku segera ke kelas untuk mengambilnya. Bu Ida terlihat sedang memberikan catatan sub-bab pertidaksamaan logaritma dan memberikan soal-soal latihan ujian nasional. Setelah mendapat ijin masuk. Aku segera mengambil map biruku dan ijin keluar kembali. Aku sempat dijadikan canda oleh teman-teman. Beruntung Bu Ida ada di pihakku. Beliau justru mendoakan dan menyemangatiku di depan teman-temanku. Setelah keluar aku segera bergerak cepat kembali ke ruang TI. Samar-samar masih terdengar gurauan teman-temanku yang ada di dalam kelas tadi. Dalam hati aku tersenyum. Mereka benar-benar membuatku bersemangat.
” Mana, Ris?”, tanya Pak Ferdy.
Ini, Pak.”
Pak Ferdy segera merengkuh map dari tanganku. Beliau memilah-milah piagam dan sertificat-ku. Membuka pengait dengan susah payah dan membawanya kepada Pak Dika untuk di-scan.
” Ditunggu dulu ya. Nanti mintalah ke Pak Dika.”
” Iya, Pak. Terimakasih.”
Sembari menunggu hasil scanning, aku sempatkan untuk berkunjung ke komputer teman-teman. Aku lihat teman-teman yang reguler sudah mulai memilih PTN dan prodi di masing-masing PTN.
” Risa...”, panggil Pak Dika.
” Iya, pak.”
” Wah, flashdisk kamu ternak virus ya?”
” Ah, yang benar saja, pak. Tadi tidak terdeteksi kok.”
” Ya sudah, ini tinggal di-upload saja.”
” Iya, pak. Terimakasih.”
Aku kembali duduk di tempatku dan mulai meng-upload piagam dan sertificat-ku. Walau tidak terlalu membanggakan. Hanya dalam tingkat kabupaten, karisidenan dan tingkat sekolah. Tapi ku harap bisa membantuku untuk lulus seleksi.
” Maaf, Pak Dika, file-nya tersembunyi semua. Virusnya membludak ini.”, rengekku.
Pak Dika menghampiriku, dan akhirnya beliau membantu meng-upload-kannya.
” Sudah, tinggal ditunggu saja.”
” Iya, pak. Terimakasih.”
Sudah berjam-jam aku menunggu, tapi satu piagam saja belum kelar. Sementara ke delapan temanku sudah mulai meninggalkan ruang TI satu per satu. Tinggal aku, Yula, dan Susan. Yula ada masalah dengan pilihan prodi-nya. Sementara aku dan Susan masih meng-upload piagam.
” Astagfirullah, ya Allah, punyaku lemod banget, Ris.” teriak Susan dari seberang.
” Ya, kamu masih beruntung, San. Hanya lemod. Sini koneksinya putus nyambung-putus nyambung.”
” Ya Allah, bagaimana ini, San? Koneksi terputus.”, tambahku.
” Coba pindah sini.”
Aku coba pindah komputer. Tapi tidak lebih baik dari yang tadi. Aku menguatkan hatiku untuk bertahan. Berharap keajaiban datang kepadaku. Alhamdulillah, satu piagam sudah ter-upload. Menuju piagam ke dua. Astagfirullah, aku sudah melewatkan banyak jam pelajaran.
” Ris, bagaimana? Sudah selesai?”, tanya Bu Ika yang baru datang. Beliau adalah guru BK kelasku.
” Belum, Bu. Ini justru tidak terkoneksi dengan internet.”
” Sabar, sayang. Biar dilihat Pak Dika dulu.”
” Hmm, hampir seharian saya di sini. Saya lanjutkan di warnet luar saja, bagaimana, Bu?”, kali ini aku benar-benar merengek. Air mataku hampir saja terjatuh. Raut mukaku memerah. Aku mengeluh di pangkuan Bu Ika. Susan pun sama. Hanya dia masih bertahan pada tempatnya. Berharap keajaiban datang juga padanya.
” Aduh, kok menangis ini, bagaimana?”, ledek Bu Enggar.
” Lha, bagaimana? Internet-nya tidak bisa begitu.”
” Sudah-sudah, nangis beneran, repot nanti.”, kata Bu Ika.
” Sini, kamu lanjutkan di laptop saya saja.”, tawar Pak Ferdy memberi solusi.
” Alhamdulillah, sana flashdisk-nya diberikan Pak Ferdy. Nggak usah nangis.”, hibur Bu Ika.
” Senyum ta?”, tambah Bu Enggar.
Aku hanya tersenyum dan memberikan flashdisk-ku pada Pak Ferdy. Spontan Bu Enggar berdiri dan memberikan kursinya untukku. Dalam hati aku mengucap syukur alhamdulillah.
” Terimakasih ya, Bu Enggar.”, ucapku malu-malu.
” San, kamu bagaimana?”, tanya Bu Ika.
” Tidak tahu, bu. Ini juga tidak bisa.”, jawabnya.
” Kamu ambil laptop ibu di ruang BK saja. Biar cepat.”
” Baik, bu.”
Akhirnya Susan pergi ke BK bersamaku. Sementara Yula kembali ke kelas dan mengabaikan kesalahannya. Karena sudah terlanjur tidak bisa diganti. Sebagai pelamar beasiswa bidik misi, seharusnya hanya boleh memilih satu PTN dengan dua prodi dalam PTN tersebut. Tapi dia memilih dua PTN dengan dua prodi untuk PTN pertama dan satu prodi untuk PTN kedua. Ketika itu dia baru sadar kalau dia keliru. Tapi mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Dia hanya bisa berharap hidayah dari Allah datang untuk menolongnya.
***
Benar yang kuperkirakan. Aku hanya mengikuti pelajaran olah raga saja. Selanjutnya enam jam mata pelajaran yang kesemuanya masuk ujian nasional program IPA, kukorbankan demi untuk mendapatkan satu kunci yang semoga bisa membukakan pintu masa depan, setelah pintu kelulusan terbukakan. Aku memang sempat menaruh kecewa. Tapi sekali lagi Bu Ika menghiburku, ” ini juga demi kebaikan masa depanmu, Ris. Saya kira bapak/ibu guru memahaminya. ”
Seusai sholat dzuhur, aku menyempatkan diri untuk memberitahu wali kelasku, Bu Rita. Yang kebetulan beliau akan melaksanakan sholat dzuhur.
” Ibu, jadinya saya di ITS.”
” Oh, iya tidak apa-apa. Bagus itu, jurusan apa? Statistik?”
” Iya, Ibu. Saya jatuhkan pilihan saya pada statistika ITS. Mohon doa restu ibu.”
” InsyaAllah, Ris. Kamu juga, mintalah pertolongan hanya pada Allah SWT. Karena Dialah yang punya segalanya. Senantiasa mendekatlah padaNya. Terutama dalam waktu-waktu yang ijabah.”
” Iya, Ibu. Terimakasih.”
***
Waktu berputar bak angin topan. Secepat kilat membawa kami pada hari dimana kami semua, siswa-siswi SMA/SMK/MA secara nasional berperang dengan puluhan soal dalam ujian nasional, 18 April sampai 21 April 2011. Kali ini Depdiknas menyediakan enam stamp soal yang berbeda. Lima kode diujikan, satu kode sebagai cadangan. Kami merasa dijadikan kelinci percobaan. Karena semasa SMP dulu, pelajaran IPA dimasukkan dalam ujian nasional, padahal sebelumnya tidak. Sekarang ada enam stamp soal berbeda, sedang tahun kemarin hanya dua stamp soal. Tapi jika kami mau berpikir idealis. Sesungguhnya semua itu dilakukan demi kebaikan kita bersama dan demi peningkatan mutu pendidikan Indonesia. Tapi tetap saja ada oknum-oknum tertentu yang menyiasatinya dengan kecurangan, seperti halnya mencontek. Hal itu sudah bukan menjadi rahasia lagi. Padahal jelas-jelas mencontek adalah suatu bentuk kecil dari korupsi. Dan hal itu bisa saja merusak moral kami semua sebagai penerus bangsa. Tapi semoga semua disadarkan olehNYa, bahwa itu bukanlah hal yang baik untuk dilestarikan. Bahwa jika kami mau berusaha, belajar, dan berdoa, serta percaya bahwa Allah SWT selalu bersama kami, menolong kami dalam setiap hal yang kami lakukan. InsyaAllah semuanya akan menjadi mudah.
Empat hari menjelang ujian, aku harus berperang dengan sakitku. Aku benar-benar drop kala itu. Tapi aku beruntung, ada Bu Ika yang berkenan menelponku hanya untuk memotivasi, menasehati, dan menghiburku. Aku sangat berterimakasih pada beliau. Beliau mengingatkanku pada seorang ibu yang begitu perhatian padaku saat SMP. Mereka memiliki kemiripan. Walaupun Bu Ika baru aku kenal saat aku sering ke ruang BK. Tapi aku merasa seperti sudah mengenalnya lama.
Pagi bukanlah sekedar potongan waktu. Tapi pagi adalah sumber semangat untuk menjalani satu hari, yaitu hari ini. Bunda telah menyiapkan segala keperluanku. Mungkin karena aku sakit, bunda lebih mengkhawatirkan diriku. Walau ujian dimulai pukul 08.00 WIB, tapi kami berangkat lebih dini. Kami setiap harinya akan melaksanakan sholat Dhuha, sholat hajad, dan sholat taubat secara berjamaah di Mushala sekolah. Berharap hidayah dari Allah datang untuk menolong kami semua.
Walau harus berjuang dalam keadaan sakit, tapi alhamdulillah semua berjalan lancar. Sekarang hanyalah doa yang bisa kami haturkan sebagai penyempurna usaha kami. Berharap keindahan yang Dia janjikan akan datang.
***
Waktu benar-benar tidak lelah berputar, meski jiwa-jiwa yang mengikutinya satu per satu memudar. Senin, 16 Mei 2011, serempak di berbagai sekolah se-Indonesia akan mengumumkan lulus atau tidaknya siswa-siswi mereka. Sejak pagi, banyak sms dari teman-teman terkait hal tersebut. Semua mengharap kabar gembira. Begitu juga denganku. Tapi hatiku sudah yakin. Sekolah kami pasti lulus 100%.
Tepat pukul 10.00 WIB, banyak sms masuk yang mengabarkan, ” Alhamdulillah, lulus.”
Hati kami tidak serta merta tenang. Karena ada yang lebih membuat kami was-was dibanding kelulusan. Dimana hal itu kan menjadi titik awal perjalanan kami. Titik awal yang kan mengubah hidup kami menjadi lebih baik. Ya, tentunya dengan belajar di jenjang selanjutnya. Mendalami apa yang pernah kami dapat, mengembangkan, serta menyempurnakannya dengan ilmu-ilmu baru yang kan kami peroleh. Karena sejatinya hidup itu adalah untuk belajar. Dan sejatinya ilmu jua pun tak pernah mati. Ia akan terus bersama jiwa-jiwa pembelajar dan penebar. Sebagaimana sebuah pengalaman mengatakan, bahwasanya ketika ilmu itu kita bagi kepada orang lain, maka Allah akan mengalirkan kembali ilmu itu pada kita lebih dari apa yang kita bagi pada mereka. Hingga darinya kita mampu melukis pelangi-pelangi nan indah merona dalam dunia dan akherat kita. Wallahu’a’lam bisshawab.

Satu titik yang mengawali jejak kita sebagai sang pembelajar, akan menjadi kalimat-kalimat bermakna nan manfaat sepanjang kisah kita dalam melukis pelangi. Dalam perjalanan menuju cinta-Nya yang Abadi.
Kolong langit, 23.05, Jumat, 12 Rabiul Akhir 1434 H
-Riskha Tri Oktaviani-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar