- Sabtu, 15 September 2012

Surga di Penghujung Ramadhan

laksana bidadari, kau begitu lembut mempesona...


            Aku bercengkrama dengan jingganya sang senja. Sebelum hujan turut bermain dan beriak menjadi genangan. Berlari menembus semak. Memacu derap pada lari bertelanjang kaki. Terjamah duri pada geliat yang tak terperi. Ya, jingga masih jingga, tapi kini tak lagi senja. Dibawa awan yang meriak hujan, membasuh luka pada yang nista.
            Perlahan, ya secara perlahan aku mulai merasakan butiran air hujan itu jatuh menyentuh ubun-ubunku. Hela nafasku seakan memanggil angin yang dengan sepoi menghampiriku. Aku hanya terdiam, dengan sesekali menengadah ke langitNya.
            Subhanallah, masih bisa kurasakan segarnya hujanMu. Masih bisa kuhirup sejuknya udaraMu bersama rintiknya hujan yang menggelitik relung. Entah kenapa aku ingin berlama-lama menikmatinya. Kubiarkan basah menyelinap, merayap hingga ke ruas-ruas tubuhku. Tak peduli teriak itu menyeruku. Yang penting segala penat ini menghilang, larut bersama air yang menggenang.
            “Via,...”, entah kenapa nama itu selalu membayangiku. Nama seorang gadis yang selama 19 tahun ini aku mengenalnya dekat. Baru setahun inilah dia jauh, menghilang ke belahan dunia lain. Demi sebuah obsesinya, yaitu kuliah. Tapi aku yakin, kuliah bukan hanya sekedar obsesinya. Tapi itulah salah satu bentuk pengabdiannya terhadap Sang Pemilik Dirinya. Aku tahu, semua itu dia lakukan demi kebahagiaan keluarganya.

            Via kecil yang ceria. Yang selalu membuatku terpesona. Dalam setiap geraknya memancarkan keindahan yang tak kutemui di antara gadis seumurannya.
            Via yang sedari kecil sudah disuguhi dengan pekerjaan kuli. Sama sekali tak membuat kecantikannya sirna. Justru cantiknya semakin berbinar seiring bertambahnya beban di pundaknya. Dia tak pernah mengeluh lelah. Dia tak pernah menampakkan air matanya. Sekalipun beban itu ditambah, manis senyumnya masih membuana.
            Meski Via hidup di antara keluarga yang sederhana. Bahkan bisa dibilang keluarga tak punya. Namun kepribadiannya sungguh luar biasa. Nilai-nilai agama telah mendarah daging dalam dirinya. Otaknya yang brilian juga tak kalah membuat teman-teman sepantarannya mengaguminya. Dan satu hal yang membuat setiap  orang menyeganinya, adalah sifat tawadhu’ yang dia punya.
            “Maha suci Allah yang menciptakan dirimu sebegitu sempurnanya, Via. Hingga hatiku yang lemah ini sempat tertaut padamu.”, kataku dalam hati sembari menghangatkan diri dengan secangkir kopi yang diseduh ibuku.
            Ingatanku kembali pada Via. Ya, aku masih mengingatnya dengan jelas. Perjuangannya ketika ramadhan lima tahun yang lalu. Saat kekeringan melanda desanya. Dia harus mencari air di sumber air yang jaraknya bisa dibilang jauh. Sepulang tarawih dan mengaji, dia membantu ayah dan ibunya mencari air. Dia tak pernah merasa malu, ketika harus mendorong gerobak dan mengangkat kaleng air yang besar-besar. Dia memang wanita. Tapi dia bukanlah wanita yang biasa.
            Berpuluh-puluh kaleng air dia dapatkan setiap malamnya. Hingga pasokan air di rumahnya tak pernah kurang.
            Via juga tak pernah canggung ketika harus menggembalakan kambing. Dengan lincahnya yang mempesona. Seakan seluruh makhluk segan terhadapnya.
            Hidup Via memang sulit. Ayahnya sudah senja. Ibunya kurus kerontang memikirkan ayah Via yang masih suka maen dari hasil buruh yang tak seberapa. Yang kadang masih cari hutangan kesana kemari untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Tak jarang Via pun ikut menanggung akibat perbuatan ayahnya. Namun dia tak pernah membenci. Justru dengan setia, dia menasehati ayahnya. Meski tak satupun nasehat yang dia lontarkan didengarkannya.
***
            Pernah suatu siang, ketika terik mentari begitu menyengat. Seakan menguliti seluruh tubuh ini. Ketika angin tak lagi bersemilir sepoi. Menggoyangkan, bahkan seakan merobohkan pohon pisang yang berada disekeliling rumah Via. Debu, pasir, bahkan kerikil berterbangan seirama angin membawanya.
            Via dengan tenangnya terus melukis. Ditemani seluruh keluarganya yang beristirahat siang. Jemarinya yang lentik ikut menari gemulai bersama kuas yang dia torehkan ke kanvas.
            “Alhamdulillah, tinggal mempercantik.”, celotehnya sambil tersenyum-senyum memandangi lukisannya.
            Setelah dirasa cukup, dia menge-pas-kan lukisannya ke pigura yang telah disiapkannya.
            “ Aduh, kok nggak pas ya? Hmmm.”
            Mata Via mencari-cari apa yang bisa dia pakai. Kemudian matanya berhenti pada sebuah lukisan tokoh yang dikagumi ayahnya. Cerdas pikirnya langsung merangkai kata-kata untuk merayu ayahnya.
            Dia berjalan ke kamar ayahnya. Dengan perlahan dia membangunkannya.
            “ Ayah,... ”
            “ Hmmm,.. ya, ada apa?”, jawab ayahnya sambil menggeliat, lalu terduduk.
            “ Ayah, bolehkah Via meminjam pigura ayah. Sehari besok saja. Nanti setelah saya nilaikan, piguranya saya kembalikan ke semula.”
            Ayah Via tak mengucap sepatah kata pun. Beliau berjalan keluar kamar dan memandang lukisan tokoh itu.
            “ Jangan...!, pakai pigura lain saja. Atau beli di pasar.”
            “ Tapi, ayah.., sekarang sudah siang. Lukisan Via sudah harus rapi sekarang. Harus segera dikirim ke sekolah.”, rengeknya.
            “Tetap nggak bisa. Kalau kau berani mengambil. Maka kau akan celaka! Cam kan itu!”
            “ Ayah,.. seberapa berharganya lukisan itu? Hingga Via pinjam piguranya saja nggak boleh. Ayah tahu, kan? Kalau Via sedang ujian kelulusan. Lukisan ini sebagai ujian praktek seni rupa, ayah...”, dia mulai terisak.
            “ Lukisan itu lebih berharga daripada kamu.”, ayahnya membentaknya. Kemudian melangkah tergontai kembali ke kamar.
            “ Ayah, itu hanya sebuah lukisan. Lukisan tokoh yang sama sekali tak dapat mengubah hidup ayah. Apa dia memberi rejeki pada ayah? Apa dia yang menghidupkan ayah? Lukisan itu hanya sebuah lukisan, ayah. Tak lebih dari seonggok kertas yang tak bernilai, jika dia tak memberi manfaat. Hanya karena lukisan seperti itu? Ayah memutus aliran darah yang selama 15 tahun ini mengalir dalam diriku? Astaghfirullah, rupanya Via telah kehilangan ayah sekarang.”
            “ DIAAAAAM!!!, enyah kau dari hadapanku!!!”, bentak ayahnya sembari melempar benda yang digenggamnya.
            “ Via selama ini diam, Via selalu nurut sama ayah. Ketika orang-orang di luar sana ramai memperbincangkan ayah. Dengan wajah manis Via tetap membela ayah. Via tahu, nama ayah sudah buruk di luar sana. Memang banyak yang segan sama ayah. Tapi banyak jua yang membenci ayah.”
            “ DIAAAAAM!!!”, bentak ayahnya semakin keras.
            “ Via nggak akan diam ayah. Karena luka dalam hati ini telah ayah gores kembali. Semakin nanar dan melebar. Sekarang tak perlulah Via menutupi perih ini. Perih karena harus membela ayah. Betapapun ayah, Via sayang ayah. Tapi ternyata tak ada sebersitpun cinta di hati ayah untuk Via. Via tak menemukan cinta di mata ayah, meski telah lama Via meraba.”, dia menghela nafas panjang sebelum dia kembali mencurahkan apa yang dipendamnya selama ini.
            “ Kenapa ayah tak pernah sadar? Usia ayah sudah senja. Sudah selayaknyalah ayah kembali pada jalan yang benar. Bukan jalan yang nista dan menyesatkan ini. Ayah selalu menyuruhku untuk sholat, mengaji, dan berpuasa. ayah jua yang menyuruhku belajar puasa sunah, sholat tahajud, dhuha, dan semua tentang agama. Tapi kenapa ayah sendiri justru murtad? Hanya di KTP ayah islam. Tapi selebihnya, jauh dari islam.”
            “ Nduk, sudah,...”, rengek ibu Via dengan airmata berlinang.
            “ Biarlah, ibu. Biar ayah sadar. Bahwa selama ini ayah tidak melakukan kewajibannya sebagai kepala keluarga. Ketika banyak orang di luar sana mencibir kita. Mencaci maki kita. Menyebar fitnah tentang keluarga kita. Apa ayah murka? Nggak kan? Justru masih sempat ayah pulang malam, kemudian marah sama ibu sebagai pelampiasan kekalahan ayah. Dan jika ayah tahu, sekali ayah marah pada ibu, sekali itu jua hati Via tersayat. Dan itu ayah lakukan tidak hanya sekali. Entah berapa sayatan yang sekarang menghancurkan hati Via. Atau bahkan sekarang Via sudah tak punya hati, ayah...”, dia menunduk dalam tangis. Aku bisa merasakan betapa hatinya hancur berkeping-keping. Ya, mungkin sekarang hatinya telah mati seperti yang dia katakan.
            Alhasil Via memakai pigura kakaknya yang sudah jelek dan banyak kotoran ayamnya. Dia membersihkan dengan perlahan. Airmata masih mengucur dari kedua bolamatanya yang indah. Keikhlasan terpancar dari tiap-tiap basuhan tangannya. Yang terus mengalir bersama air yang disiramkannya.
            “ Allah nggak pernah tidur, Via. Dia selalu melihatmu. Setiap peluh dan airmatamu telah dicatatNya dalam buku amalanmu.”, terceletuk kata ini, hingga Via mengangkat wajahnya dan meraba-raba dari manakah suara itu berasal.
***
            Allah maha adil. Dengan perjuangannya yang begitu gigih. Dia mendapatkan hasil yang terbaik. Tidak hanya nilai lukisannya. Tapi dia juga mendapat NUN tertinggi di sekolahnya.
            Tak ada alasan untuk tak berbangga pada Via. Meski hati masih bermuram durja. Ayahnya secara tersirat mengapresiasi keberhasilannya. Bahkan kakaknya berniat menyekolahkan dia di SMA terfavorit di kotanya.
            Namun sekali lagi, dia mampu bukan tanpa perjuangan. Yang mudah saja menapaki pelataran daratan itu. Caci maki lingkungan sekitar seakan mencambuk. Hatinya menjerit, kenapa semua harus mencegah untuk sebuah kebaikan. Kenapa semua harus memaki jika dia memang mampu. Mereka tidak tahu apa-apa, tapi bertingkah seolah-olah telah menjelajah seisi dunia. Mereka hanya berkata sesuai logika mereka. Mereka tidak pernah bertanya dalam hati kecil mereka. Bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak. Dia percaya jika Allah masih mengujinya, maka Allah masih sayang padanya. Pasti Allah akan memberikan jalan selama kita terus mengingatNya, berhuznudzon padaNya, dan ikhlas menjalani setiap ujian dariNya.
            Mengingat perjuangannya yang begitu keras. Via mampu membuktikan bahwa dia bisa sekolah di SMA terfavorit dengan beasiswa. Bahkan untuk menutupi uang gedung dan seragam, dia rela menutup tabungan beasiswa SMPnya. Bahkan sampai kuliah pun, Via tak merepotkan orang tuanya. Alhamdulillah, dia mendapat beasiswa juga.
            Via selalu bisa mengambil setiap hikmah dari setiap tabir kehidupannya. Sampai 18 tahun usia melekat dalam dirinya. Dia selalu memaknai setiap langkah yang memang dia rencanakan atas ridhoNya.
            Satu tahun sudah Via kuliah. Aku bisa merasakan betapa perih perjuangannya disana. Ketika sempat kubertemu dengannya sepulang tarawih kemarin. Aku mendapatinya semakin kurus. Namun pesonanya tak pernah tergerus. Kupandangnya dari dalam masjid, dia menghampiri bu Suwarti, guru SDnya. Dia menjabat tangan beliau dan melayangkan peluk cium ke pipi beliau. “ Kau masih sama, Via. Masih sesantun dan selembut dulu.”, kataku dalam hati.
            “ Mbak Via,...”, teriak adik-adik binaan Jamaah Masjid Baitul Fath.
            “ Iya, adikku. Bagaimana kabar kalian? Ayo, ayo masuk ke masjid dulu.”, Via menggiring adik-adik masuk masjid.
            “ Vi, kapan pulang?”, tanya Rina, sahabat karibnya. Yang sama-sama berjuang membesarkan JMBF.
            “ Jumat kemarin, Rin. Tapi kamis depan harus kembali lagi ke Surabaya. Gimana kabar disini?”
            “ Hmmm, ya beginilah, semenjak kamu tinggal. Aku sendiri mengurus adik-adik. Yang lain mulai berguguran. Pada sibuk dengan kepentingan masing-masing.”
            “ Alhamdulillah, Rin. Allah masih menjagamu untuk tetap istiqomah di jalan dakwah ini. Maaf, Ramadhan tahun ini nggak bisa full di sini. Ada amanah di kampus.”, jelas Via sambil mengkondisikan adik-adik.
            “ Iya, Vi. Aku tahu. Semoga Allah senantiasa menjaga mutiara kami. Iya nggak adik-adik?”, Rina melempar tanya pada adik-adik yang mulai ramai sendiri.
            “ Iya, mbak... “, gelak tawa mereka terpecah seketika.
            Sejurus kemudian Via dan Rina mulai mengajari mereka mengaji. Terdengar merdu dan riang suara adik-adik dari balik hijab. Yang semakin membuat masjid ini penuh warna.
            “ Aku bisa merasakan kebahagiaanmu, Via. Meski aku hanya bisa mendengarmu dari balik hijab.”, sekali lagi hatiku berkata demikian.
            “ Astaghfirullah, faghfirlii ya Rabb, atas hati yang kurang terjaga ini.”, kataku, sembari bersujud. Kemudian aku lanjutkan mengaji bersama ikhwan JMBF.
***
            “ Ibu, maafkan Via tak bisa sepenuhnya menemani ibu di ramadhan tahun ini. Jaga diri baik-baik. Titip salam untuk ayah. Bagaimanapun beliau, meskipun dulu beliau menganggap Via sudah bukan anaknya. Tapi Via masih dan akan tetap menganggap beliau sebagai ayah Via. Tak usahlah ibu memikirkan ayah. Seiring berjalannya waktu, ayah pasti akan kembali bersama kita. Melangkah bersama-sama di jalan cintaNya.”, pamitnya ketika akan ku antar ke terminal.
            “ Iya, nduk. Semoga ayahmu lekas mendapat hidayah. Jika amanahmu sudah selesai, segera pulang ya, nduk. Ibu rindu kebersamaan kita saat ramadhan.”, mata ibu Via berkaca-kaca melepas putri bungsunya kembali ke Surabaya. Via sepertinya tak tega. Dia terisak mendapati keadaan ibunya yang semakin renta. Sementara dia tak bisa terus disampingnya. Menyiapkan makan sahur dan buka puasa untuk ibunya. Hati ini miris melihat ibu dan anak itu sama-sama terisak.
            Sepanjang perjalanan, kulihat dari kaca mobilku, Via masih berlinang air mata. Aku bisa merasakan perih dan pedih hatinya. Baru kali ini aku melihatnya benar-benar sedih. Aku tahu ini adalah pilihan yang berat untuknya. Terlebih kesehatan dirinya pun sebenarnya terancam. Tapi dia masih sempat menyembunyikannya pada keluarganya.
            “ Mas Ilham, titip ibu dan ayah ya. Tolong bantu menasehati ayah. Via tahu, mas Ilham mengetahui banyak hal tentang saya. Tapi saya mohon, jangan pernah sekali-kali bercerita perihal penyakit saya. Saya percaya mas Ilham karena Allah.”, pesannya sesaat sebelum naik ke bis.
            “ Assalamu’alaykum,...”, salamnya sembari berlalu bersama bis yang dia tumpangi.
            “ Wa’alaykumussalam, Via. InsyaAllah saya akan menjaga pesanmu.”
***   
            Kedatangan Via kembali ke Surabaya, bak kuncup yang sedang ditunggu mekarnya. Banyak orang yang mengharap kedatangannya.
            “ Afwan, ya, ukhty. Meninggalkan antum wa antunna terlalu lama. Bagaimana yang di sini? Lancar?”, katanya ketika pertama kali menjamah pelataran masjid di kampusnya.
            “ Alhamdulillah, ukh. Berkat doa anti, seminggu pertama ramadhan di sini lancar. Banyak donatur yang mulai menyumbang juga.”
            “ Alhamdulillah, sebagaimana dalam QS Muhammad ayat 7, ‘Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu’. Dan dalam QS Al insyirah ayat 6, ‘Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan’. Allah selalu melihat usaha kita, ukh. Dan pertolongan Allah itu benar adanya. Ayo, segera bergerak untuk mempersiapkan kobar hari ini. Semangat karena Allah, ukh...”
            “ iya, ukh. Semangat semangat.”
            Senyum Via merekah. Indah kebersamaan yang dia bangun bersama sahabat muslim di lingkungan kampusnya. Dia mulai disibukkan oleh kepentingan ummat. Dia memang seakan memiliki dua nyawa ketika mengabdikan hidupnya untuk sesamanya. Sesuai prinsip yang dia pegang, “ sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain”. Ketika sudah begitu, maka terlupalah dia sejenak dengan segala penat dan kepayahan yang mencoba menyerangnya dari segala arah.
            Detik demi detik waktu telah membawa mereka ke tujuh hari terakhir ramadhan. Gema ramadhan telah menggema di hati Via dan sahabat muslim dibelahan dunia manapun. Sebentar lagi gema kemenangan akan segera datang, mensucikan hati kembali pada fitrah masing-masing.
            “ Ukh, hari ini ada waktu senggang?”, tanya Via ke salah satu sahabatnya.
            “ InsyaAllah, jam 10 kosong, ukh. Ada yang bisa ana bantu?”
            “ Alhamdulillah, nanti bisa antarkan ana membeli kado lebaran untuk ibu dan ayah?”
            “ Dengan senang hati, ukh.”
            Tepat jam 10, sesuai perjanjian, Via menunggu di depan gang kontrakannya. Tak lama kemudian sahabatnya datang. Mereka melaju ke mall terdekat. Via membeli dua sajadah sama, sarung tenun, mukena, peci, dan Al-quran terjemahan. Dia bungkuskan menjadi satu di kotak kado berwarna biru muda. Tak terlupa dia sisipkan surat untuk ibu dan ayahnya.
            Keluar dari mall, wajah dua orang itu berinar. Terlebih wajah Via. Tersirat bahagia dalam batinnya. Dia menenteng kado itu dengan wajah yang berseri.
            “ Jazakillah khoir, ukh. Semoga Allah membalas kebaikan anti dengan hal yang lebih indah.”
            “ Sama-sama, ukh Via. Senang rasanya bisa membantu.”
            H-3 lebaran. Saatnya pulang menuju kampung masing-masing. Membawa kenangan indahnya ramadhan penuh kebersamaan di kampus Via. Seribu ceritanya bersama anak-anak binaan di sana, bersama kaum duafa, bersama sahabat muslim di kampusnya. Tak hentinya dia bercerita padaku di perjalanan pulang menuju rumah.
            “ Mas Ilham, jazakallahu khoir. Sudah setia mengantar-jemput Via. Sudah menjaga ibu dan ayah. Jazakallah atas cinta mas Ilham yang begitu ikhlas kepada keluarga saya. Semoga Allah membalasnya dengan segala yang lebih indah dari apa yang mas Ilham berikan pada kami.”, tiba-tiba airmata Via jatuh membasahi pipi dan jilbabnya. Nampak keanggunan dalam tangisnya.
            “ Kenapa tiba-tiba berkata begitu?”
            “ Nggak apa, mas. Takut kalau saya tidak bisa menyampaikannya di lain waktu.”
            Via menghela nafas panjang, dan kemudian perlahan matanya tertutup. Ketika itu kupikir dia tertidur. Dengan alquran di dekapannya. Dan kado lebaran untuk ibu dan ayahnya disampingnya. Aku bahkan sempat berfikir, “ Tidurpun engkau nampak manis, Via. Sungguh hati yang lemah ini semakin tertaut padamu.”
            Sampai di pelataran rumahnya. Kutengok dia tak bergerak sedikitpun.
            “ Via, bangun. ibu dan ayahmu sudah menunggu di teras.”
            Tapi bibir mungilnya yang sedari tadi tersenyum tak kunjung menjawab. Aku mulai panik. Kupanggil ibu dan ayahnya. Aku periksa nafas dan nadinya tidak ada. Aku bawa ke dokter terdekat. Namun tak jua dapat mencegah kepergiannya. Ibunya terus merangkul tubuh yang sudah tak bernyawa itu. Isak tangis membanjiri ruangan. Ayah Via menangis dalam sujud dengan terus beristighfar dan menyebut-nyebut nama Via. “ Maafkan ayahmu ini, anakku”, parau suara ayahnya membuatku semakin tertusuk. Aku kembali ke mobil dan memberikan kado Via untuk mereka.
            “ Ibu, ayah, sesungguhnya sholat 5 waktulah yang menjaga seluruh amalan kita. Membaca alquran akan meneduhkan hati kita. Via mohon maaf, karena tak bisa menemani ibu dan ayah sampai idul fitri. Via mohon maaf, karena tak bisa menemani ibu dan ayah mengukir indahnya kebersamaan di ramadhan-ramadhan selanjutnya. Ukhibbukkumfillah, ibu, ayah. Bagaimanapun ibu dan ayah. Via tetap dan selalu sayang sama ibu dan ayah. Hiduplah bersama, habiskan usia senja kalian dengan beribadah kepada Allah. Peluk dan cium dariku, Via.”
            Aku tak kuasa menahan airmataku. Ku kecup kening Via untuk yang pertama dan terakhir. ” Aku mencintaimu, bidadari surga. Jika memang di dunia ini kau bukanlah jodohku. Aku pinta kau adalah bidadari surga yang akan menemaniku di surga nanti. Tetap tersenyumlah dengan anggun, karena Allah telah menyiapkan Surga di penghujung ramadhan ini untukmu.”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar