:::oleh-oleh dari diklat jurnalistik:::
Karena menulis adalah tahapan belajar yang penting,
pendidikan kita harus menjadikan kegiatan menulis sebagai kegiatan yang
penting. Perguruan Tinggi perlu mengembangkan penulisan sebagai dharma ke-empat
karena perguruan tinggi paling bertanggungjawab atas kekayaan gagasan sebuah
bangsa.
MENULIS ATAU MATI SAJA !Daniel Mohammad Rosyid*dmrosyid@oe.its.ac.id www.danielrosyid.com
PENDAHULUAN
Studi-studi sejarah dan peradaban
menunjukkan bahwa kemajuan sebuah bangsa tidak ditentukan oleh faktor-faktor
kasat-mata (tangibles) seperti modal
alam (sumberdaya alam dalam bentuk tambang minyak dan gas, ataupun kesuburan
dan keanekaragaman hayatinya), namun lebih ditentukan oleh faktor-faktor intangibles berupa sumberdaya buatan (produced capital) bangsa itu sendiri.
Sumberdaya buatan yang terpenting dan terbarukan adalah sumberdaya manusia
sebagai modal manusia (human capital).
Modal buatan itu antara lain adalah manusia
yang terdidik dan terlatih, serta berkarakter. Modal manusia ini kemudian menghasilkan
ilmu pengetahuan dan teknologi, konstitusi, organisasi dan kelembagaan,
standar, tradisi, desain, sistem mutu, profesi, kode etik, dan sebagainya.
Sebagian besar modal buatan ini hanyalah berupa gagasan yang ditulis dalam
berbagai ragam dokumen-dokumen tertulis/terekam. Bahkan harus dikatakan, bahwa
banyak hal penting dalam kehidupan manusia modern hanyalah dokumen-dokumen dan
gagasan-gagasan tertulis belaka. Segera harus dicatat, bahwa Indonesia hanyalah
sebuah gagasan yang ditulis oleh para founding
fathers kita.
Manusia adalah makhluk simbolik (homo simbolicum), hidup di dua dunia :
dunia fisik dan dunia simbol. Kemampuan melakukan abstraksi simbolik adalah
kemampuan khas manusia yang membedakannya dengan binatang. Kita memberi nama
pada anak kita, binatang, dan benda-benda. Bahasa adalah gejala khas manusia
sebagai spesies. Dengan bahasa kita berpikir. Bahkan, tangan dan jemari tangan
manusia merupakan bukti evolusi puncak manusia sebagai homo sapiens.
Bangsa yang maju adalah bangsa yang kaya
gagasan. Sebagian kekayaan gagasan ini diwujudkan dalam produksi karya-karya
tulis seperti buku dan jurnal. Karya tulis adalah organisasi gagasan secara
simbolik pada sebuah medium. Jepang misalnya, menghasilkan buku-buku baru sebanyak
lebih dari 50 ribu judul/tahun, sedangkan Inggris menghasilkan 80 ribu
judul/tahun. Sementara Indonesia, baru menghasilkan kira-kira baru 10 ribu
judul/tahun. Kondisi ini menjelaskan betapa Indonesia masih menjadi konsumen
gagasan asing.
*Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D adalah guru
besar pada Jurusan Teknik Kelautan ITS Surabaya; Ketua Persatuan Insinyur
Indonesia (PII) Cabang Surabaya; Ketua Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir
Indonesia (
MENULIS : KEGIATAN PRODUKTIF YANG PERTAMA DAN UTAMA
MANUSIA
Betapa kemampuan menggagas sebuah bangsa
akan menentukan nasibnya ditunjukkan oleh fakta bahwa semua karya manusia yang
kita kenal semula diawali oleh gagasan. Mengggagas merupakan kemampuan khas
manusia, yang membedakannya dengan binatang dan komputer. Kata-kata bijak
mengatakan bahwa “manusia diciptakan sebagai bayangan Tuhan”. Sekalipun manusia
adalah makhluq –yang diciptakan- ciptaan Al Khaliq –sang Pencipta-, Tuhan
menganugerahkan kapasitas menggagas sebagai modal mencipta.
Gagasan itu sebagai hasil olah pikir dan
olah rasa manusia, kemudian diwujudkan melalui olah tangan. Segera harus
dicatat, bahwa bentuk dan anatomi tangan manusia menunjukkan tingkat evolusi
spesies paling tinggi. Tidak ada spesies dengan kemampuan manipulasi fisik
seperti manusia, termasuk daya rusaknya bagi alam semesta ini. Hasil olah
tangan tersebut selanjutnya dilanjutkan dengan visualisasi gagasan tersebut di
atas sebuah medium dalam bentuk gambar di atas batu, kulit, kayu ataupun daun
lontar.
Menulis adalah kegiatan produktif pertama
dan utama manusia. Perkembangan peradaban, seperti perjanjian-perjanjian,
pencatatan peristiwa-peristiwa penting (sejarah), pencatatan
transaksi-transaksi, selanjutnya membutuhkan bukti-bukti tertulis karena gambar
saja tidak memadai. Hal ini menunjukkan bahwa gagasan dan peristiwa-peristiwa
itu selanjutnya ditulis dalam bentuk sistem penulisan tertentu yang
dikembangkan sebagai bagian dari sistem berbahasa bangsa tersebut.
Disamping untuk kepentingan pencatatan, bahasa
adalah alat berpikir. Dalam konteks ini maka menulis membantu mengorganisasikan
pikiran dan gagasan manusia ini agar lebih mudah dipahami –sekaligus mudah
diingat-. Ilmu pengetahuan adalah hasil organisasi gagasan semacam ini.
Menulis merupakan tahapan belajar yang
penting. Jika belajar adalah sebuah proses memaknai pengalaman, maka proses
belajar dapat diibaratkan sebagai sebuah siklus, sebut saja “siklus belajar” (learning cycle). Siklus belajar ini
tersusun dari empat komponen, yaitu “praktek/mengalami-membaca-menulis-bicara”.
praktek ® baca
¯
bicara ¬ tulis
Gambar 1. Siklus Belajar
Penting untuk diperhatikan bahwa praktek
atau pengalaman merupakan komponen belajar yang penting. Salah satu ciri
manusia berkarakter adalah “satu kata dengan perbuatan”. Menulis juga merupakan bagian penting dalam
pembentukan karakter masyarakat. Dengan memperhatikan siklus belajar dalam
Gambar 1, perhatikan siklus karakter dan siklus kebenaran dalam Gambar 2 dan
Gambar 3 berikut :
bukti ® cari
amanah ® jujur
¯ ¯
sebar ¬ rancang peduli
¬ cerdas
Gambar 2. Siklus Kebenaran Gambar 3. Siklus
Karakter
APA KONSEKUENSINYA JIKA MASYARAKAT TIDAK MENULIS ?
Masyarakat yang tidak menulis adalah
masyarakat yang tidak mampu memanfaatkan kekayaan gagasan-gagasanya sebagai
kekayaan intelektual. Gagasan-gagasan ini karena tidak ditulis dan
didokumentasikan akan hilang dan dilupakan, selanjutnya masyarakat seperti ini
akan kehilangan jati dirinya karena masyarakat seperti ini tidak memiliki
sejarah.
Indonesia sebagai gagasan juga terancam
eksistensinya jika masyarakat gagal menarasikan Indonesia dalam berbagai bentuk
medium. Pengalaman meng-Indonesia yang pahit, menyesakkan, dan menyengsarakan
akan menyulitkan masyarakat Indonesia yang majemuk untuk mampu menarasikan
Indonesia. Yang lahir adalah narasi-narasi kedaerahan yang sempit.
Masyarakat yang tidak menulis adalah
masyarakat yang tidak produktif karena malas menghasilkan gagasan-gagasan.
Masyarakat seperti ini akan menjadi masyarakat konsumtif, termasuk konsumtif
iptek dan budaya. Dia akan menjadi masayarakat yang menonton, bukan masyarakat
pemain peradaban.
Masyarakat yang tidak menulis akan menjadi
masyarakat yang terbelakang, karena menulis adalah bagian yang penting dalam
belajar, baik di tingkat individu maupun di tingkat masyarakat. Artinya,
masyarakat yang tidak menulis akan menjadi masyarakat yang tidak belajar. Belajar
adalah sebuah proses memaknai pengalaman atau praktek. Proses memaknai ini
mensyaratkan membaca dan menulis.
Masyarakat yang tidak menulis akan mudah
terjebak dalam budaya bohong. Praktek merupakan pembuktian kebenaran, sedangkan
membaca adalah mencari kebenaran. Menulis adalah merancang dan menegakkan
kebenaran. Plagiarisme dihukum berat dalam masyarakat yang membaca dan
menulis. Penting untuk dipahami bahwa kebiasaan
membaca dan menulis adalah dua kebiasaan yang erat kaitannya dan penting dalam
pembentukan karakter. Perhatikan juga bahwa belajar mensyaratkan praktek atau
berkarya.
HAMBATAN-HAMBATAN DALAM MENULIS
Hambatan menulis sebagian besar tidak
disebabkan oleh hambatan fisik, namun lebih bersifat mind-set atau cara berpikir. Pertama, secara tidak disadari, bangsa
Indonesia dididik untuk tidak menghargai bahasa. Kita secara terlalu dini
diberi ide bahwa yang penting itu adalah matematika, dan ilmu alam. Ilmu
sosial, terutama bahasa dan sejarah, bukanlah bidang yang penting dan
bergengsi. Salah satu akibatnya adalah kita gagal menjadi pengguna aktif bahasa
Indonesia, apalagi bahasa asing. Kita juga masyarakat yang tidak peduli
sejarah.
Akibat lainnya adalah bidang-bidang yang
memerlukan kemampuan berbahasa yang baik dan logika yang kuat seperti hukum,
tidak diminati oleh anak-anak yang paling berbakat. Keamburadulan hukum dan
sistem perundang-undangan nasional kita sebagian disebabkan oleh kenyataan
bahwa mereka yang berprofesi hukum bukan berasal dari anak-anak yang paling
berbakat.
Kedua, pendidikan kita terlalu memuja cara
berpikir otak kiri, yang analitis, crispy
dan sikuensial. Padahal menulis adalah sebuah proses mendisain, sebuah proses
sintetik, fuzzy, kreatif yang
memerlukan dukungan otak kanan. Otak kanan adalah sumber gagasan, sementara
otak kiri menerjemahkannya dalam bahasa dan ditulis oleh tangan (kanan).
Pendidikan kita juga semakin informasional
tapi kurang experiential. Banyak teori tapi kurang praktek atau pengalaman. Pendidikan
kejuruan dinilai lebih rendah daripada pendidikan akademik. Pekerjaan manual
dianggap lebih rendah daripada pekerjaan otak. Padahal gagasan lebih banyak
muncul melalui pengalaman dan praktek.
Hambatan ketiga adalah lingkungan yang
tidak kondusif bagi ekspresi diri dan pikiran bebas. Ketakutan mengekspresikan
kebenaran juga menjadi hambatan. Proses pembelajaran di sekolah dan kampus
masih berpusat pada guru, bukan pada murid. Sekolah dan kampus belum menjadi
tempat yang longgar untuk penjelajahan gagasan2 baru. Tugas menulis atau “mengarang”
jarang sekali diberikan. Bahkan di Jawa Timur kata “mengarang” memiliki
konotasi negatif.
Hambatan ke-empat adalah kesombongan, yaitu
keengganan untuk berbagi ilmu dan pengalaman melalui karya tulis bagi masyarakat yang lebih luas.
Seolah menulis akan mengurangi rezeki sang penulis.
Hambatan kelima adalah kurang percaya diri,
atau takut dianggap sombong atau ingin menonjolkan diri. Padahal dengan menulis
justru kepercayaan diri tumbuh. Penulis sering disebut “author”, berarti “man of
authority”, orang yang berwenang atau memiliki otoritas (akademik).
Hambatan keenam adalah penjajahan rezim multiple-choices yang banyak dipakai
dalam proses evaluasi pendidikan di Indonesia. Model evaluasi ini menghancurkan
kemampuan-kemampuan kreatif, fuzzy, dan sintetik peserta didik.
PENUTUP
Jika mendidik adalah menumbuhkan kesetiaan
pada kebenaran dan menginspirasikan keberanian berkarya bagi sesama sebagai
bukti iman, maka membaca adalah latihan mencari kebenaran, dan menulis adalah
latihan menegakkan kebenaran. Jelas, bahwa budaya membaca dan menulis adalah
bagian penting dalam pembentukan karakter.
Karena menulis adalah mendisain, maka
penting untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan kreatif melalui penguatan
kegiatan berbasis otak-kanan. Pendidikan musik, seni, dan olah raga adalah
penting untuk mengaktifkan otak kanan ini. Fungsi utama tangan manusia adalah
untuk menulis sebagai bentuk evolusi puncak spesies manusia. Menulis dengan
demikian adalah bentuk syukur kita sebagai manusia, dan bukti kesetiaan kita
pada kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar