Tertetes air mata ini jika mengingat setiap detik yang
kulalui bersama mereka. Mereka yang telah menjadi saudara senasib dan
seperjuanganku. Mereka yang mengajarkanku tentang indahnya persahabatan.
Mereka, mereka, dan mereka yang sesungguhnya masih kuharapkan selalu bersama
dalam setiap jengkal langkah di perjalanan ini. Namun apatah daya, yang terbaik
untuk kami adalah berpisah.
“ Ukh, kenapa ya, sang waktu itu tak pernah sekali saja
berhenti di suatu masa dimana kita bisa bersama sepanjang masa itu.”, tanya
fillah sedikit berbisik ketika aku, dia, Disa, dan Sofyah berkumpul di
rumahnya.
“ Kita tidak pernah tahu seindah apa rencana Allah untuk
kita. Kita petik hikmahnya saja. Semoga perpisahan ini adalah yang terbaik
dariNya untuk kita jadikan sebuah pelajaran agar kita berkembang menjadi insan
kamil.”, jawabku.
“ Iya, ukh. Anti benar. Mungkin setelah ini frekuensi dan
peluang kita untuk bertemu dan bercanda tawa semakin kecil. Namun percayalah,
meski jauh hati kita dekat kok. Hehehehe.”, sambung Sofyah yang sedikit
mengurangi kekakuan di antara kami mengingat malam ini adalah malam perpisahan
kami.
“ Waduh, waduh, statistikanya muncul tuh... “, tambah Disa
sambil melirikku.
“ Kok ngliriknya ke arah ana sih?”, tanyaku heran.
Keadaan yang semula sudah mulai mencair, kini jadi hening.
Aku tak tahu mengapa. Tapi tiba-tiba hatiku bergetar lembut. Kami saling menatap. Diam, dan semakin
merunduk layu. Aku mulai menyadari maksud Disa. Mata yang berkaca-kaca ini
akhirnya menjatuhkan mutiaranya jua. Aku peluk mereka erat. Benar-benar tak
ingin ku melepasnya. Hingga kami sama-sama terisak.
pagi ini begitu cerah. Sang mentari telah lama merayap
memasukki celah-celah atap rumahku. Ku beranjak dari ranjang. Kubuka kelambu
jendela kamarku. Ku amati bunga-bunga yang selama 17 tahun ini menyambut
pagiku. Ku balikkan diriku, mataku berlari mengamati segala sesuatu yang setia
menemani hari-hariku di kamar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar