SURAT CINTA UNTUK UKHTI
(Oleh Iwan Alfarizy )
Kriing…suara bel sepeda pak pos terdengar nyaring, dan berhenti tepat di depan
sekumpulan akhwat yang sedang Liqo’ (ngaji).
“Assalamu’alaikum”
“Waa’alikumussalam” jawab para akhwat kompak
“Afwan ukhti, ini ada surat untuk mujahidah” kata pak pos
“Ooh… syukron pak”
“Ya.. afwan” jawab pak pos singkat.
Pak pos berlalu setelah mengucapkan salam, dan tak sabar para akhwat itu
membuka surat yang baru saja diterima dengan perasaan heran. Breek, sebuah
amplop berwarna pink disobek, lalu seorang Murobbiyah membacanya, dan
Mutarobbiyah dengan khusyu’ mendengarkannya.
“ Assalamu’alaikum warahmatullahi wabaraktuh “
Seuntai kata dari surat itu mulai di baca
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabaraktuh” jawab jilbaber lagi-lagi kompak
“Ukhti yang di nantikan syurga “
Satu persatu Murobbiyah mulai mengalirkan kata-kata surat yang di bacanya yang
berisikan:
“Ukhti…Kehadiran Anti di sini, adalah panggilan hati, panggilan ukhuwah, dan
panggilan jihad yang hanya diniatkan karena Allah, bukan karena apa-apa. Bukan
karena ingin ketenaran atau mengharapkan popularitas. Tapi.. Persembahkan hidup
ini hanya karena Allah”
“Ukhti…Besarnya kerudungmu tidak menjamin sama dengan besarnya semangat jihadmu
menuju Ridho Tuhanmu. Mungkinkah besarnya kerudungmu hanya digunakan sebagai
fashion atau gaya zaman sekarang, atau mungkin kerudung besarmu hanya dijadikan
alat perangkap busuk supaya mendapatkan ikhwan yang diidamkan bahkan bisa jadi
kerudung besarmu hanya akan dijadikan sebagain identitasmu saja, supaya bisa
mendapat gelar akhwat dan dikagumi oleh banyak ikhwan? Naudzubillah…”
Kembali, mutarobiyah membaca surat berwarna pink itu.
“Ukhti…tertutupnya tubuhmu Tidak menjamin bisa menutupi aib saudaramu, aib
keluargamu, bahkan aib dirimu sendiri. Coba perhatikan sekejap saja, apakah aib
saudaramu, teman dekatmu bahkan keluargamu sendiri sudah tertutupi? Bukankah
kebiasaan buruk seorang perempuan selalu terulang dengan tanpa disadari melalui
ocehan-ocehan kecil sudah membekas semua aib keluargamu, aib sudaramu, bahkan
aib teman dekatmu melalui lisan manismu”
“Ukhti…lembutnya suaramu mungkin selembut sutra bahkan lebih dari itu, tapi
akankah kelembutan suaramu sama dengan lembutnya kasihmu pada sauadaramu, pada
anak-anak jalanan, para fakir miskin dan pada semua orang yang menginginkan
kelembutan dan kasih sayangmu?”
“Ukhti…lembutnya Parasmu tak menjamin selembut hatimu, akankah hatimu selembut
salju yang mudah meleleh dan mudah terketuk ketika melihat segerombolan
anak-anak Palestina terlihat gigih berjuang dengan berani menaruhkan jiwa dan
raga bahkan nyawa sekalipun dengan tetes darah terakhir, akankah selembut itu
hatimu? Ataukah sebaliknya, hatimu sekeras batu karang yang sama sekali tidak
tergetir melihat ketertindasan orang lain?”
Murobbiyah tak kuasa menahan air mata, ada butiran bening jatuh kepangkuan,
jatuh melewati kertas pink itu. Isakan tangis mulai terdengar dari sebagian
mutarobiyah.
“Ukhti…Rajinnya tilawahmu tak menjamin serajin dengan shalat malammu.
Mungkinkah malam-malammu dilewati dengan rasa rindu menuju Tuhanmu, dengan
bangun di tengah malam dan ditemani butiran-butiran air mata, yang jatuh ke
tempat sujud mu serta lantunan tilawah yang tak henti-hentinya berucap, membuat
setan terbirit-birit lari ketakutan. Ah… atau malah sebaliknya, malammu selalu
dirangkul dengan tebalnya selimut setan dan di nina bobokan dengan mimpi-mimpi
indahmu bahkan lupa kapan bangun shalat subuh”
“Ukhti…Cerdasnya dirimu tak menjamin bisa mencerdaskan sesama saudaramu dan
keluargamu. Apakah mungkin temanmu bisa ikut bergembira menikmati ilmu-ilmunya
seperti yang anti dapatkan, ataukah Anti tidak peduli sama sekali akan
kecerdasan temanmu, saudaramu bahkan keluargamu. Sehingga membiarkannya begitu
saja sampai mereka jatuh ke dalam lubang kebodohan yang sangat mengerikan dan
menjatuhkan kepada kemaksiatan. Amalkanlah ilmumu ukhti, walau hanya sebaris
kata. Bukankah itu lebih baik daripada tidak sama sekali?”
“Ukhti…cantiknya wajahmumu tidak menjamin kecantikan hatimu terhadap saudaramu,
temanmu, bahkan diri Anti sendiri, pernahkah Anti menyadari bahwa kecantikan
yang Anti punya hanya titipan ketika muda. Apakah dalam tujuh puluh tahun
kedepan Anti masih terlihat cantik? Tahukah kamu, kecantikan itu hanyalah
setipis kulit ari, jadi apa yang harus kamu banggakan dari wajah cantik yang
kamu miliki? Jangan-jangan kecantikanmu hanya dijadikan perangkap jahat supaya
bisa menaklukan hati ikhwan dengan senyuman-senyuman busukmu”
“Ukhti…tundukan pandanganmu yang jatuh ke bumi tidak menjamin sama dengan
tundukan semangatmu untuk berani menundukan musuh-musuhmu. Terlalu banyak musuh
yang akan Anti hadapi, mulai dari musuh-musuh Islam sampai musuh hawa nafsu
pribadimu yang selalu haus dan lapar terhadap perbuatan jahatmu”
“Ukhti…tajamnya tatapanmu yang menusuk hati menggoda jiwa, tidak menjamin sama
dengan tajamnya kepekaan dirimu terhadap warga sesamamu yang tertindas di
negeri Palestina. Pernahkah Anti menangis ketika mujahid-mujahidah kecil
tertembak mati, atau dengan acuhnya membiarkan begitu saja. Pernahkah Anti
merasakan bagaimana rasanya berjihad yang dilakukan oleh para
mujahidah-mujahidah di sana.”
“Ukhti…lirikan matamu yang menggetarkan jiwa tidak menjamin dapat menggetarkan
hati saudaramu yang senang bermaksiat. Coba Anti perhatikan dunia sekelilingmu
masih banyak teman,
saudara bahkan keluarga anti sendiri belum merasakan manisnya Islam dan iman
mereka belum merasakan apa yang Anti rasakan. Bisa jadi salah satu dari
keluargamu masih gemar bermaksiat, berpakaian seksi dan berprilaku seperti binatang
yang tak karuan, sanggupkah Anti menggetarkan hati-hati mereka supaya mereka
bisa merasakan sama apa yang Anti rasakan yaitu betapa lezatnya hidup dalam
kemuliaan Islam.”
“Ukhti…tebalnya kerudungmu tidak menjamin setebal imanmu pada sang Khalikmu. Anti
adalah salah satu sasaran setan durjana yang selalu mengintai dari semua
penjuru mulai dari depan belakang atas bawah semua setan mengintaimu, imanmu
dalam bahaya, hatimu dalam ancaman, tidak akan lama lagi imanmu akan terobrak
abrik oleh tipuan setan jika imanmu tidak betul-betul dijaga olehmu, banyak
cara yang harus Anti lakukan, mulai dari diri sendiri, dari yang paling kecil
dan seharusnya dilakukan sejak dari sekarang, kapan lagi coba…”
“Ukhti…Putihnya kulitmu tidak menjamin seputih hatimu terhadap saudaramu,
temanmu bahkan keluargamu sendiri, masihkah hatimu terpelihara dari berbagai
penyakit yang merugikan seperti riya’ dan sombong. Pernahkah Anti membanggakan
diri ketika kesuksesan dakwah telah di raih dan merasa diri paling wah, merasa
diri paling aktif, bahkan merasa diri paling cerdas di tas rata-rata akhwat
yang lain. Sesombong itukah hatimu, lalu di manakah beningnya hatimu, dan
putihnya cintamu?”
“Ukhti…rajinnya tilawahmu tidak menjamin serajin infakmu ke mesjid atau
mushola, sadarkah Anti kalau kotak-kotak nongkrong di masjid masih terliat
kosong dan menghawatirkan? Tidakkah Anti memikirkan infaq sedikit saja, bahkan
kalaupun infaq, kenapa uang yang paling kecil dan paling lusuh yang Anti
masukan, maukah Anti diberi rejeki sepelit itu.”
“Ukhti…rutinnya halaqahmu tidak menjamin serutin puasa sunah senin kamis yang
Anti laksanakan, kejujuran hati tidak bisa dibohongi, kadang semangat fisik
begitu bergelora untuk dilaksankan, tapi semangat ruhani tanpa di sadari turun
drastis, puasa yaumul bith pun terlupakan apalagi puasa senin kamis yang di
rasakan terlalu sering dalam seminggu, separah itukah hati Anti, makanan fisik
saja yang sering Anti pikirkan, padahal ternyata ruhiyah pun butuh stok
makanan. Kita tidak pernah memikirkan bagaimana akibatnya kalau ruhiyah kurang
gizi”
“Ukhti…manisnya senyummu tak menjamin semanis rasa kasihmu terhadap sesamamu,
kadang sikap ketusmu terlalu banyak mengecewakan orang sepanjang jalan yang
Anti lewati, sikap ramahmu pada orang Anti temui sangat jarang terlihat, bahkan
selalu dan selalu terlihat cuek dan menyebalkan. Kalau itu kenyataanya,
bagaiamana orang lain akan simpati terhadap komunitas dakwah yang memerlukan
banyak kader. Ingat!!! Dakwah tidak memerlukan Anti tapi… Antilah yang
memerlukan dakwah, kita semua memerlukan dakwah.”
“Ukhti…rajinnya shalat malammu tidak menjamin keistiqomahan seperti rosulullah
sebagai panutanmu, siapa lagi yang mau jadi teladan selain beliau.”
“Ukhti…ramahnya sikapmu tidak menjamin seramah sikapmu terhadap sang Kholikmu,
masihkah Anti senang bermanjaan pada Tuhanmu dengan shalat duhamu, shalat
malamu?”
“Ukhti…dirimu bagaikan kuntum bunga yang mulai merekah dan mewangi, akankah
nama harummu disia-siakan begitu saja dan atau sanggupkah Anti ketika sang
mujahid akan segera menghampirimu.?
“Ukhti…masih ingatkah Anti terhadap pepatah yang masih terngiang sampai saat
ini, bahwa akhwat yang baik hanya untuk ikhwan yang baik, jadi bersiap-siaplah
sang syuhada akan menjemputmu di pelaminan hijaumu”
“Ukhti…Baik buruk parasmu bukanlah satu-satunya jaminan akan sukses masuk dalam
surga Rabbmu. Maka, tidak usah berbangga diri dengan parasmu yang molek, tapi
berbanggalah ketika iman dan taqwamu sudah betul-betul terasa dan terbukti
dalam hidup sehari-harimu”
“Ukhti…muhasabah yang Anti lakukan masihkah terlihat rutin dengan
menghitung-hitung kejelekan dan kebusukan kelakuan Anti yang di lakukan siang
hari. Atau bahkan kata muhasabah itu sudah tidak terlintas lagi dalam hatimu,
sungguh lupa dan sirna tidak ingat sedikitpun apa yang harus di lakukan sebelum
tidur. Anti tidur mendengkur begitu saja dan tidak pernah kenal apa itu
muhasabah sampai kapan akhlak busukmu dilupakan, kenapa muhasabah tidak di
jadikan sebagai moment untuk perbaikan diri. Bukankah akhwat yang baik hanya
akan mendapatkan ikhwah yang baik?”
“Ukhti…pernahkah Anti bercita-cita ingin mendapatkan suami ikhwan yang ideal,
wajah yang manis, badan yang kekar, dengan langkah tegap dan pasti? Bukankah
apa yang Anti pikirkan sama dengan yang para ikhwan pikirkan, yaitu ingin mencari
istri yang solehah dan seorang mujahidah, kenapa tidak dari sekarang Anti
mempersiapkan diri menjadi seorangan mujahidah yang solehah.”
“Ukhti…apakah kebiasaan buruk wanita lain masih ada dan hinggap dalam diri
Anti, seperti bersikap pemalas dan tak punya tujuan atau lama-lama nonton
Televisi yang tidak karuan dan hanya kan mengeraskan hati sampai lupa waktu,
lupa Bantu orang tua, kapan akan menjadi anak yang Birruwalidain, kalau memang
itu terjadi jadi sampai kapan?, mulai kapan Anti akan mendapat gelar mujahidah
atau akhwat solehah”
“Ukhti…apakah pandanganmu sudah terpelihara, atau pura-pura menunnduk ketika
melihat seorang ikhwan dan terlepas dari itu, matamu kembali jelalatan layaknya
mata harimau mencari mangsa. Atau tundukan pandangannmu hanya menjadi alasan
belaka karena merasa berkerudung besar !?, ah.. jauhkanlah dari niat itu”
“Ukhti… hatimu dijendela dunia, dirimu menjadi pusat perhatian semua orang,
sanggupkah Anti menjaga izzah yang Anti punya, atau sebaliknya Anti bersikap
acuh tak acuh terhadap penilaian orang lain dan hal itu akan merusak citra
akhwat yang lain. Kadang orang lain akan mempunyai persepsi di sama ratakan
antara akhwat yang satu dengan akhwat yang lain, jadi kalo Anti sendiri membuat
kebobrokan akhlak maka akan merusak citra akhwat yang lain, sanggupkah Anti
menjaganya?”.
“Ukhti…dirimu menjadi dambaan semua orang. Bahkan sekelompokan preman dan
brandal sekalipun tidak menginginkan istri yang akhlaknya bobrok. Tapi semua
orang menginginkan istri yang solehah, siapkah Anti sekarang menjadi istri
solehah yang selalu didamba-dambakan oleh semua orang?”
Selesai membaca, tak terasa Murobbiyah dan Mutarobbiyahpun mengeluarkan
butiran-butiran halus dari matanya. Mereka menangis, meratapi dan muhasabah
bersama dalam Liqo’atnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar