--Senja di Langit Kairo |
“Jangan marah ya?”
Hmmm, mungkin itu adalah kalimat
terakhir yang dia ucap padaku. Atau memang benar yang terakhir? Ah, bedebah
dengan semua itu. Hanya akan membuang waktu produktifku jika terus
memikirkannya.
“Argggghhhh,... siapa lagi sih?
Dari tadi ponsel nggak pernah berhenti berdering. Nggak tahu orang lagi sensi
apa?”, gerutuku ketika mendapati samsung galaxy ungu itu dengan faseh
melafalkan mother-nya Seamo.
“Assalamu’alaykum, siapa ya?”, nadaku meninggi.
“Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh, dek Zahra. Ini dengan
Kak Arya. Adek bisa menemui kakak di taman fakultas sastra?”, lembut suara kak
Arya mematikanku. Ceroboh sekali tak memeriksa siapa yang menelpon dulu.
“Oh, kak Arya... afwan, kak. Iya
saya kesana sekarang.”
“Hati-hati. jangan lupa naskahnya
dibawa.”
“Iya, kak. InsyaAllah.”
Setelah mengucap salam, Ku dengar
dari sini Kak Arya langsung mematikan telponnya.
“ Haduhhhhh, bagaimana nadaku
bisa setinggi tadi. Haaahhhh, malu banget. Sungkan rasanya harus bertemu
beliau.” Celotehku sembari melambat-lambatkan langkahku menuju taman.
***
Samar kulihat kak Arya duduk di
kursi taman sambil membaca buku. Di depannya ada dua botol softdrink kesukaanku. Aku semakin memperlambat langkahku, bahkan
bisa dibilang mengeja langkah. Namun nyatanya aku tak bisa mengelak. Aku
berusaha seramah biasa, meski nampak kaku.
“Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh... i’m so sorry, sudah
menunggu lama.”
“Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh... iya nggak apa. Lain
kali nggak perlu mengeja langkah. Bersikap biasa saja, selayaknya kau tak
berbuat salah. Anggap saja aku sebagai teman sebayamu. Nggak perlu sehormat
itu. Kita kan partner? Bukankah begitu?”
Aku hanya terdiam dan bengong
seperti orang blo’on. Aku terheran-heran betapa beliau bisa memahami sedetail
itu.
“Tak perlu menatapku seperti itu.
Nih, pasti haus kan?”, tambahnya sembari membukakan sebotol softdrink dan memberikannya padaku.
Aku hanya tersenyum dan
berterimakasih dalam hati. Jujur, hal tersebut semakin membuatku kaku. Entah
kenapa, aku sendiri juga bingung.
“Dek Zahra sakit?”, dengan
menatap tajam dia melempar tanya lirihnya padaku.
“Ah,... apa? E,... enggak.
Alhamduillah saya sehat kok. Buktinya saya sekarang duduk di samping kakak
tanpa kurang sesuatupun.”, jawabku bijak.
“Syukur kalau begitu. Bisa
ditunjukkan naskahnya?”
“Oh, iya... silakan...”
Aku terdiam dengan sesekali
meneguk softdrink. Kak Arya begitu
saksama membaca naskah itu. Sambil sesekali menggaris-bawahi kata yang mungkin
kurang pas di hatinya.
“Diksi yang bagus, rangkaian kata
dan kalimat yang indah.”
Saking kagetnya mendengar perkataan Kak Arya, aku terbatuk. Softdrink yang kuminum muncrat membasahi
pakaianku.
“Dek Zahra nggak pa-pa?”, Kak
Arya menepuk-nepuk punggungku. Kemudian dia mengeluarkan sapu tangan dari
tasnya dan menyodorkan padaku.
Aku masih saja mematung. Seperti
nyawa ini tak berada dalam ragaku. Melihatku begitu, Kak Arya kemudian mengelap
bajuku.
Sekali lagi dia bertanya, “Dek
Zahra nggak pa-pa?”
Namun tiba-tiba embun hangat
menetes perlahan dari ke dua mataku. Dan aku masih saja terdiam.
“Dek Zahra kenapa menangis? Apa
ada kata atau sikap kakak yang melukaimu?”
Aku hanya menggelengkan kepala.
Dalam hati aku menjerit. Kenapa bukan Hilmi yang memperlakukan aku bak putri
seperti ini. Kenapa bukan dia yang bersikap lembut dan penyayang padaku. Kenapa
bukan dia yang pertama kali memuji karyaku. Kenapa harus seseorang yang baru
kukenal di Kairo ini. Kenapa harus seseorang yang bukanlah special di hatiku.
Padahal sejak naskah itu baru selembar, aku sudah mengirimkan padanya melalui
email. Beberapa hari yang lalu juga sudah aku kirimkan yang fix. Namun belum ada balasan darinya.
Aku hanya berpikir positif saja. Mungkin dia sangat sibuk. Sehingga untuk
sekedar membuka, membaca, dan membalas emailku, sulit dia lakukan.
Setelah sesak di hati ini
berkurang, lidah ini baru bisa mengeluarkan kata meski dengan terbata.
“Maaf, Kak. Saya terharu. Padahal
menurut saya naskah itu banyak celanya.”
“Yang lebih bisa menilai kan
pembaca, Dek. Dan menurut kakak naskahmu sudah layak untuk diterbitkan. Ini
kakak bawa dulu. Nanti akan kakak edit bersama Pak Arga. Mungkin minggu depan
sudah bisa diproses bareng novel kakak.”
“Terimakasih, kak.”, aku
tersenyum. Wajahku memerah, dan embun ini semakin deras mengalir. Aku tak
percaya sebegitu mudahnya naskahku akan diproses. Padahal waktu di Indonesia
dulu, sangat susah. Paling pol hanya dimuat di majalah, koran, mading sekolah,
dan mading kampus. Mungkin karena kurang relasi dan kurang punya banyak waktu
untuk menulis. Tiga tahun yang lalu aku memang hanya disibukkan dengan tugas
kuliah dan organisasi. Rajin menulis, iya. Namun bukan menulis lepas. Semua
serba ilmiah dan resmi. Kalaupun ada yang lepas. Itu hanya untuk event-event
tertentu.
“Iya, sama-sama, Dek. Lagi rindu
sama yang di Indonesia ya? Apa lagi ada something
trouble?”
“Nggak kok, Kak.”
“Iya sudah. Terlepas ada ataupun
tidak. Itu adalah privacy-mu. Kakak
hanya akan andil di kehidupannmu dan naskah-naskahmu sekarang. Karena menjagamu
adalah amanah.”
“Apa?”
“Ehm,.. tak usah dibahas. Ayo
sekarang ke kantin. Sudah lapar, kan?”
Kak Arya bangkit dari duduknya
dan menarikku menuju kantin. Sementara masih ada ribuan tanda tanya di otakku
terkait kalimat-kalimat terakhirnya.
“Ah, masa bodoh. Biarlah sang
waktu yang menjawabnya.”, kataku dalam hati.
Terkesan sungkan memang. Karena
baru pertama kali ini kami makan berdua. “Astaghfirullah,
semoga hati ini masih bisa menjaga. Masih bisa menganggapnya hanya sekedar
kakak yang diamanahi oleh ayah untuk menjagaku.”, kataku dalam hati, sambil
melahap sendok demi sendok soto ayam khas Lamongan Indonesia yang ada di hadapanku.
Setelah selasai makan, kami kembali ke asrama masing-masing. Tentunya dengan
agenda masing-masing pula.
***
Lagi-lagi aku terbangun oleh
dering handphone-ku. Ku tengok, baru
jam dua. Rasa kantuk ini seakan terus membiusku. Hingga semakin mengangkat my teddy bed cover. Beberapa menit
kemudian, si ungu itu kembali berdering.
“hmmm, siapa sih? Ngganggu istirahatku
saja.”, dengan setengah mata tertutup aku mencoba meraba siapa yang berani menelponku
jam segini.
“Hilmi is calling”
Berat untuk mengangkatnya
mengingat ini masih terlalu dini untuk berkomunikasi dengan lawan jenis. Namun
lebih berat lagi membiarkannya terus menderingkan handphone-ku.
“Assalamu’alaykum, ada apa? Ndak tahu sekarang jam berapakah?”
“ Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuhu. Inggih mangertos. Hanya ingin menguji tuan putri aja. Jam segini
masih bermimpi nyenyak di atas spring bed
apa sedang tersujud khusyuk di atas sajadah cinta .”
Sontak aku lansung terbangun, menengok
jam, kemudian bergegas wudhu tanpa menghiraukan telponnya.
***
Pagi kembali
bersua. Kali ini ia menyapa dengan gemericik hujan. Rinainya masih sama.
Seperti saat masih di Indonesia. Dan sekali lagi membuatku selalu rindu. Ya,
mama. Seorang yang tak pernah jemu melarangku berhujan-hujan ria. Meski aku
sangat bandel dan selalu mencuri-curi betapa nikmatnya ketika air hujan itu
jatuh tepat di wajahku. Bahkan sangat dalam terasa ketika tepat jatuh di bola
mataku. “hmmm, ingin sekali rasanya mengulang kala itu. Mama, sebagaimana Allah
mengalirkan rindu ini dalam hatiku, merasuk menyentuh relungku. Sedalam itu
rindu itu menyeruak menusuk. Pedih. Karena mendapati mama tak ada di hadapku.
“Oh Allah, jam
berapa sekarang?”, mataku terbelalak terpana melihat jam dinding tepat berada
di jam 10.00.
“ Apa? Jam 10.00?
mama, terlalu memikirkanmu di saat-saat seperti ini ternyata menyita hampir 30
menit kuliah structure-ku. Wah, what should i do?”, gerutuku sambil
bergegas menuju kampus. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Ya,
itu kalimat hampir selalu diulang-ulang oleh mama jika syaitan di sekelilingku
mengajakku bermalas-malasan untuk kuliah.
Di depan kelas.
Antara berani dan tidak. Tapi aku tidak ingin kehilangan kuliah ini barang
sekalipun. Ini pertama kali aku telat, dan aku janji ini yang terakhir jua.
“Assalamu’alaykum, “, aku buka pintu
dengan rasa bersalah.
“Mohon maaf,
bapak. Saya terlambat.”
“Iya, silakan
duduk. Jangan terulang kembali. Saya tidak suka jika ada mahasiswa saya yang
terlambat. Ok, mari kita lanjut lagi kuliahnya.”
“ Baik, pak”,
jawabku dan teman-teman sekelas.
***
Mama is calling...
“Assalamu’alaykum, my sweety”, mama
mendahului salam seperti biasanya.
“ Wa’alaykumussalam, tumben mama telepon.
Biasanya ayah.”
“ Zahra nggak
kangen sama mama? Padahal mama kangen banget sama Zahra.”
“ Nggak kangen
gimana? Zahra kangen banget sama mama. Sampai-sampai Zahra telat kuliah
gara-gara memikirkan mama. Melamunkan mama. Tapi sedih banget. Zahra tak
mendapati mama di hadapan Zahra.”, ya aku terisak dalam kerinduan ini.
“ Zahra, Zahra
menangis? Nggak boleh cengeng, nak. Pekan depan mama ke Kairo.”
“ Benarkah, ma?
Kenapa tiba-tiba kesini? Ayah ada meeting
kah disini?”
“ Nggak, mama
yang meminta kesana. Menengok anak mama yang paling cantik.”
“ Ah, mama. I’ll wait for you. Love and miss you so as
always.”
“ Me too, my sweety. Take care there. Give
my best regard to Arya.”
“ Iya, salam buat
ayah ya, ma. Assalamu’alaykum, “
“ Wa’alaykumussalam.”
***
Hari yang
ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Setelah menjalani setahun double degree
dan setahun S2-ku, mama dan ayah baru
menyempatkan datang ke Kairo untuk menjengukku. Tentunya aku sangat bahagia.
Sangat-sangat bahagia. Serasa langit Kairo pun iri melihat bahagiaku.
Aku dan Kak Arya
sudah 30 menit di bandara. Namun mama dan ayah belum nongol juga.
“Duh, kok belum
datang-datang sih. Kan katanya sebelum sebelum ashar waktu Kairo udah nyampe.”,
gelisahku sambir mondar-mandir di depan kak Arya yang sedang duduk di kursi
tunggu.
“Sabar, dek.
Mungkin tadi pesawatnya telat.”
“Tapi, Kak. Mama
nggak bilang apa-apa tadi. Berarti kan lancar-lancar aja.”
“Kita tak pernah
tahu apa yang akan terjadi barang sedetik di depan kita Dek. Sabar ya...”
Aku menimpalinya
dengan tersenyum. Dan berdoa dalam hati semoga mama dan ayah selalu dalam
lindunganNya.
Beberapa menit
kemudian.
“Zahra....!”,
teriak mama dari kejauhan sambil melambai-lambaikan tangan.
“Tuh Dek, mama
dan ayahmu sudah sampai.”, kata Kak Arya seraya berdiri menyambut kedatangan
mama dan ayah.
“Alhamdulillah,
kak”, jawabku sumringah.
“Assalamu’alaykum,
mama, ayah”, sapaku sembari mencium tangan mama dan ayah, juga melayangkan
peluk keduanya. Kemudian disusul Kak Arya dengan salam dan jabatan tangan.
“Gimana nak Arya,
Zahra bandel nggak?”, kata ayah mengawali pembicaraan dalam perjalanan menuju
asramaku.
“Alhamdulillah,
Pak. Nggak bandel kok. Cuma nakal aja.”, jawab Kak Arya sambil terus memacu
mobilnya.
“Yah, Kak. Saya
kan nggak nakal.”, gerutuku di pangkuan mama.
“Maaf ya nak
Arya, kami merepotkan nak Arya terus.”, tambah mama sambil mengelus-elus
jilbabku.
Kak Arya memang
sudah seperti keluarga kami. Meski tidak terikat aliran darah, namun dia sudah
seperti kakakku sendiri.
Setelah sampai di
asramaku, mama membuka oleh-oleh dari Indonesia dan membaginya buat kak Arya.
Mama juga mengajak Kak Arya makan bareng bersama kami untuk pertama kalinya di
bawah langit Kairo. Aku melihat betapa kelembutan dan kasih sayang mama
terpancar dari setiap geraknya menyiapkan makan bersama. Sederhana. Namun cukup
menghidupkan momen yang luar biasa dan dalam makna.
***
Kebetulan banget
kuliahku libur seminggu. Aku bisa menemani mama dan ayah jalan-jalan menyusuri
lorong waktu di Kairo. Menikmati sepotong senja di langit kairo bersama anak
semata wayangnya. Aku.
“Sayang, setahun
lagi lulus S2 kan?”, tanya mama yang terlihat ribet dengan belanjaannya.
“InsyaAllah ma,
mohon doanya.”, jawabku sambil meraih barang-barang mama. Sementara ayah dan
Kak Arya sedang asyik duduk selonjoran di dekat danau.
“Mau langsung
nikah apa gimana?” tambah mama.
“Mama,...”
“Lho kenapa?
Pertanyaan mama salah? Bukannya sekarang sudah usia 22. Eh maksud mama sebentar
lagi 22.”
“Belum tahu ma. Calonnya
belum ada.”, jawabku bercanda.
“Itu putranya
Kang Salim, yang dulu teman SMA-mu. Sekarang udah jadi engineer lho. Banyak
proposal masuk, tapi denger-denger pada ditolak.”
“Hah? Mama kenapa
jadi update berita tentang tuh anak? Nggak penting kali ma.”
“Denger-denger
lagi ya, dia sudah punya calon sekarang S2 di luar negeri. Makanya pada
ditolak.”, tambah mama.
“Haduh mama
kenapa jadi ngobrolin dia sih? Bukannya dulu mama nggak suka sama dia?
Sampe-sampe...”, belum sampai selesai kalimatku mama sudah menimpalinya dengan
ocehannya.
“Itu dulu karena
kalian masih kecil. Lagi pula dalam islam itu tidak ada yang namanya pacaran.
Makanya mama melarang kalian. Toh biarpun dilarang masih komunikasi kan?”
“Mama...”
Bahkan mama tak
memberiku kesempatan untuk membela diri. Justru berjalan meninggalkanku yang
masih mematung kesal mendengar pernyataan mama. Tapi tak ada pilihan lain. Akhirnya
aku mengejar mama sambil sempoyongan membawakan belanjaan mama.
Senja belum lama
pergi. Namun rasanya sudah berjam-jam berlalu meninggalkan kami. Empat pasang
mata
ini rupanya telah mulai lelah. Hingga hanya Kak Arya lah yang masih melek
karena tanggung jawabnya menyetir. Tapi rasa kantuk itu tak dipungkiri
menyelimuti ruas-ruas mata kak Arya. Terbukti beberapa kali kak Arya bersikeras
menahannya untuk menguap. Meski hanya terlihat samar karena aku sendiri sudah
setengah sadar.
***
“Surprise...!!!’’,
mama dan ayah sengaja mempersiapkan semua ini ketika aku bangun unuk tahajud.
“Barakallah,
anakku”, ucap ayah sambil memberikan sebuah bingkisan. Yang kemudian memeluk
dan melayangkan kecupan di keningku.
“Semoga Allah
mempermudah langkahmu menuju kebaikan, nak. Barakallah, semakin berkurang jatah
hidupmu, harus semakin lebih baik dalam segala hal. okey, dear?” , bisik mama
sambil memeluk dan menciumku.
“Ini kado dari
mama.”
“Hah? Ini apa ma?
Besar banget!”
“Udah, dibuka
nanti aja. Tahajud dulu gih.”, jawab mama dan ayah serempak.
“22 tahun. Ya,
jatah hidupku berkurang lagi ya Rabb.”, kataku dalam hati, kemudian berlalu
mengambil air wudlu.
Seperti yang disarankan mama dan ayah, seusai tahajud kubuka kado dari mereka.
"Wah, mama. tahu banget kalau lagi kangen sama teddy bear.", ocehku sendiri di atas ranjang ketika membuka kado dari mama.
"Wah, mama. tahu banget kalau lagi kangen sama teddy bear.", ocehku sendiri di atas ranjang ketika membuka kado dari mama.
"Menghafal quran adalah investasi jika suatu saat mata sudah tak mampu melihat huruf-huruf al quran.", tulis ayah dalam selembar kertas yang tertempel di bungkus dalam kado itu.
"Alhamdulillah, subhanallah, ternyata ayah masih ingat apa yang kulirik setahun yang lalu ketika ke toko buku bersama ayah. ya, qur'an hafalan dengan sampul warna marun. laksana langit senja yang selalu elok di tengah cakrawala."
"Alhamdulillah, subhanallah, ternyata ayah masih ingat apa yang kulirik setahun yang lalu ketika ke toko buku bersama ayah. ya, qur'an hafalan dengan sampul warna marun. laksana langit senja yang selalu elok di tengah cakrawala."
Kucium Qur'an itu dan kudekap dengan memajam mata. Dalam hatiku berkata, "Ayah, Zahra janji akan mewujudkan mimpi ayah, yang selalu ingin putri sematawayangnya menjadi hafidzah."
***
Sore yang luar biasa elok. Menghiasi launching Novelku dan Novel Kak Arya di Gedung Bahasa. Di akhir acara Kak Arya menyampaikan sebuah kalimat yang membuatku surprise.
"Ini adalah kado terindah sepanjang sejarah hidupmu, dek. Akhirnya novelmu terbit juga. Barakallah, ini kado dari kakak.", ucap Kak Arya sambil menyerahkan sekotak kado berbalut bunga-bunga warna ungu kalem.
"Wah, kak, kok tahu? Jazakallah khair. ini berkat kakak juga. Semoga menjadi langkah awal untuk menjejakkan novel-novel berikutnya dalam sejarah hidup saya."
"Aamiin", itulah kata terakhir yang keluar dari Kak Arya sebelum akhirnya kami terpisah.
"Wah, kak, kok tahu? Jazakallah khair. ini berkat kakak juga. Semoga menjadi langkah awal untuk menjejakkan novel-novel berikutnya dalam sejarah hidup saya."
"Aamiin", itulah kata terakhir yang keluar dari Kak Arya sebelum akhirnya kami terpisah.
***
Seminggu telah berlalu. Entah mengapa rasanya ada yang kurang. Meski sepertinya aku telah mendapat semua di sini. Kedatangan mama dan ayah, menghabiskan waktu bersama mereka, menikmati senja di langit Kairo yang romatis. Teddy bear dari mama, Qur'an hafalan dari Ayah, Launching Novelku, juga sepaket Jilbab warna-warna kesukaanku dari kak Arya. Rasanya masih hambar.
"Ah, masak lupa lagi?"
"Nggak sms, nggak telpon, nggak chat, nggak ... ah, dasar! Pasti begitu. Tahun kemarin aja, paling akhir. dengan alibi, "yang terakhir itu yang paling berkesan." arghhh,"
"Ok, lupakan soal itu. dan bersiap ke kampus.", kataku menyemangati diri.
Ketika kubuka pintu kamarku, di depan pinta ada bingkisan lumayan besar dan berat. Aku penasaran dari siapa. Tapi yang jelas teralamatkan untukku. Karena takut telat, akhirnya bingkisan itu hanya aku amankan ke dalam.
Aku hampir lupa dengan bingkisan itu. Setelah seharian berkutat di kampus. Revisi proposal Thesis yang sempat tertunda seminggu karena Dosen pembimbingku ke London. Untungnya tak taruh dekat pintu, jadi ketika pintu kubuka pertama yang kulihat ada bingkisan itu.
Ketika kubuka pintu kamarku, di depan pinta ada bingkisan lumayan besar dan berat. Aku penasaran dari siapa. Tapi yang jelas teralamatkan untukku. Karena takut telat, akhirnya bingkisan itu hanya aku amankan ke dalam.
***
"Astaghfirullah, ternyata dari Hilmi. Dan dikirimnya malah bebarapa hari sebelum hari itu. Namun karena paketan ke luar negeri dan dia tidak memakai yang kilat makanya baru nyampe."
"MasyaAllah, ini sengaja apa sengaja. 3 Buku tentang Muslimah, Fiqh Wanita, dan -Buku Bahagianya Menikmati Pernikahan-" , omelku dalam hati.
"Kamu harus menuntaskan dan membuat resensinya sebelum wisuda."--Hilmi
"MasyaAllah, ini sengaja apa sengaja. 3 Buku tentang Muslimah, Fiqh Wanita, dan -Buku Bahagianya Menikmati Pernikahan-" , omelku dalam hati.
"Kamu harus menuntaskan dan membuat resensinya sebelum wisuda."--Hilmi
"Apa-apa-an ini? Trus apa juga maksudnya Buku merah berbunga ini? Aduh, selalu saja. menambah pekerjaan. Tapi nggak apa dah, hitung-hitung menambah kemampuan meresensi-ku.", kataku pada diri sendiri kemudian melayangkan pesan singkat ke Hilmi.
"Jazakallah khair atas buku-bukunya yang luar biasa MENYIKSA" --Zahra
"Jazakallah khair atas buku-bukunya yang luar biasa MENYIKSA" --Zahra
"Waiyyaki, sekaligus itu untuk mengetes-mu."--Hilmi
"Maksudnya?"--Zahra
"Tunggu saat wisuda S2-mu."--Hilmi
"Ah, tambah nggak ngerti maksud pembicaraannya. Ya, sudahlah.", kataku sambil bersiap untuk istirahat.
***
Masa selalu saja cepat melintasi lorong-lorong waktu. Tak pedulia jiwa-jiwa itu masih tertidur pulas atau berjalan bersamanya untuk melintasi lorong-lorong itu. Ini untuk ke dua kalinya mama dan ayah ke Kairo . Dan untuk pertama kalinya membawa keluarga besar dari Indonesia. Terlebih ada sebuah keluarga yang mama dan ayah bawa juga, Keluarga Hilmi.
Di hari bersejarah ke-dua. Wisuda S2, ternyata merupakan hari bersejarah yang paling bersejarah dalam hidupku. Tak pernah terpikir sebelumnya. Tak pernah terbayang dalam angan. Karena aku hanya berusaha memantaskan diri untuk menjadi the perfect muslimah bagi calon suamiku.
Di hari bersejarah ke-dua. Wisuda S2, ternyata merupakan hari bersejarah yang paling bersejarah dalam hidupku. Tak pernah terpikir sebelumnya. Tak pernah terbayang dalam angan. Karena aku hanya berusaha memantaskan diri untuk menjadi the perfect muslimah bagi calon suamiku.
Meskipun ada yang menyebut diantara kami ada hubungan. Tapi kami tak pernah merasa demikian. Secara Dia ikhwah dan paham agama. Yang hanya akan berpacaran setelah nikah. Dan aku menyepakatinya. Tapi yang namanya jodoh kan ditangan Allah. Bisa jadi orang yang sangat dekat dengan kita bukan jodoh kita. Justru terkadang orang yang tak pernah kita kenal sebelumnya tiba-tiba muncul dan ditakdirkan berjodoh dengan kita. Wallahu a'lam.
Aku hampir tak mengerti maksud mama dan ayah membawa keluarga Hilmi. Keluarga yang ternyata sangat dekat dengan keluargaku setelah keberangkatanku ke Kairo. "Bodoh, kenapa aku tak tahu sama sekali.", pikirku.
Ah, memang, skenario Allah siapa yang tahu. Seketika aku teringat kata-kata mama saat jalan bareng di Kairo sore itu. Tiba-tiba teringat SMS Hilmi, dan buku-buku pemberiannya. Terlebih buku merah berbunga itu.
"Ah, rupanya begini caranya.", hatiku serasa memberontak
"Tapi masa' iya?", Ah, hati ini belum bisa percaya.
"Resensi-mu bagus. Dapat nilai A juga dari Kak Arya.", kata Hilmi yang membuyarkan lamunanku.
"Tapi masa' iya?", Ah, hati ini belum bisa percaya.
"Resensi-mu bagus. Dapat nilai A juga dari Kak Arya.", kata Hilmi yang membuyarkan lamunanku.
"Terimakasih telah mengerjakannya sempurna. Dan inilah jawabannya. Pas wisuda S2-mu. ", tambahnya kemudian berlalu menuju keluarga kami.
Berasa speechless mendengarnya. Tapi jika mama dan ayah merestui dan Dia memang menakdirkanku menjadi istrinya, ya Wallahu a'lam. InsyaAllah ini yang terbaik.
Setelah acara wisudaku, kami, dua keluarga makan-makan dan disitulah semua rahasia terbuka. Secara terang-terangan Hilmi memintaku dari mama dan ayahku. Dan akan melangsungkan pernikahan kami di Kairo juga setelah mendapatkan jawaban dariku.
Setelah acara wisudaku, kami, dua keluarga makan-makan dan disitulah semua rahasia terbuka. Secara terang-terangan Hilmi memintaku dari mama dan ayahku. Dan akan melangsungkan pernikahan kami di Kairo juga setelah mendapatkan jawaban dariku.
Entah mengapa air mata ini tertetes dalam tundukku. Kemudian dari hati ku berbisik pada mama, "InsyaAllah jika memang Hilmi jodoh Zahra, Zahra bersedia ma,"
"Alhamdulillah, Allahu Akbar", sontak Ayah yang mendengar bisikanku diikuti ucapan syukur dan takbir dari seluruh anggota keluarga.
untuk ke sekian kalinya menyapa senja di langit Kairo
"Alhamdulillah, Allahu Akbar", sontak Ayah yang mendengar bisikanku diikuti ucapan syukur dan takbir dari seluruh anggota keluarga.
untuk ke sekian kalinya menyapa senja di langit Kairo
memandangmu dengan tersenyum
berharap suatu saat akan ada kisah bersama seseorang dibawahmu
dan sekarang
berharap suatu saat akan ada kisah bersama seseorang dibawahmu
dan sekarang
aku mendapatinya
bersamamu, Hilmi
di hari penghalalan cinta kita.
bersamamu, Hilmi
di hari penghalalan cinta kita.
--Senja di Langit Kairo
Sejuta kisah bersama Senja di Langit Kairo
Cerpen yang dimulai saat masih Maba, yang semula di setting untuk menjadi sebuah novel. Namun karena keterbatasan waktu dan mood baik, akhirnya kuselesaikan menjadi cerpen.
9.53 l 30 Agustus 2013
@KamarSahabat Ruhul Jadid 1011
*risk*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar