Teringat masa kecilku
Kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu
Buatku melambung...
hidup ini ibarat melukis pelangi bagi jiwa-jiwa pembelajar yang haus akan ilmu |
Lirik lagu yang sukses
dibawakan oleh ADA BAND ini memang benar-benar membuatku melambung tinggi jika
mengingat masa-masa indahku sewaktu kecil. Setiap detik terasa berjalan begitu
cepat. Bahkan teramat cepat membawaku tumbuh dewasa. Ingin rasanya
masih selalu bisa bermanja-manja di pangkuan bunda. Ingin rasanya tetap
merengek minta dibelikan sesuatu oleh ayah. Ingin rasanya selalu menang dari
kakak-kakakku, walaupun akulah yang kalah.
Sekarang, usiaku sudah 18
tahun. Aku telah menyelesaikan beban study-ku di SMA. Dan bersiap
untuk menghadapi jenjang selanjutnya. Setahun yang lalu, ketika teman-temanku
sibuk membicarakan tentang kuliah. Mungkin akulah yang sangat merasa minder.
Saat setiap orang yang kutemui menanyakan pertanyaan yang sama, ” Habis ini mau
nerusin kemana?”, aku hanya tersenyum dan menjawab, ” Belum tahu nantinya
bagaimana.”. Terkadang justru bunda atau ayah yang sigap menjawab, ” Biar kerja
saja. Tidak ada biaya untuk menguliahkannya”. Aku hanya bisa pasrah. Inginku
aku kuliah. Tapi jika keadaan memaksaku untuk kerja dahulu. Aku ikhlas.
Kutabah-tabahkan hatiku di hadapan ayah dan bunda.
Namun aku bukanlah seorang
yang hanya duduk terpaku menunggu hujan yang tumpah dari langit. Aku berusaha
mencari-cari info tentang PTN dan beasiswa. Hampir setiap hari aku ngikut
temanku ke ruang BK. Berharap ada sesuatu yang aku dapat. Seminggu sekali Bu
Ika, salah satu guru BK juga masuk ke kelas untuk memberikan info dan motivasi.
Beliau benar-benar menyihirku dengan kelembutannya, memotivasiku bahwa tidak
ada yang tidak mungkin selama kita mau berusaha.
Seiring berjalannya waktu, aku
terinspirasi oleh perjuangan kakak kelas demi kuliahnya. Hal itu membuatku semakin
bangkit dan optimis, ”Jika orang lain bisa, kenapa aku tidak?”.
Sejak saat itu, aku selangkah lebih maju. Aku sudah mulai berani menjawab
pertanyaan orang-orang dulu, ” Pados
beasiswa rumiyin, menawi mboten angsal, nggih nyobi kuliah nyambi kerja.”
8 Mei 2011, telah datang masa
dimana kelasku diberi kesempatan untuk untuk melakukan pendaftaran online di
ruang TI.
” Nanti kelas kamu. Tolong
dipersiapkan semua. Beritahu teman-teman lainnya!”, kata Pak Ferdy yang
kebetulan lewat depan ruang kelasku.
” Iya, pak. Akan saya
sampaikan. Terimakasih atas info yang bapak berikan.”, jawabku sembari tergesa
karena takut terlambat menginjakkan kaki di lapangan. Walau aku sudah sering mendapat
bonus push-up dan lari keliling
lapangan jauh lebih banyak dibanding teman-teman.
” Non, sudah foto belum? Dalam
soft-file saja, kan nanti kita online.”, tanya Defi di sela-sela obrolan kami.
” Ya, benar itu. Yang belum
buruan foto, setelah olah raga kita meluncur ke ruang TI. Sudah ditunggu
katanya.” jawab Sita.
” Hayoo, ditungggu siapa?”,
gurauku merubah keseriusan mereka menjadi tawa yang membahana lepas dalam
lapangan.
” Husssttt, jangan
keras-keras. Lihat itu! Pak Arif sudah berpose serius.” tambahku.
Sejurus kemudian, peluit Pak
Arif berderu melengking menggugah kesibukan kami semua untuk segera berkumpul
memulai kegiatan. Seperti biasa, Pak Arif mengabsen kami dan memotivasi,
sekaligus mengingatkan kami bahwa ujian nasional di depan mata. Akan merugi
bagi siapa saja yang tidak mempersiapkannya dengan matang. Karena hal itu akan
menjadi salah satu kunci untuk membuka pintu masa depan. Masa yang tentunya
akan jauh lebih sulit dari ini.
***
” Kalau sudah siap segera ke
ruang TI.”, amanah setiap guru BK yang berlalu lalang di luar kelas. Mereka
disibukkan oleh kami semua yang akan melalukan pendaftaran online untuk jalur
pertama, SNMPTN-undangan. Baik yang reguler maupun yang bidik misi.
Untuk kelasku, hanya ada 11
anak yang mengikutinya. Kami pun kompak, saling bekerja sama layaknya
kesebelasan sepak bola. Dengan mengucap basmalah kami melangkah masuk ruang TI.
Dinginnya AC menambah nervous-nya hati kami. Setelah duduk di
muka komputer. Ku hela napas panjang. Kupejamkan mata seraya berdoa, semoga Allah melancarkan hajad ini dan
meridhoinya. Aku tak tahu bagaimana dengan teman-teman. Tapi kurasa mereka juga
melakukan hal yang sama.
” Aduh, bagaimana ini? Aku tidak tahu tahun kepemilikan tanah
keluargaku.”, keluhku pada Yula dan Susan. Karena kebetulan kami bertiga terdaftar sebagai
pelamar beasiswa bidik misi.
” Aku juga tidak tahu. Aku mau telepon ibuku.” jawab mereka
bergantian.
” Aduh, di rumah tidak ada HP.
Ayah dan bundaku kurang mengenal teknologi.”
” Coba hubungi tetanggamu!
Siapa tahu ada yang bisa membantu menanyakannya pada nenek atau bundamu.”,
tambah Susan.
” Iya, memang hanya itu yang
bisa kulakukan sekarang.”
” Semuanya harus dilengkapi
ya. Diperiksa kembali jika sudah selesai untuk pengisian biodata. Terutama yang
bidik misi.”, nasehat Bu Inda.
” Iya, bu.”, jawab kami
serempak.
Semua yang ku-sms tidak
kunjung membalas. Aku coba
mengingat tahun kelahiran alm. Kakekku, sebagai pemilik tanah keluargaku. Aku terus mengingat-ingat, dan akhirnya
sedikit memberi titik terang. Aku tersenyum-senyum sendiri karena bahagianya.
Setelah selesai mengisi formulir biodata. Kami mulai meng-upload foto. Selanjutnya meng-upload
piagam atau sertificat bagi yang
memilikinya.
” Risa punya piagam atau sertificat nggak?”, tanya Pak Ferdy yang
kebetulan mengunjungiku.
” Punya, Pak. Tapi di kelas.”
” Diambil sana. Saya tunggu.”
” Baik, pak.”
Aku segera ke kelas untuk mengambilnya. Bu Ida terlihat sedang memberikan catatan sub-bab
pertidaksamaan logaritma dan memberikan soal-soal latihan ujian nasional. Setelah mendapat ijin masuk. Aku segera mengambil map biruku dan ijin keluar
kembali. Aku sempat dijadikan canda oleh teman-teman. Beruntung Bu Ida ada di
pihakku. Beliau justru mendoakan dan menyemangatiku di depan teman-temanku.
Setelah keluar aku segera bergerak cepat kembali ke ruang TI. Samar-samar masih
terdengar gurauan teman-temanku yang ada di dalam kelas tadi. Dalam hati aku
tersenyum. Mereka benar-benar membuatku bersemangat.
” Mana, Ris?”, tanya Pak
Ferdy.
” Ini, Pak.”
Pak Ferdy segera merengkuh map
dari tanganku. Beliau memilah-milah piagam dan sertificat-ku. Membuka pengait dengan susah payah dan membawanya kepada Pak Dika untuk di-scan.
” Ditunggu dulu ya. Nanti
mintalah ke Pak Dika.”
” Iya, Pak. Terimakasih.”
Sembari menunggu hasil scanning, aku sempatkan untuk berkunjung
ke komputer teman-teman. Aku lihat teman-teman yang reguler sudah mulai memilih
PTN dan prodi di masing-masing PTN.
” Risa...”, panggil Pak Dika.
” Iya, pak.”
” Wah, flashdisk kamu ternak virus ya?”
” Ah, yang benar saja, pak.
Tadi tidak terdeteksi kok.”
” Ya sudah, ini tinggal di-upload saja.”
” Iya, pak. Terimakasih.”
Aku kembali duduk di tempatku
dan mulai meng-upload piagam dan sertificat-ku. Walau tidak terlalu
membanggakan. Hanya dalam tingkat kabupaten, karisidenan dan tingkat
sekolah. Tapi ku harap bisa membantuku untuk lulus seleksi.
” Maaf, Pak Dika, file-nya tersembunyi semua. Virusnya
membludak ini.”, rengekku.
Pak Dika menghampiriku, dan
akhirnya beliau membantu meng-upload-kannya.
” Sudah, tinggal ditunggu
saja.”
” Iya, pak. Terimakasih.”
Sudah berjam-jam aku menunggu,
tapi satu piagam saja belum kelar. Sementara ke delapan temanku sudah mulai
meninggalkan ruang TI satu per satu. Tinggal aku, Yula, dan Susan. Yula ada
masalah dengan pilihan prodi-nya. Sementara aku dan Susan masih meng-upload piagam.
” Astagfirullah, ya Allah,
punyaku lemod banget, Ris.” teriak
Susan dari seberang.
” Ya, kamu masih beruntung,
San. Hanya lemod. Sini koneksinya putus nyambung-putus
nyambung.”
” Ya Allah, bagaimana ini,
San? Koneksi terputus.”, tambahku.
” Coba pindah sini.”
Aku coba pindah komputer. Tapi
tidak lebih baik dari yang tadi. Aku menguatkan hatiku untuk bertahan. Berharap
keajaiban datang kepadaku. Alhamdulillah, satu piagam sudah ter-upload. Menuju piagam ke dua.
Astagfirullah, aku sudah melewatkan banyak jam pelajaran.
” Ris, bagaimana? Sudah
selesai?”, tanya Bu Ika yang baru datang. Beliau adalah guru BK kelasku.
” Belum, Bu. Ini justru tidak
terkoneksi dengan internet.”
” Sabar, sayang. Biar dilihat
Pak Dika dulu.”
” Hmm, hampir seharian saya di
sini. Saya lanjutkan di warnet luar saja, bagaimana, Bu?”, kali ini aku
benar-benar merengek. Air mataku hampir saja terjatuh. Raut mukaku memerah. Aku
mengeluh di pangkuan Bu Ika. Susan pun sama. Hanya dia masih bertahan pada
tempatnya. Berharap keajaiban datang juga padanya.
” Aduh, kok menangis ini,
bagaimana?”, ledek Bu Enggar.
” Lha, bagaimana? Internet-nya
tidak bisa begitu.”
” Sudah-sudah, nangis beneran,
repot nanti.”, kata Bu Ika.
” Sini, kamu lanjutkan di
laptop saya saja.”, tawar Pak Ferdy memberi solusi.
” Alhamdulillah, sana
flashdisk-nya diberikan Pak Ferdy. Nggak usah nangis.”, hibur Bu Ika.
” Senyum ta?”, tambah Bu
Enggar.
Aku hanya tersenyum dan
memberikan flashdisk-ku pada Pak Ferdy. Spontan Bu Enggar berdiri dan
memberikan kursinya untukku. Dalam hati aku mengucap syukur alhamdulillah.
” Terimakasih ya, Bu Enggar.”,
ucapku malu-malu.
” San, kamu bagaimana?”, tanya
Bu Ika.
” Tidak tahu, bu. Ini juga
tidak bisa.”, jawabnya.
” Kamu ambil laptop ibu di
ruang BK saja. Biar cepat.”
” Baik, bu.”
Akhirnya Susan pergi ke BK
bersamaku. Sementara Yula
kembali ke kelas dan mengabaikan kesalahannya. Karena sudah terlanjur tidak bisa diganti. Sebagai
pelamar beasiswa bidik misi, seharusnya hanya boleh memilih satu PTN dengan dua
prodi dalam PTN tersebut. Tapi dia memilih dua PTN dengan dua prodi untuk PTN
pertama dan satu prodi untuk PTN kedua. Ketika itu dia baru sadar kalau dia
keliru. Tapi mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Dia hanya bisa
berharap hidayah dari Allah datang untuk menolongnya.
***
Benar yang kuperkirakan. Aku
hanya mengikuti pelajaran olah raga saja. Selanjutnya enam jam mata pelajaran
yang kesemuanya masuk ujian nasional program IPA, kukorbankan demi untuk
mendapatkan satu kunci yang semoga bisa membukakan pintu masa depan, setelah
pintu kelulusan terbukakan. Aku memang sempat menaruh kecewa. Tapi sekali lagi
Bu Ika menghiburku, ” ini juga demi kebaikan masa depanmu, Ris. Saya kira
bapak/ibu guru memahaminya. ”
Seusai sholat dzuhur, aku
menyempatkan diri untuk memberitahu wali kelasku, Bu Rita. Yang kebetulan
beliau akan melaksanakan sholat dzuhur.
” Ibu, jadinya saya di ITS.”
” Oh, iya tidak apa-apa. Bagus
itu, jurusan apa? Statistik?”
” Iya, Ibu. Saya jatuhkan
pilihan saya pada statistika ITS. Mohon doa restu ibu.”
” InsyaAllah, Ris. Kamu juga,
mintalah pertolongan hanya pada Allah SWT. Karena Dialah yang punya segalanya.
Senantiasa mendekatlah padaNya. Terutama dalam waktu-waktu yang
ijabah.”
” Iya, Ibu. Terimakasih.”
***
Waktu berputar bak angin
topan. Secepat kilat membawa kami pada hari dimana kami semua, siswa-siswi
SMA/SMK/MA secara nasional berperang dengan puluhan soal dalam ujian nasional,
18 April sampai 21 April 2011. Kali ini Depdiknas menyediakan enam stamp soal yang berbeda. Lima kode
diujikan, satu kode sebagai cadangan. Kami merasa dijadikan kelinci percobaan.
Karena semasa SMP dulu, pelajaran IPA dimasukkan dalam ujian nasional, padahal
sebelumnya tidak. Sekarang ada enam stamp
soal berbeda, sedang tahun kemarin hanya dua stamp soal. Tapi jika kami mau berpikir idealis. Sesungguhnya semua
itu dilakukan demi kebaikan kita bersama dan demi peningkatan mutu pendidikan
Indonesia. Tapi tetap saja ada oknum-oknum tertentu yang menyiasatinya dengan
kecurangan, seperti halnya mencontek. Hal itu sudah bukan menjadi rahasia lagi. Padahal jelas-jelas mencontek
adalah suatu bentuk kecil dari korupsi. Dan hal itu bisa saja merusak moral kami semua sebagai penerus bangsa. Tapi
semoga semua disadarkan olehNYa, bahwa itu bukanlah hal yang baik untuk
dilestarikan. Bahwa jika kami mau berusaha, belajar, dan berdoa, serta percaya
bahwa Allah SWT selalu bersama kami, menolong kami dalam setiap hal yang kami
lakukan. InsyaAllah semuanya akan menjadi mudah.
Empat hari menjelang ujian,
aku harus berperang dengan sakitku. Aku benar-benar drop kala itu. Tapi aku beruntung, ada Bu Ika yang berkenan menelponku hanya untuk memotivasi, menasehati, dan
menghiburku. Aku sangat berterimakasih pada beliau. Beliau mengingatkanku pada seorang ibu yang begitu
perhatian padaku saat SMP. Mereka memiliki kemiripan. Walaupun Bu Ika baru aku
kenal saat aku sering ke ruang BK. Tapi aku merasa seperti sudah mengenalnya
lama.
Pagi bukanlah sekedar potongan
waktu. Tapi pagi adalah sumber semangat untuk menjalani satu hari, yaitu hari
ini. Bunda telah menyiapkan
segala keperluanku. Mungkin karena aku sakit, bunda lebih mengkhawatirkan diriku. Walau ujian dimulai pukul 08.00 WIB, tapi kami
berangkat lebih dini. Kami setiap harinya akan melaksanakan sholat Dhuha,
sholat hajad, dan sholat taubat secara berjamaah di Mushala sekolah. Berharap hidayah dari Allah datang untuk menolong kami
semua.
Walau harus berjuang dalam
keadaan sakit, tapi alhamdulillah semua berjalan lancar. Sekarang hanyalah doa
yang bisa kami haturkan sebagai penyempurna usaha kami. Berharap keindahan yang
Dia janjikan akan datang.
***
Waktu benar-benar tidak lelah
berputar, meski jiwa-jiwa yang mengikutinya satu per satu memudar. Senin, 16
Mei 2011, serempak di berbagai sekolah se-Indonesia akan mengumumkan lulus atau
tidaknya siswa-siswi mereka. Sejak pagi, banyak sms dari teman-teman terkait
hal tersebut. Semua mengharap kabar gembira. Begitu juga denganku. Tapi hatiku
sudah yakin. Sekolah kami pasti lulus 100%.
Tepat pukul 10.00 WIB, banyak
sms masuk yang mengabarkan, ” Alhamdulillah, lulus.”
Hati kami tidak serta merta
tenang. Karena ada yang lebih membuat kami was-was dibanding kelulusan. Dimana hal itu kan menjadi titik awal perjalanan
kami. Titik awal yang kan mengubah hidup kami menjadi lebih baik. Ya, tentunya
dengan belajar di jenjang selanjutnya. Mendalami apa yang pernah kami dapat,
mengembangkan, serta menyempurnakannya dengan ilmu-ilmu baru yang kan kami
peroleh. Karena sejatinya hidup itu adalah untuk belajar. Dan sejatinya ilmu
jua pun tak pernah mati. Ia akan terus bersama jiwa-jiwa pembelajar dan
penebar. Sebagaimana sebuah pengalaman mengatakan, bahwasanya ketika ilmu itu
kita bagi kepada orang lain, maka Allah akan mengalirkan kembali ilmu itu pada
kita lebih dari apa yang kita bagi pada mereka. Hingga darinya kita mampu
melukis pelangi-pelangi nan indah merona dalam dunia dan akherat kita.
Wallahu’a’lam bisshawab.
Satu titik yang mengawali jejak kita sebagai sang pembelajar, akan menjadi
kalimat-kalimat bermakna nan manfaat sepanjang kisah kita dalam melukis
pelangi. Dalam perjalanan menuju cinta-Nya yang Abadi.
Kolong langit, 23.05, Jumat, 12 Rabiul Akhir 1434 H
-Riskha Tri Oktaviani-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar