Aku
bercengkrama dengan jingganya sang senja. Sebelum hujan turut bermain dan
beriak menjadi genangan. Berlari menembus semak. Memacu derap pada lari bertelanjang
kaki. Terjamah duri
pada geliat yang tak terperi. Ya, jingga masih jingga, tapi kini tak lagi senja. Dibawa awan
yang meriak hujan, membasuh luka pada yang nista.
Perlahan,
ya secara perlahan aku mulai merasakan butiran air hujan itu jatuh menyentuh
ubun-ubunku. Hela nafasku seakan memanggil angin yang dengan sepoi menghampiriku.
Aku hanya terdiam, dengan sesekali menengadah ke langitNya.
Subhanallah,
masih bisa kurasakan segarnya hujanMu. Masih bisa kuhirup sejuknya udaraMu
bersama rintiknya hujan yang menggelitik relung. Entah kenapa aku ingin
berlama-lama menikmatinya. Kubiarkan basah menyelinap, merayap hingga ke
ruas-ruas tubuhku. Tak peduli teriak itu menyeruku. Yang penting segala penat
ini menghilang, larut bersama air yang menggenang.
“Via,...”,
entah kenapa nama itu selalu membayangiku. Nama seorang gadis yang selama 19
tahun ini aku mengenalnya dekat. Baru setahun inilah dia jauh, menghilang ke
belahan dunia lain. Demi sebuah obsesinya, yaitu kuliah. Tapi aku yakin, kuliah
bukan hanya sekedar obsesinya. Tapi itulah salah satu bentuk pengabdiannya
terhadap Sang Pemilik Dirinya. Aku tahu, semua itu dia lakukan demi kebahagiaan
keluarganya.
Via kecil
yang ceria. Yang selalu membuatku terpesona. Dalam setiap geraknya memancarkan
keindahan yang tak kutemui di antara gadis seumurannya.
Via yang
sedari kecil sudah disuguhi dengan pekerjaan kuli. Sama sekali tak membuat
kecantikannya sirna. Justru cantiknya semakin berbinar seiring bertambahnya
beban di pundaknya. Dia tak pernah mengeluh lelah. Dia tak pernah menampakkan
air matanya. Sekalipun beban itu ditambah, manis senyumnya masih membuana.
Meski Via
hidup di antara keluarga yang sederhana. Bahkan bisa dibilang keluarga tak punya.
Namun kepribadiannya sungguh luar biasa. Nilai-nilai agama telah mendarah
daging dalam dirinya. Otaknya yang brilian juga tak kalah membuat teman-teman
sepantarannya mengaguminya. Dan satu hal yang membuat setiap orang menyeganinya, adalah sifat tawadhu’
yang dia punya.
“Maha
suci Allah yang menciptakan dirimu sebegitu sempurnanya, Via. Hingga hatiku
yang lemah ini sempat tertaut padamu.”, kataku dalam hati sembari menghangatkan
diri dengan secangkir kopi yang diseduh ibuku.
Ingatanku
kembali pada Via. Ya, aku masih mengingatnya dengan jelas. Perjuangannya ketika
ramadhan lima tahun yang lalu. Saat kekeringan melanda desanya. Dia harus
mencari air di sumber air yang jaraknya bisa dibilang jauh. Sepulang tarawih
dan mengaji, dia membantu ayah dan ibunya mencari air. Dia tak pernah merasa
malu, ketika harus mendorong gerobak dan mengangkat kaleng air yang besar-besar.
Dia memang wanita. Tapi dia bukanlah wanita yang biasa.
Berpuluh-puluh
kaleng air dia dapatkan setiap malamnya. Hingga pasokan air di rumahnya tak
pernah kurang.
Via juga
tak pernah canggung ketika harus menggembalakan kambing. Dengan lincahnya yang
mempesona. Seakan seluruh makhluk segan terhadapnya.
Hidup Via
memang sulit. Ayahnya sudah senja. Ibunya kurus kerontang memikirkan ayah Via
yang masih suka maen dari hasil buruh yang tak seberapa. Yang kadang masih cari
hutangan kesana kemari untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Tak jarang Via
pun ikut menanggung akibat perbuatan ayahnya. Namun dia tak pernah membenci.
Justru dengan setia, dia menasehati ayahnya. Meski tak satupun nasehat yang dia
lontarkan didengarkannya.
***
Pernah
suatu siang, ketika terik mentari begitu menyengat. Seakan menguliti seluruh
tubuh ini. Ketika angin tak lagi bersemilir sepoi. Menggoyangkan, bahkan seakan
merobohkan pohon pisang yang berada disekeliling rumah Via. Debu, pasir, bahkan
kerikil berterbangan seirama angin membawanya.
Via dengan
tenangnya terus melukis. Ditemani seluruh keluarganya yang beristirahat siang.
Jemarinya yang lentik ikut menari gemulai bersama kuas yang dia torehkan ke
kanvas.
“Alhamdulillah,
tinggal mempercantik.”, celotehnya sambil tersenyum-senyum memandangi lukisannya.
Setelah
dirasa cukup, dia menge-pas-kan lukisannya ke pigura yang telah disiapkannya.
“ Aduh,
kok nggak pas ya? Hmmm.”
Mata Via
mencari-cari apa yang bisa dia pakai. Kemudian matanya berhenti pada sebuah
lukisan tokoh yang dikagumi ayahnya. Cerdas pikirnya langsung merangkai
kata-kata untuk merayu ayahnya.
Dia
berjalan ke kamar ayahnya. Dengan perlahan dia membangunkannya.
“
Ayah,... ”
“ Hmmm,..
ya, ada apa?”, jawab ayahnya sambil menggeliat, lalu terduduk.
“ Ayah,
bolehkah Via meminjam pigura ayah. Sehari besok saja. Nanti setelah saya
nilaikan, piguranya saya kembalikan ke semula.”
Ayah Via
tak mengucap sepatah kata pun. Beliau berjalan keluar kamar dan memandang
lukisan tokoh itu.
“
Jangan...!, pakai pigura lain saja. Atau beli di pasar.”
“ Tapi,
ayah.., sekarang sudah siang. Lukisan Via sudah harus rapi sekarang. Harus
segera dikirim ke sekolah.”, rengeknya.
“Tetap
nggak bisa. Kalau kau berani mengambil. Maka kau akan celaka! Cam kan itu!”
“ Ayah,..
seberapa berharganya lukisan itu? Hingga Via pinjam piguranya saja nggak boleh.
Ayah tahu, kan? Kalau Via sedang ujian kelulusan. Lukisan ini sebagai ujian
praktek seni rupa, ayah...”, dia mulai terisak.
“ Lukisan
itu lebih berharga daripada kamu.”, ayahnya membentaknya. Kemudian melangkah tergontai
kembali ke kamar.
“ Ayah,
itu hanya sebuah lukisan. Lukisan tokoh yang sama sekali tak dapat mengubah
hidup ayah. Apa dia memberi rejeki pada ayah? Apa dia yang menghidupkan ayah? Lukisan
itu hanya sebuah lukisan, ayah. Tak lebih dari seonggok kertas yang tak
bernilai, jika dia tak memberi manfaat. Hanya karena lukisan seperti itu? Ayah
memutus aliran darah yang selama 15 tahun ini mengalir dalam diriku?
Astaghfirullah, rupanya Via telah kehilangan ayah sekarang.”
“
DIAAAAAM!!!, enyah kau dari hadapanku!!!”, bentak ayahnya sembari melempar
benda yang digenggamnya.
“ Via
selama ini diam, Via selalu nurut sama ayah. Ketika orang-orang di luar sana
ramai memperbincangkan ayah. Dengan wajah manis Via tetap membela ayah. Via
tahu, nama ayah sudah buruk di luar sana. Memang banyak yang segan sama ayah.
Tapi banyak jua yang membenci ayah.”
“
DIAAAAAM!!!”, bentak ayahnya semakin keras.
“ Via
nggak akan diam ayah. Karena luka dalam hati ini telah ayah gores kembali.
Semakin nanar dan melebar. Sekarang tak perlulah Via menutupi perih ini. Perih
karena harus membela ayah. Betapapun ayah, Via sayang ayah. Tapi ternyata tak
ada sebersitpun cinta di hati ayah untuk Via. Via tak menemukan cinta di mata
ayah, meski telah lama Via meraba.”, dia menghela nafas panjang sebelum dia
kembali mencurahkan apa yang dipendamnya selama ini.
“ Kenapa
ayah tak pernah sadar? Usia ayah sudah senja. Sudah selayaknyalah ayah kembali
pada jalan yang benar. Bukan jalan yang nista dan menyesatkan ini. Ayah selalu
menyuruhku untuk sholat, mengaji, dan berpuasa. ayah jua yang menyuruhku
belajar puasa sunah, sholat tahajud, dhuha, dan semua tentang agama. Tapi
kenapa ayah sendiri justru murtad? Hanya di KTP ayah islam. Tapi selebihnya,
jauh dari islam.”
“ Nduk,
sudah,...”, rengek ibu Via dengan airmata berlinang.
“
Biarlah, ibu. Biar ayah sadar. Bahwa selama ini ayah tidak melakukan
kewajibannya sebagai kepala keluarga. Ketika banyak orang di luar sana mencibir
kita. Mencaci maki kita. Menyebar fitnah tentang keluarga kita. Apa ayah murka?
Nggak kan? Justru masih sempat ayah pulang malam, kemudian marah sama ibu
sebagai pelampiasan kekalahan ayah. Dan jika ayah tahu, sekali ayah marah pada
ibu, sekali itu jua hati Via tersayat. Dan itu ayah lakukan tidak hanya sekali.
Entah berapa sayatan yang sekarang menghancurkan hati Via. Atau bahkan sekarang
Via sudah tak punya hati, ayah...”, dia menunduk dalam tangis. Aku bisa
merasakan betapa hatinya hancur berkeping-keping. Ya, mungkin sekarang hatinya
telah mati seperti yang dia katakan.
Alhasil
Via memakai pigura kakaknya yang sudah jelek dan banyak kotoran ayamnya. Dia
membersihkan dengan perlahan. Airmata masih mengucur dari kedua bolamatanya
yang indah. Keikhlasan terpancar dari tiap-tiap basuhan tangannya. Yang terus
mengalir bersama air yang disiramkannya.
“ Allah
nggak pernah tidur, Via. Dia selalu melihatmu. Setiap peluh dan airmatamu telah
dicatatNya dalam buku amalanmu.”, terceletuk kata ini, hingga Via mengangkat
wajahnya dan meraba-raba dari manakah suara itu berasal.
***
Allah maha
adil. Dengan perjuangannya yang begitu gigih. Dia mendapatkan hasil yang
terbaik. Tidak hanya nilai lukisannya. Tapi dia juga mendapat NUN tertinggi di
sekolahnya.
Tak ada
alasan untuk tak berbangga pada Via. Meski hati masih bermuram durja. Ayahnya secara
tersirat mengapresiasi keberhasilannya. Bahkan kakaknya berniat menyekolahkan
dia di SMA terfavorit di kotanya.
Namun
sekali lagi, dia mampu bukan tanpa perjuangan. Yang mudah saja menapaki
pelataran daratan itu. Caci maki lingkungan sekitar seakan mencambuk. Hatinya
menjerit, kenapa semua harus mencegah untuk sebuah kebaikan. Kenapa semua harus
memaki jika dia memang mampu. Mereka tidak tahu apa-apa, tapi bertingkah
seolah-olah telah menjelajah seisi dunia. Mereka hanya berkata sesuai logika
mereka. Mereka tidak pernah bertanya dalam hati kecil mereka. Bahwa tidak ada
yang tidak mungkin jika Allah berkehendak. Dia percaya jika Allah masih mengujinya,
maka Allah masih sayang padanya. Pasti Allah akan memberikan jalan selama kita
terus mengingatNya, berhuznudzon padaNya, dan ikhlas menjalani setiap ujian
dariNya.
Mengingat
perjuangannya yang begitu keras. Via mampu membuktikan bahwa dia bisa sekolah
di SMA terfavorit dengan beasiswa. Bahkan untuk menutupi uang gedung dan
seragam, dia rela menutup tabungan beasiswa SMPnya. Bahkan sampai kuliah pun, Via
tak merepotkan orang tuanya. Alhamdulillah, dia mendapat beasiswa juga.
Via
selalu bisa mengambil setiap hikmah dari setiap tabir kehidupannya. Sampai 18
tahun usia melekat dalam dirinya. Dia selalu memaknai setiap langkah yang
memang dia rencanakan atas ridhoNya.
Satu
tahun sudah Via kuliah. Aku bisa merasakan betapa perih perjuangannya disana.
Ketika sempat kubertemu dengannya sepulang tarawih kemarin. Aku mendapatinya
semakin kurus. Namun pesonanya tak pernah tergerus. Kupandangnya dari dalam
masjid, dia menghampiri bu Suwarti, guru SDnya. Dia menjabat tangan beliau dan
melayangkan peluk cium ke pipi beliau. “ Kau masih sama, Via. Masih sesantun
dan selembut dulu.”, kataku dalam hati.
“ Mbak
Via,...”, teriak adik-adik binaan Jamaah Masjid Baitul Fath.
“ Iya,
adikku. Bagaimana kabar kalian? Ayo, ayo masuk ke masjid dulu.”, Via menggiring
adik-adik masuk masjid.
“ Vi,
kapan pulang?”, tanya Rina, sahabat karibnya. Yang sama-sama berjuang
membesarkan JMBF.
“ Jumat
kemarin, Rin. Tapi kamis depan harus kembali lagi ke Surabaya. Gimana kabar
disini?”
“ Hmmm,
ya beginilah, semenjak kamu tinggal. Aku sendiri mengurus adik-adik. Yang lain
mulai berguguran. Pada sibuk dengan kepentingan masing-masing.”
“ Alhamdulillah,
Rin. Allah masih menjagamu untuk tetap istiqomah di jalan dakwah ini. Maaf,
Ramadhan tahun ini nggak bisa full di sini. Ada amanah di kampus.”, jelas Via
sambil mengkondisikan adik-adik.
“ Iya,
Vi. Aku tahu. Semoga Allah senantiasa menjaga mutiara kami. Iya nggak
adik-adik?”, Rina melempar tanya pada adik-adik yang mulai ramai sendiri.
“ Iya,
mbak... “, gelak tawa mereka terpecah seketika.
Sejurus
kemudian Via dan Rina mulai mengajari mereka mengaji. Terdengar merdu dan riang
suara adik-adik dari balik hijab. Yang semakin membuat masjid ini penuh warna.
“ Aku
bisa merasakan kebahagiaanmu, Via. Meski aku hanya bisa mendengarmu dari balik
hijab.”, sekali lagi hatiku berkata demikian.
“
Astaghfirullah, faghfirlii ya Rabb, atas hati yang kurang terjaga ini.”,
kataku, sembari bersujud. Kemudian aku lanjutkan mengaji bersama ikhwan JMBF.
***
“ Ibu,
maafkan Via tak bisa sepenuhnya menemani ibu di ramadhan tahun ini. Jaga diri
baik-baik. Titip salam untuk ayah. Bagaimanapun beliau, meskipun dulu beliau
menganggap Via sudah bukan anaknya. Tapi Via masih dan akan tetap menganggap
beliau sebagai ayah Via. Tak usahlah ibu memikirkan ayah. Seiring berjalannya
waktu, ayah pasti akan kembali bersama kita. Melangkah bersama-sama di jalan
cintaNya.”, pamitnya ketika akan ku antar ke terminal.
“ Iya,
nduk. Semoga ayahmu lekas mendapat hidayah. Jika amanahmu sudah selesai, segera
pulang ya, nduk. Ibu rindu kebersamaan kita saat ramadhan.”, mata ibu Via
berkaca-kaca melepas putri bungsunya kembali ke Surabaya. Via sepertinya tak
tega. Dia terisak mendapati keadaan ibunya yang semakin renta. Sementara dia
tak bisa terus disampingnya. Menyiapkan makan sahur dan buka puasa untuk
ibunya. Hati ini miris melihat ibu dan anak itu sama-sama terisak.
Sepanjang
perjalanan, kulihat dari kaca mobilku, Via masih berlinang air mata. Aku bisa
merasakan perih dan pedih hatinya. Baru kali ini aku melihatnya benar-benar
sedih. Aku tahu ini adalah pilihan yang berat untuknya. Terlebih kesehatan
dirinya pun sebenarnya terancam. Tapi dia masih sempat menyembunyikannya pada
keluarganya.
“ Mas
Ilham, titip ibu dan ayah ya. Tolong bantu menasehati ayah. Via tahu, mas Ilham
mengetahui banyak hal tentang saya. Tapi saya mohon, jangan pernah sekali-kali
bercerita perihal penyakit saya. Saya percaya mas Ilham karena Allah.”,
pesannya sesaat sebelum naik ke bis.
“
Assalamu’alaykum,...”, salamnya sembari berlalu bersama bis yang dia tumpangi.
“
Wa’alaykumussalam, Via. InsyaAllah saya akan menjaga pesanmu.”
***
Kedatangan
Via kembali ke Surabaya, bak kuncup yang sedang ditunggu mekarnya. Banyak orang
yang mengharap kedatangannya.
“ Afwan,
ya, ukhty. Meninggalkan antum wa antunna terlalu lama. Bagaimana yang di sini?
Lancar?”, katanya ketika pertama kali menjamah pelataran masjid di kampusnya.
“
Alhamdulillah, ukh. Berkat doa anti, seminggu pertama ramadhan di sini lancar.
Banyak donatur yang mulai menyumbang juga.”
“ Alhamdulillah,
sebagaimana dalam QS Muhammad ayat 7, ‘Hai orang-orang
mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan
meneguhkan kedudukanmu’. Dan dalam QS Al insyirah ayat 6, ‘Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan’. Allah selalu melihat usaha kita, ukh. Dan pertolongan Allah itu
benar adanya. Ayo, segera bergerak untuk mempersiapkan kobar hari ini. Semangat
karena Allah, ukh...”
“ iya,
ukh. Semangat semangat.”
Senyum
Via merekah. Indah kebersamaan yang dia bangun bersama sahabat muslim di
lingkungan kampusnya. Dia mulai disibukkan oleh kepentingan ummat. Dia memang
seakan memiliki dua nyawa ketika mengabdikan hidupnya untuk sesamanya. Sesuai
prinsip yang dia pegang, “ sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain”. Ketika sudah
begitu, maka terlupalah dia sejenak dengan segala penat dan kepayahan yang
mencoba menyerangnya dari segala arah.
Detik
demi detik waktu telah membawa mereka ke tujuh hari terakhir ramadhan. Gema
ramadhan telah menggema di hati Via dan sahabat muslim dibelahan dunia manapun.
Sebentar lagi gema kemenangan akan segera datang, mensucikan hati kembali pada
fitrah masing-masing.
“ Ukh,
hari ini ada waktu senggang?”, tanya Via ke salah satu sahabatnya.
“
InsyaAllah, jam 10 kosong, ukh. Ada yang bisa ana bantu?”
“
Alhamdulillah, nanti bisa antarkan ana membeli kado lebaran untuk ibu dan
ayah?”
“ Dengan
senang hati, ukh.”
Tepat jam
10, sesuai perjanjian, Via menunggu di depan gang kontrakannya. Tak lama
kemudian sahabatnya datang. Mereka melaju ke mall terdekat. Via membeli dua
sajadah sama, sarung tenun, mukena, peci, dan Al-quran terjemahan. Dia bungkuskan
menjadi satu di kotak kado berwarna biru muda. Tak terlupa dia sisipkan surat
untuk ibu dan ayahnya.
Keluar
dari mall, wajah dua orang itu berinar. Terlebih wajah Via. Tersirat bahagia
dalam batinnya. Dia menenteng kado itu dengan wajah yang berseri.
“
Jazakillah khoir, ukh. Semoga Allah membalas kebaikan anti dengan hal yang
lebih indah.”
“
Sama-sama, ukh Via. Senang rasanya bisa membantu.”
H-3
lebaran. Saatnya pulang menuju kampung masing-masing. Membawa kenangan indahnya
ramadhan penuh kebersamaan di kampus Via. Seribu ceritanya bersama anak-anak
binaan di sana, bersama kaum duafa, bersama sahabat muslim di kampusnya. Tak
hentinya dia bercerita padaku di perjalanan pulang menuju rumah.
“ Mas
Ilham, jazakallahu khoir. Sudah setia mengantar-jemput Via. Sudah menjaga ibu
dan ayah. Jazakallah atas cinta mas Ilham yang begitu ikhlas kepada keluarga
saya. Semoga Allah membalasnya dengan segala yang lebih indah dari apa yang mas
Ilham berikan pada kami.”, tiba-tiba airmata Via jatuh membasahi pipi dan
jilbabnya. Nampak keanggunan dalam tangisnya.
“ Kenapa
tiba-tiba berkata begitu?”
“ Nggak
apa, mas. Takut kalau saya tidak bisa menyampaikannya di lain waktu.”
Via
menghela nafas panjang, dan kemudian perlahan matanya tertutup. Ketika itu
kupikir dia tertidur. Dengan alquran di dekapannya. Dan kado lebaran untuk ibu
dan ayahnya disampingnya. Aku bahkan sempat berfikir, “ Tidurpun engkau nampak
manis, Via. Sungguh hati yang lemah ini semakin tertaut padamu.”
Sampai di
pelataran rumahnya. Kutengok dia tak bergerak sedikitpun.
“ Via,
bangun. ibu dan ayahmu sudah menunggu di teras.”
Tapi
bibir mungilnya yang sedari tadi tersenyum tak kunjung menjawab. Aku mulai
panik. Kupanggil ibu dan ayahnya. Aku periksa nafas dan nadinya tidak ada. Aku
bawa ke dokter terdekat. Namun tak jua dapat mencegah kepergiannya. Ibunya
terus merangkul tubuh yang sudah tak bernyawa itu. Isak tangis membanjiri
ruangan. Ayah Via menangis dalam sujud dengan terus beristighfar dan
menyebut-nyebut nama Via. “ Maafkan ayahmu ini, anakku”, parau suara ayahnya
membuatku semakin tertusuk. Aku kembali ke mobil dan memberikan kado Via untuk
mereka.
“ Ibu, ayah, sesungguhnya sholat 5 waktulah
yang menjaga seluruh amalan kita. Membaca alquran akan meneduhkan hati kita.
Via mohon maaf, karena tak bisa menemani ibu dan ayah sampai idul fitri. Via
mohon maaf, karena tak bisa menemani ibu dan ayah mengukir indahnya kebersamaan
di ramadhan-ramadhan selanjutnya. Ukhibbukkumfillah, ibu, ayah. Bagaimanapun
ibu dan ayah. Via tetap dan selalu sayang sama ibu dan ayah. Hiduplah bersama,
habiskan usia senja kalian dengan beribadah kepada Allah. Peluk dan cium
dariku, Via.”
Aku tak
kuasa menahan airmataku. Ku kecup kening Via untuk yang pertama dan terakhir. ”
Aku mencintaimu, bidadari surga. Jika memang di dunia ini kau bukanlah jodohku.
Aku pinta kau adalah bidadari surga yang akan menemaniku di surga nanti. Tetap
tersenyumlah dengan anggun, karena Allah telah menyiapkan Surga di penghujung
ramadhan ini untukmu.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar