Resume
Buku “Sirah Nabawiyah”
(Drs.
Ajid Thohir, M.Ag)
A.
Komunitas Muslim Mekah Sebelum Hijrah
Ketika Nabi Muhammad
SAW pertama kali menjadi Rasul, beliau telah mampu mengumpulkan dan
membina para pengikutnya dalam wadah komunitas-keagamaan dengan ikatan emosional-spiritual yang sangat kuat. Ikatan itu telah
mencapai lebih dari 100 orang. Bahkan menurut Philip K. Hitty (seorang orientalis), sekitar 200 orang di
luar jumlah penduduk kota Mekah yang diperkirakan berjumlah 25.000 orang.
Meskipun sedikit, komunitas ini mempunyai mentalitas-keagamaan yang stabil dan
kokoh. Hal ini terlihat ketika mereka menerima berbagai tindasan dan kecaman
dari kafir Qurais. Namun mereka tetap bersikeras berpegang pada ajaran baru
(Islam) itu secara konsisten.
Ajaran wahyu yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW secara implisit menentang seluruh institusi masyarakat
yang telah diciptakan dan dijalankan oleh mereka selama ini. Seperti, berjudi,
menyembah berhala, dll. Kehadiran ajaran baru ini, berarti telah menafikan
otoritas kepemimpinan yang telah ada yang dipegang oleh tokoh-tokoh Qurais.
Karena secara implisit, misi kenabian juga mengandung visi kepemimpinan, bahkan
secaraeskatologis sebagai
kehendak Tuhan yang berusaha mengarahkan seluruh pengikutnya menuju petunjuk
Tuhan.
Sejak masa-masa awal tahun 615 M, telah terlihat secara konkret bahwa Muhammad SAW telah menjadi pemimpin komunitas baru itu, dan mereka yang berada di bawah kepemimpinanya secara tak langsung telah membentuk kesadaran kelompok yang terlepas dari berbagai tradisi kelompok Mekah lainnya, seperti fanatik kesukuan (ashabiyah), apalagi pengakuan terhadap kepemimpinan di luar Nabi Muhammad SAW.
Oposisi kelompok kafir Qurais telah mendesak Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya dalam dimensi keagamaan dan sosial. Satu-satunya pelindungnya adalah otoritas klan Banu Hasyim yang diketuai oleh Abu Thalib. Sekalipun demikian, kebencian kelompok Qurais tampaknya tak bisa di halangi oleh kenyataan ini. Mereka terus menerus mendesak Abu Thalib untuk memutuskan hubungan dengan Nabi Muhammad SAW. Negosiasi ini dilakukan oleh Imarah bin al-Walid. Hal ini nampaknya tidak berhasil sehingga mereka membentuk gerakan “proteksionisme ekonomi” pada keluarga Abu Thalib. Gerakan penyiksaan sporadis terus di tingkatkan oleh mereka terhadap komunitas keagamaan yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW. Karena keterdesakan yang begitu berat, pada tahun 615/616 M, Rasulullah SAW tidak lagi menemukan pemeluk baru karena tekanan oposisi yang begitu dasyat. Akhirnya, Nabi Muhammad SAW menganjurkan mereka untuk hijrah ke Habsyah, Etiopia. Karena berdasarkan pengetahuannya, penguasa negeri ini telah memberikan dukungan teologi pada agama Islam. Maka berangkatlah sebelas orang laki-laki dan empat orang perempuan, kemudian disusul oleh 70 sahabat lainnya ke negeri ini dengan fasilitas seadanya, yang dipimpin oleh Utsman bin Affan r.a.
Pada tahun 619 M, Rasulullah SAW mengambil inisiatif untuk mencari dukungan di luar kota Mekah dan yang pertama dilakukannya adalah ke Thaif. Akan tetapi, jalan yang dilalui tidaklah mulus. Nabi SAW malah mendapatkan cacian dari penduduk Thaif. Hal ini terjadi karena mereka melihat agama baru ini mapan dalam aktivitas kehidupan sosialnya. Bersamaan dengan itu, pelindung Nabi Muhammad SAW, Abu Thalib dan Siti Khadijah meninggal dunia akibat tekanan kafir Qurais yang begitu hebatnya. Akhirnya, Nabi Muhammad SAW melakukan upaya-upaya untuk melakukan pengembangan konsepsi dan ajaran teologi dan sosial Islam. Di mulailah upaya tersebut dengan menemui para peziarah haji dari Yatsrib pada tahun 620 M. Akan tetapi upaya tersebut mengalami kebuntuan karena tokoh-tokoh Mekah terus memblokade kegiatan ini.
Pada tahun 621 M, para peziarah tersebut telah menerima ajaran dan kehadiran Rasulullah SAW. Pada tahun itu pula diadakan bai’atul aqabah I yang isinya mengakui kenabian Muhammad SAW, kemudian mereka berbai’at untuk masuk Islam.
Sejak itulah, Allah SWT mengizinkan Rasulullah SAW dan komunitas Muslim untuk berperng melawan kaum kafir yang sebelumnya hanya diwajibkan untuk bertahan, bersabar dari siksaannya, memaafkan perbuatan jahilnya dan berdo’a saja pada Allah SWT atas segala yang diderita.
Pada tahun berikutnya 622 M, disepakatilah adanya kesediaan para sahabat Yatsrib untuk menerima kawan-kawan seiman dari Mekah. Dan itulah diantara isi penting Bai’atulAqabah II.
B.
Komposisi dan Struktur Penduduk Madinah Sebelum Hijrah Nabi SAW
Wilayah Madinah ketika
Islam datang merupakan daerah yang di dominasi oleh kekuatan agama samawi
dan suku tertentu yakni Yahudi. Agama Nasrani masih terbilang minoritas.
Mayoritas klan Arab yang berdomisili di wilayah ini adalah suku Aus dan
Khajraz. Dilihat dri struktur sosial dan kultur mereka, penduduk Madinah lebih
cenderung bersifat heterogen di banding Mekah. Apalagi ketika Islam datang ke
wilayah ini (Yatsrib), semakin menambah komposisi budaya dan agama
masyarakatnya sehingga komunitas-komunitas penduduk Yatsrib pada permulaan Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya menetap di kota ini terdiri dari:
1. Kaum Arab Yatsrib yang telah masuk
Islam (Anshar).
2. Orang-orang Arab Mekah Muslim yang
hijrah (Muhajirin).
3. Penganut paganisme.
4. Kaum Yahudi yang terdiri dari berbagai
suku Yahudi maupun orang Arab yang telah menjadi Yahudi.
5. Penganut agama Nasrani sebagai
minoritas.
6. Golongan munafik yang minoritas.
Dengan demikian, masyarakat islam di Madinah ini selalu berhadapan dengan berbagai komunitas lain dan pluralisme.
Sementara itu, di luar kota Madinah terdapat sejumlah suku yang sering di sebut al-jiwaar (masyarakat tetangga). Mereka adalah:
1.
Suku-suku yang berada di
sebelah barat Madinah dan Mekah:
- Khuza’ah – Aslam;
Ka’ab b. ‘Amr; al-Mustaliq
- Kinanah
– Bakr b. ‘Abd Manaf – Damrah (berikut Ghiffar); Layth; ad-Du’il
- Mudlij
al-Harits b. ‘Abd Manaf (bagian dari Ahabish)
- Muzaynah
- Juhaynah
- Azd Shanu’ah (berikut Daws)
2. Suku-suku
yang berada di sebelah timur Madinah dan Mekah:
- Khuzaymah
(b. Mudrikah; Kinanah anggota dari Khuzaymah) – Asad b. Khuzaymah; (‘Adal,
al-Qarah)
- Tayyi’ (beriku
Nabhan)
- Hudhayl (b. Mudrikah) – Lihyan
- Muharrib (b.
Khasafah)
- Ghatafan
– Ashja’; Fazarah; Murrah; Tha’labah (berikut Anmar; ‘Uwal)
- Sulaym (berikut
Ri’il, Shayban)
- Hawazim
– ‘Amr b. Sa’sa’ah – al-Bakka’; Hilal; Kilab (berikut Qurta’; Uraynah)
- Rabi’ah
- Jusyam; Nasr; Sa’ad
b. Bakr; Thumalah
- Thaqif
(b. MAlik, Ahlaf)
- (Bahilah)
3. Suku-suku yang berdomisili
di sebelah utara:
- Sa’ad Hudaym;
‘Udharah
- Judham
- Quda’ah (termasuk
Jarm, al-Qayn, Salaman)
- Bali
- Bahra
- Lakhm (berikut Dar)
- Ghassan
- Kalb
4. Suku-suku yang berada di
sebelah selatan Mekah:
- Khat’am (yang dekat
dengannya Azd Shanu’ah)
- Mudh’hij
– ‘Ans; Ju’fi; Khawlan; an-Nakha’; Ruha’;
Sa’ad al-‘Ashirah
- Bajilah
- Hamdan
- Al-Ahrits b. Ka’ab
(termasuk Nahd)
- Murad
- Kindah (termasuk Tujib)
- Himyah (termasuk
Yaman)
- Hadramawt
- ‘Akk dan Ash’ar
5. Selebihnya
yang masih berdomisili di sekitar Jazirah Arabia:
- Mahrah
- Azd ‘Uman; ‘Abd
al-qays (di Bharayn)
- Hanifah
- Tamim
- Wa’il – Bakr
(termasuk Shyaban); Taghlib.
C. Konflik Penduduk Madinah Sebelum
Kedatangan Rasulullah SAW
Madinah yang dulu dikenal
dengan sebutan Yatsrib untuk dunia arab, menjadi sangat terkenal setelah
Rasulullah SAW mengembangkan Din-Islam di wilayah ini dan mengganti namanya
menjadi “madinah al Munawwarah.”.
Sejak perwalian Ghassan (masa pemerintah Haris Ibn Jaballah, sekitar tahun 529 M) berminat dan berhasil menguasai wilayah ini, Yastrib masih tetap menjadi wilayah yang otoritasnya berada di tangan suku-suku Arab, terutama suku Aus, dan Khajraz. Secara garis besar, seluruh wilyah Yatsrib lebih tepat untuk digunakan sebagai lahan pertanian dari pada lahan perternakan. Daerah yang paling penting diantaranya adalah Harrah Waqim di bagian Timur serta Harrah Wabarah di bagian Barat. Yatsrib juga merupakan daerah yang paling banyak memiliki lembah, yang membentang dari selatan ke utara, dan yang paling terkenal adalah Wadi Batsan, Mudhainib, Mahzur, dan Aqia.
Akibat berbagai provokasi kaum Yahudi, terjadilah perang saudara yang hebat dan berkepanjangan antara suku Aus dan Khazraj yang terjadi sekitar tahun 617-618 M atau lima tahun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke wilayah ini. Perang ini dikenal dengan nama perang Bu’ats. Pada saat itu Rasulullah SAW mencoba menarik simpati kaum ini, tetapi mereka menolaknya. Sebaliknya suku Aus justru menaruh simpati pada ajakan Rasulullah SAW dan melakukan konsolidasi pada aqabah I dan II.
D.
Hijrah dan Upaya Pembentukan Masyarakat Baru (ummat)
Arti hijrah bagi Muhajirin
bukan berarti pemutusan keterikatan masyarakat terhadap masyarakat tanah kelahiran
dan alam lingkungan yang semula, tetapi yang lebih utama adalah adanya
kesempatan dan harapan baru untuk berubah menjadi anggota masyarakat yang
dinamis yang memiliki hak-hak kewarganegaraan yang sama. Kegiatan hijrah pun
dimulai oleh para sahabat Rasul, bahkan di antara mereka ada yang datang
terlebih dahulu secara sembunyi-sembunyi, dan pemberangkatan selanjutnya secara
berkelompok yang dipimpin oleh Umar
bin Khaththab. Adapun Ali
bin Abi Thalib berangkat
paling akhir. Hal ini merupakan startegi untuk mengelabui, bahkan untuk melihat
sikap akhir para kuffar Mekah atas tindakan Rasulullah SAW.
Dengan ditemani Abu Bakar, Rasulullah SAW mulai memasuki daerah yang disebutQuba, salah satu kawasan pemukiman yang terletak dibagian selatan Yatsrib. Di kota ini Nabi SAW beristirahat serta menginap selama beberapa hari di rumah laki-laki tua yang bernama Kultsum bin Khadam bin Anr al-Qoes al-Aus yang rumahnya bisaa selalu dijadikan sebgai pangkalan pertama orang-orang yang hendak tiba di Yatsrib, sedangkan Abu Bakar menetap di rumah Hubaib bin Isaf atau Kharijah bin Zaid.
Beberapa hari setelah Nabi SAW diterima di kalangan penduduk, beliau membeli sebidang tanah milik dua anak yatim, yakni Sahl dan Suhail bin Amr untuk membangun sebuah mesjid berikut tempat tinggalnya dan untuk sementara waktu Beliau menetap di rumahAbu Ayyub Khalid bin Zaid al-Anshary.
Pada saat itu pula Yatsrib diganti oleh Rasulullah SAW dengan nama “madinatu-rasulillah”. Beliau bersabda “kalian (sejak sekarang) menyebut Yatsrib dengan sebutan Madinah”(H.R.Ahmad). Mengapa nama Yatsrib diganti Beliau? Menurut Isa bin Dinar, istilah “Yatsrib” sendiri mengandung arti “kesalahan” atau “sesuatu yang tidak baik”. Akar katanya dari al-tsarab (kerusakan, mencerca atau mencela) atau al-tatsrib (tempat membuat atau mengambil dosa), sementara Rasulullah SAW lebih menyukai nama yang baik-baik, maka dipilih dan disebutlah untuk wilayah ini dengan nama “al-madinah” (kebaikan). Beliau sangat serius memperhatikan urusan al-ghirasaat, yakni kebijakan-kebijakan tentang pertanian dan mendorong kepada para sahabatnya untuk mengolah lahan pertanian dibidang yang lainnya saat itu.
1. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Madinah
sebagai Pusat Peradaban Islam
Madinah al-Munawwarah merupakan satu-satunya kota yang sengaja diciptakan oleh Nabi
SAW untuk memenuhi berbagai keseimbangan, karena prinsip-prinsip
pengembangannya berasal dari dimensi batini kewahyuan Al-Qur’an dan sains
sakral yang termuat di dalamnya. Sebelum kedatangan Nabi SAW, Madinah adalah
daerah yang subur dan sangat terkenal dengan wilayah-wilayah yang terpisah, dan
masing-masing suku di dalamnya saling bersitegang untuk saling
mempertahankan wilayah kekuasaannya, terutama dari kelompok-kelompok Yahudi dan
Arab dengan cara menciptakan benteng-benteng pertahan yang mencapai 59 buah.
Sejak kedatangan Rasulullah SAW dan terciptanya masyarakat baru, maka pola
kegiatan kesukuan semakin tergeser menjadi bentuk peradaban yang universal atas
dasar ikatan Din-Islam. Dari sini Rasul SAW juga menjadi panutan politik
pemerintahan yang tentunya juga membutuhkan tempat bagi kegiatannya dalam
proses pembinaan umat, baik dalam aspek agama, politik, sosial budaya dan
ekonomi.
Namun setelah Nabi SAW mengadakan pembangunan di wilayah ini, seluruh kuburan telah di satukan di daerah Baqi’ sebagai tempat pemakaman umum bagi seluruh kaum Muslimin di Madinah, khususnya sejak tahun 631 M/10 H. Pembangunan antar daerah yang satu dan daerah lainnya, terutama ke pusat kegiatan Islam di Masjid Jami, tempat Nabi SAW. Rumah-rumah penduduk pun telah mengikuti rute-rute jalan yang telah dibangun agar mempermudah kegiatan sosial mereka dalam membangun peradabannya. Sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ibn Abbas r.a, Rasulullah SAW. Menyatakan, “janganlah kalian saling menyempitkan, bagi seseorang diperbolehkan untuk menyimpan kayu bakarnya di emperan rumah tetangganya, dan bila kalian saling berpapasan di jalanan, maka berilah dia jarak beberapa meter”. Dalam upaya melakukan pertahanan keamanan, penduduk Muslim Madinah juga telah membangun benteng pertahanan atas usul Salman al-Faris, yakni Benteng Handaq berupa parit yang membentang dari benteng Bani Harits sampai daerah al-Madad, benteng Bani Hazm dari Bani Salmah sebelah barat Masjid al-Fath. Rasulullah SAW juga telah menempatkan pos-pos militer sekitar 3 mil di luar kota Madinah, sebagai strategi untuk mempermudah menghadapi musuh dan juga untuk menjaga kedisiplinan mereka. Komandan perang mereka diantarany Usamah bin Zaid dengan setia menunggu berbagai intruksi dari Rasulullah SAW. Sarana lain adalah yang berkaitan dengan keperluan kesehatan masyarakat terutama sebagai penanganan akibat luka-luka peranga yaitu balai pengobatan. Disini terkumpul ahli-ahli pengobatan yang terkenal saat itu dalam lembaga “al-Bimaristanat”yakni orang-orang Madinah yang berpengalaman dalam menangani berbagai penyakit berikut pengobatannya.
Khusus untuk menerima tamu terutama dari delegasi yang datang dari suku-suku luar kota Madinah kaum Muslimin telah menyiapkannya tempat-tempat yang dianggap sangat memadai yang dinamai “dar al- di-fan” atau dar al-adyaf, yang ini lebih populer sejak tahun 11 hijrah. Untuk menjaga kebersihan dan keserasian lingkungan, saran umum yang bisaa digunakan sebagai tempat pembuangan sampah dan kotoran serta tempat penyembelihan dan pemotongan hewan ternak juga telah disediakan secara tersendiri, terpisah dari pemukiman penduduk yang dikenal dengan nama “al-mashani”. Diriwayatkan Abu Yusuf , bahwa Nabi SAW selalu memotivasi seperti ini, “Barang siapa yang bisa mengolah lahan tidur (ihya al-mawat), maka hasilnya adalah milik si pengolahnya, tetapi tidak bagi mereka yang mendapatkannya secara zalim”.
2. Pola Persaudaraan (Muakhkhah) dan
Terbentuknya Nilai Kasih Sayang
Peresmian dan kesepakatan
untuk membangun pola persaudaraan ini di lakukan oleh Nabi SAW di kediaman Anas bin Malik antara kaum Muhajirin dan Anshar
secara berpasangan-pasangan. Seterusnya Rasulullah SAW berpesan kepada setiap
dua orang di antara mereka dengan sabdanya “Bersaudaralah
kalian berdua di jalan Allah, setiap dua orang bagaikan dua bersaudar”.
Bahkan pada konteks selanjutnya, beliau menjelaskan,“di antara dua orang ini
tidak akan saling mencintai di jalan Allah, kecuali di antara keduanya saling
mencintai karena Allah pula, karena di antara keduanya selalu berupaya
untuk saling mencintai saudaranya yang lain”. (H.R. Ibn Hiban dan Hakim dari Anas
bin Malik).
Alasan kebijakan ini begitu penting dilakukan oleh Nabi SAW di Madinah selain sebagai upaya pembentukan kekuatan masyarakat Islam juga secara fragmatis dilakukan sebagai upaya untuk menolong kelompok Muhajirin dalam menopang sendi-sendi kehidupan ekonomi yang kian hari kian mendesak.
E. Pola Kesatuan Antarumat
Beragama dalam bermasyarakat dan Bernegara
1. Dasar-dasar
Keanggotaan Umat Islam Dalam Kesatuan Masyarakat Madinah
Dalam mengidentifikasi
manakah orang Muslim atau non-Muslim, dilakukan dengan dua cara. Pertama, mengarah pada bukti-bukti
individual, yakni dengan meng-Esa-kan Allah SWT dan mengakui bahwa nabi
Muhammad SAW sebagai rasul-Nya. Kedua, menerap pada bukti-bukti
sosialnya, yakni dengan amalan-amalan shalat, zakat, haji, dll.
2. Pluralisme (keragaman) dan
Kesatuan dalam Bermasyarakat dan Bernegara
Madinah merupakan daerah
yang heterogen akan suku dan budaya. Islam sebagai ajaran wahyu sudah
menghormati akan adanya pluralism/heterogenitas itu. Oleh karena itu, pluralism
itu bisa diadikan sebagai senjata untuk memperjuangkan Islam, terutama ketika
masih membutuhkan uluran tangan dalam upaya pembinaan kemasyarakatan.
Dalam kaitan ini pula,
Al-Qur’an banyak menegaskan bahwa pada saat itu begitu banyak ayat turun
berkaitan dengan pembinaan masyarakat. Hal ini secara langsung mempunyai hikmah
yang besar, yakni agar Muslim yang satu dengan yang lainnya bisa saling
mengenal. “Aku jadikan kalian berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar saling mengenal” (Q.S. Al-Hujurat; 13)
F. Karakteristik
dan Sistem Kehidupan Masyarakat Madinah
Watak dan karakteristik
masyarakat Madinah dapat dicirikan sebagai berikut, pertama; adanya
sistem sosial yang bersifat egaliter (persamaan hak). Kedua; adanya sistem persaudaraan yang mapan
yang diikat atas dasar tali agama. Ketiga; munculnya semangat demokrasi dan
keterbukaan. Keempat; adanya sistem musyawarah untuk
mufakat. Kelima;adanya
penghargaan sosial berdasarkan prestasi. Keenam; adanya semangat di kalangan mereka
dalam hal totalitas spiritual keagamaan.
Berikut ini adalah beberapa fakta yang bisa menjelaskan kenyataan yang tumbuh dan berkembang serta yang berlaku di kalangan masyarakat Madinah.
1. Pengakuan terhadap pluralitas
2. Persamaan, Persaudaraan dan kerja sama
sosial
3. Musyawarah
4. Partisipatif dan profesionalisme
5. Penegakan keadilan bersama
6. Amar ma’ruf nahi munkar
7. Tanggung jawab sosial bersama (takaful
ijtima’i)
8. Pelestarian lingkungan hidup
9. Spiritualitas kolektif
G. Tradisi
dan Pranata Sosial Kehidupan Masyarakat Madinah
Masyarakat plural Madinah mempunyai tradisi
kemasyarakatn yang heterogen. Berbagai sistem sosial dan pranata budaya yang
mengikutinya secara tidak langsung terus bermunculan sejalan dengan kebutuhan
dan kreativitas yang mereka lakukan.
Secara sistemis, kekreativitasan tersebut kembali pada akarnya yakni al-Islam; apakah untuk memperkuatnya atau menggambarkannya secara utuh wajah agama ini dalam dimensi sosial budayanya.
Bila dilihat secara makro, lembaga-lembaga kepranataan pada periode ini relative tidak berbeda dengan kondisi sekarang. Secara garis besarnya pranata-pranata sosial tersebut diantaranya adalah:
1. Pranata
Sosial Ekonomi
2. Pranata
Politik dan Pemerintahan
3. Pranata
Militer
4. Komunikasi
dan Interaksi Sosial
Hubungan sosial diantara anggota masyarakat Madinah tampaknya
telah terpola dengan hubungan hak dan kewajiban yang saing melengkapi:
1. Dalam hal tolong-menolong pada aspek kebaikan dan ketakwaan
1. Dalam hal tolong-menolong pada aspek kebaikan dan ketakwaan
2. Saling
mengingatkan dalam hal kebaikan dan memberikan kasih sayangnya.
Semua itu terjadi karena seluruh anggota masyarakat telah menyadari akanpentingnya tolong-menolong dan saling mengingatkan diantara sesame anggota masyarakat.
Abu Dzar al-Ghifari mengatakan, “tidak ada di antara saudara kita yang membenci seorang apabila ia berbuat salah, kecuali ia hanya membenci tindakannya saja”.
*tugas akhir matkul agama islam
#membuka2 file semester 1 ^^
01.04 l 20 Ramadhan 1434 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar