Tak Ku Sangka...Bara ini ternyata masih menyala untuk menggerakkan jemari, membiarkannya menari lentik di atas keyboard, menuangkan imaji dalam rangkaian kata-kata. Walau apa yang kutulis masih samar. Belum terlihat nyata. Karena aku hanya mengikuti alur perasaanku. Entah inspirasi tadi datang dari mana dan akan berakhir dimana. Aku tak pernah tahu. Yang jelas inginku terkadang mengalahkan rasa lelah yang mencoba membelenggu. Memenjarakanku dalam kemalasan.Malam ini. Entah. Semangat itu kembali muncul. Kecil bibir ini menyimpul senyuman. Dalam hati sudah mulai menyimpan beberapa rangkaian kata yang berhasil di otak-atik otakku. Meski sesekali kening ini mengerenyit dan mata ini menyipit. Jemari ini masih saja ingin mengetik.
Setelah
ke-3 kakak sepupuku melaju bersama L300-nya menjajakan dagangan ke Bojonegara,
mata ini belum mau diajak beristirahat.
Kusempatkan beberapa menit nongkrong di depan
TV sambil menyantap mie rebus yang sudah mendingin. Mie yang kubuat sejak
mereka pulang dari pasar, lama terbiarkan
begitu saja di meja makan tanpa seorang pun yang menyentuhnya. Tiga gelas teh
dan lima cangkir kopi yang kubuat sekarang tinggal sisa. Ingin tertawa rasanya
jika mengingat candaan kakak sepupuku
bersama seorang sahabat yang membantu menata dagangan tadi. Betapa lucunya
mereka hingga membuatku bolak-balik ke kamar mandi. Bukan sepenuhnya karena
lelucon mereka. Tetapi cuaca dingin di desaku juga mendukung kebanyakan orang
untuk sering ke belakang.
Tiba-tiba
titik kejenuhanku di depan TV berada dalam interval kritis. Kupindah-pindah channel-nya. Tapi tak jua menemukan yang
pas. Ku buka Nokia 6070 yang hampir 3 tahun
setia di sisiku. Tak ada pesan. Ku buka facebook melalui layangan gratis
yang disediakan oleh telkomsel. Kulihat pemberitahuan satu per satu. Ku buka,
saling berkomentar dengan temanku di statusku juga statusnya, dan setelah
beberapa menit kejenuhanku mulai kambuh. Dan lama-lama apa yang dihadapku
semakin samar dan menghilang. Aku tertidur.
***
Nada
ponselku berdering menggugahku dari mimpi. Alhamdulillah aku masih diberi
kesempatan untuk menikmati keagungan dan kekuasaanNya. Seperti biasa pagiku di
02 Februari 2012 ini tak jauh berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Tapi entah
kenapa hatiku agak galau. Ada sedikit kekhawatiran yang tiba-tiba menghujam
jantungku. Ku buka-buka note-ku, apakah ada tugas atau jadwal yang
mengharuskanku datang. Glodak, ternyata deadline
lomba menulis buku “Your Dream Big”
nanti malam. Sementara aku belum mempersiapkan apapun. Semua masih putih.
“Oh, inspirasi datanglah...!”,
kataku dalam hati sambil melihat langit-langit kamarku. Keningku mengkerut,
namun hampir satu jam aku tak jua menemukan sesuatu.
“Aisyah, Umi mau ke sawah, ikut nggak nak?”, teriak Umi dari loteng.
“ Ke sawah? Nggak ah, Umi. Nanti
kepanasan.”, jawabku.
“ Aduh, anak Umi yang satu ini, manja nian kau nak...
padahal di sawah itu tidak panas. Justru Aisyah akan merasakan nikmat Rabb yang
tak pernah Aisyah temukan di kota. Bukankah Aisyah besok sudah berangkat lagi
ke Surabaya.”, tutur Umi sambil
menyiapkan peralatan gepyok padi.
“Hmmm, iya udah, deh. Ane ikut, Umi. Tungguin.”
Aku bergegas mengambil jilbab
dan memakainya. Kukayuh sepeda tuaku menuju sawah bersama Umi.
***
Kupandang
sekitar. Hamparan hijau membentang di sekelilingku. Rumput-rumput di pinggir
jalan bergoyang nan gemulai. Aku iri pada mereka yang senantiasa istiqomah,
masih dan selalu bertasbih pada Sang Khaliq. Aku tersenyum, tulus dari dasar
hatiku, ketika ku tengok ke atas. Kupandang permadani langit yang membiru,
dihiasi burung-burung yang berterbangan dengan kepakan sayapnya yang senada.
Subhanallah, Maha suci Engkau yang telah menciptakan segalanya dengan amat sempurna. Indah rasanya menyaksikan
ribuan petani memanen padi yang telah merunduk malu, siap untuk di petik. Ku
bisa merasakan betapa luar biasa nikmat Allah mengalir pada mereka.
“Dek Aisyah,....”, seorang pria
yang menurut orang-orang bisa dikatakan sempurna memanggilku. Aku berusaha
menjaga hijabku. Aku hanya menenok sebentar. Aku tak mendapati dia seperti apa.
Yang jelas dia adalah seorang pria.
“Dek Aisyah, anti sudah melupakan ana
rupanya. Benar-benar tak ingatkah?”
“Afwan, ana benar-benar lupa. Langsung sebut saja nama sampean siapa? Dan apakah ada yang bisa ana bantu. Soalnya ana sudah ditunggu Umi
dan Abi di pematang.”, jelasku.
“Ana Achmad. Senior anti
di ITS. Ya sudah, mangga jika anti sudah ditunggu. Afwan sudah mengganggu.”
“Ana bi khoir. Afwan.”
***
Perbincangan
singkat dengan Achmad yang mengaku seniorku rupanya sudah diketahui Umi dan
Abi. Ternyata mereka sudah mengenalnya. Dia adalah putra ustadz Imam yang
ternyata satu almamater denganku.
“Gimana nak Achmad, Aisyah?”,
tanya Abi. Sontak aku terkaget.
“Hah, apa Abi? Aisyah tak
mendengarnya jelas.”
“Tak usah kaget begitu. Jika memang
tak jelas, tak usah dijawab.”, ucap Abi tegas.
“Yah, Abi jangan gitu donk. Afwan,
Abi. Ana tak tahu Achmad itu siapa. Dan ternyata Abi mengenalnya.”
“Sudahlah, belum waktunya
membahas Achmad. Biarlah dia membangun peradaban dengan dakwahnya. Dan biarlah
Aisyah belajar mencetak karya sesuai apa yang dia butuhkan.”, kata Umi menengahi.
Sebenarnya
aku masih bingung dengan maksud Abi
dan Umi. Tapi entahlah, aku tak mau
tahu. Yang sekarang ingin kulakukan adalah membantu Umi dan Abi memanen padi.
Kupandangi wajah Umi dan Abi yang mulai menua. Aku tersenyum dan mengucap
syukur dalam hati. masih bisa aku rasakan hangat dan indahnya bersama mereka,
yang suatu saat pasti tak kan kudapati kesejukan dan kenyamanan seperti yang kurasa
saat ini.
“Umi, Abi, Ukhibukhum fillah.”, lirih suaraku dalam nyata. Namun
begitu keras dalam sukma.
***
Sang
fajar telah berdiri di ujung malam. Menyambut nyanyian diam yang mulai terdengar. Hangat sinar mentari
telah merayap, membuka simfoni kehidupan yang begitu luarbiasa. Subhanallah,
tak hentinya hati ini mengucap syukur atas udara yang Kau jual gratis untuk
kuhirup sesukaku. Atas waktu yang masih saja Kau obral untukku berbenah diri.
Meski nista hati ini kian bertambah setiap detiknya. Terimakasih yang tak
terkira untukMu Sang Pemilik nyawaku atas segala nikmat yang Kau beri sampai
detik ini.
“Aisyah, minta oleh-oleh apa
untuk dibawa ke Surabaya?”, tanya Umi menggugah lamunanku.
“Hmm, apa ya Umi? Tak usah repot
Umi.”
“Pasti begitu. Seperti biasa saja
ya, nak. Nanti Umi buatin. Sekarang Aisyah beres-beres saja.”
“Iya, Umi. Syukron.”
Saat
beres-beres aku mendapati HP-ku bergetar pertanda ada sms masuk.
“Bismillah, pagi tak sekedar sepotong waktu. Ia adalah dasar, perintis
kehidupan, penegas tujuan, pendobrak semangat, pencoba niatan, pelaksana
tindakan. Tak ada yang seramah pagi. Dalam heningnya, ia menenangkan. Dalam
segarnya, ia menggairahkan. Dalam hangatnya, ia menggerakkan. Bergegaslah
menyambut sapaan pagi dengan Bismillah.
Shobahul khoir,wahai ukhti yang menjadi tambatan hati ana. Achmad.”
Aku sudah sering mendapat sms
seperti itu. Jadi ku lanjut saja pekerjaanku tanpa sedikitpun memikirkan siapa
pengirimnya.
***
Waktu
begitu cepat berputar, tak terasa ia telah membawaku ke saat dimana aku harus
kembali berjuang memerangi sks demi sks dalam kuliahku.
“Jaga diri baik-baik!”, pesan
kakakku yang mengantarku ke terminal.
“Iya, kak.”
Setelah
memastikan aku sudah naik bis, kakak baru beranjak pulang.
“Hati-hati, Dek. Jangan lupa
kasih kabar kalau sudah sampai. Jangan lupa sholat. Hafalannya kakak tunggu
saat anti libur semester. Jepang
menanti anti, Dek Aisyah Azh Zahra.”
“Iya, kak Fariz, sampai hafal ane dengan isi sms sampean. Sudah nyampai rumah ya? Kilat bener!”
Kak Fariz memang selalu begitu.
Dia kakak sekaligus guru kehidupanku. Dia telah menyiapkan tiket sekaligus
beasiswa S2 ke Jepang untukku. Tapi syaratnya aku harus hafal alqur’an.
Enam jam
dalam perjalanan yang super ekstrim. Berjubel dalam bis masih biasa. Berdiri
Magetan-Surabaya pun tak lagi mengejutkan. Saat-saat seperti inilah rasa
khawatirku menggunung akan hijabku. Aku hanya mampu berdoa semoga Allah
senantiasa menjaganya. Kata-kata Abi selalu terbayang dalam angan, bahkan telah
terpatri dalam sanubariku. “Wanita
muslimah adalah yang menjaga hijabnya dengan rasa senang hati. Sehingga dia
tidak keluar kecuali dalam keadaan berhijab rapi, mencari perlindungan Allah
dan bersyukur kepadaNya atas kehormatan yang diberikan dengan adanya hukum
hijab ini, dimana Allah Subhaanahu wata’ala menginginkan kesucian baginya
dengan hijab tersebut. Allah berfirman yang artinya: “Hai Nabi, Katakanlah
kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu.
dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab:59).”
Senja tiba mewarnai langit di ufuk barat. Mentari mulai tertelan
waktu yang meraja jagat. Sang mega merah hanya tersirat seutas dalam
hamparan permadani langit sesaat. Lalu terang tergantilah
kelam yang hitam pekat. Panggilan cintaNya sudah terdengar bersautan. Bergegas
ku turun dari lyn, segera ku
mengambil wudlu, lalu sholat berjamaah di masjid An-Nur.
“Alhamdulillah,
Aisyah sudah sampai kontrakan dengan selamat.”, aku kirim sms itu ke keluargaku
sambil berjalan ke arah kontrakanku. Setiba di kontrakan, 20 jiwa menyambutku
dengan hangat. Kami saling melepas kangen, kemudian larut dalam canda dan
cerita.
***
“Menjadi melatilah, meski tampak tak
bermakna. Sebab ia akan tebar harum wewangian tanpa meminta balasan. Sebab ia
begitu putih, seolah tanpa cacat. Sebab ia tak takut hadapi angin dengan mungil
tubuhnya. Sebab ia tak ragu hadapi hujan yang membuatnya basah. Sebab ia tak
pernah iri melihat mawar yang merekah segar. Sebab ia tak pernah malu pada
bunga matahari yang menjulang tinggi. Sebab ia tak pernah rendah diri pada
anggrek yang anggun. Sebab ia tak pernah dengki pada tulip yang berwarna-warni.
Sebab ia tak gentar layu karena pahami hakikat hidupnya. Hamasah, nak Aisyah.
Doa Umi, Abi, dan Kakak menyertaimu. Semoga Allah meridhoi langkahmu. Selamat
kuliah hari pertama di semester duamu...:-)”
Sms Umi membangunkanku di sepertiga malam terakhir. Alhamdulillah, aku
masih diberi kesempatan untuk khusyuk dalam keindahan rukuk dan sujud.
“syukron, Umi, insyaAllah Aisyah akan memperjuangkan mimpi Aisyah
karena Allah.”
Seusai
sholat aku balas sms Umi. Kemudian aku buka notebook dan kusempatkan untuk
mengedit tulisanku yang akan kuikutsertakan dalam lomba menulis buku “Your Dream Big”. Karena ternyata
deadline pengiriman di undur hingga akhir Maret. Dan akan diumumkan sebulan kemudian.
***
Waktu
tiada pernah lelah untuk berputar, meski jiwa yang mengikutinya telah pudar. Ia
terus membawaku ke masa-masa dimana aku harus belajar memahami setiap
keadaan yang selalu berubah.
Menyeimbangkan antara akademik dan non akademik bukanlah hal yang mudah. Sibuk
dengan berbagai embanan amanah, yang mulai melenakanku, sedikit demi sedikit
menyihirku untuk malas belajar. Sampai-sampai kuis mata kuliah yang terbilang
mudah pun aku harus mengulang. Terkejut, sedih banget kala itu. Aku benar-benar
merasa bodoh. Aku menangis pada Allah untuk ditunjukkan letak kesalahanku.
Mulai dari itu, aku mencoba meluruskan niatku, yang barangkali terselewengkan.
Aku mencoba benahi management waktu, management energi, dan strategi belajarku.
Hingga aku bangkit dan berhasil kembali ke jalanku.
Sudah
hampir tiga bulan, aku belum mendapat pengumuman tentang lomba menulis buku
kemarin. Ini saatnya pula aku pulang setor hafalan.
“Dek, ada 3 kabar untuk anti?”, nyaring terdengar suara Kak
Fariz di ujung telepon.
“Iya, kakak. Ana tahu.ini saatnya ana setor hafalan kan? Afwan ya kak. Ana masih nunggu pengumuman.”
“Pengumuman apa? Traskrip nilai anti sudah di tangan kakak. Surat pengumuman lomba juga ana bawa.”
“Lho, kok bisa? di web-nya saja
belum ada. Ah, kakak bercanda ya?”
“Tidak, adikku. Kakak tidak
bercanda. Alhamdulillah, pertama, IP anti caumlaude. Kedua tulisan anti “My Dream Big” menjadi juara
pertama, dan hadiahnya adalah beasiswa belajar di negara yang anti impikan. Dan
terakhir, ana tidak bisa berbicara di
telepon. Ana, Umi, dan Abi menunggu anti untuk segera pulang.”
“Kakak, Aisyah tidak mimpi kan?
Alhamdulillah, ana tak menyangka.
Sungguh, janji Allah tak pernah palsu. Tapi, yang ketiga kenapa harus menunggu ana sampai rumah? Ana belum bisa pulang sekarang. Besok pagi masih ada mentoring.”
“Iya, setelah mentoring segera
pulang ya?”
“InsyaAllah, kak.”
***
Pikirku
kalut, hatiku mengkerut. Nampak jelas bahwa aku sedang mengkhawatirkan sesuatu.
Ada apa gerangan keluargaku menyuruhku pulang segera.
“Nak, sebelumnya Abi mohon maaf karena belum pernah
memberitahu anti. Anti masih ingat
nak Achmad? Sebenarnya, sejak anti SMA,
Achmad dan orang tuanya telah mengkhitbah anti.”
“Abi, Aisyah baru mau semester 3, usia ana juga belum genap 20 tahun. Ana
juga belum tahu beliau adalah orang yang seperti apa?”
“Aisyah, anakku, Abi sudah berjanji pada Ustadz Imam sebelum
beliau meninggal. Karena sesungguhnya yang meminta anti menjadi istri Achmad adalah beliau. Sekarang Achmad sudah
lulus S1, tinggal wisuda Oktober mendatang.
Sekarang lagi mengerjakan S2 di ITS juga. Dan mau berangkat ke Jerman
untuk pendidikan S3 nya.”
“Ana tak paham maksud Abi. Ana belum mau menikah.”
“Ya Rabb, sesungguhnya ini
anugerah apa musibah? Jika Dia memang jodoh terbaik dariMu untukku, Aisyah
Ikhlas.”, sesak dada ini mengucapnya dalam batin.
“Abi tahu ini sulit, mangga
istiqarah dulu. Abi yakin jawabanya
iya.”
Aku
hanya terdiam dan berlalu dengan balutan air mata. Kenapa Abi begitu yakin? Abi
bukan Allah yang berkuasa dan berkehendak atas hidup, mati. Dan jodohku.
Manusia bisa berencana, tapi hanya Allah-lah yang mampu menghendakinya. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar